Dear Najwa,
Berdasarkan info
di internet, aku tahu bahwa tanggal 3-5 Mei nanti kau akan menjalani salah satu
tes yang serius dalam hidupmu, USBN kalau dulu di zamanku namanya EBTANAS.
Ujian Nasional intinya. Aku tahu mungkin saat ini kau pasti sedang
mempersiapkan diri. Kau pasti sedang gugup, takut tidak bisa mengerjakan soal.
Dan aku, seperti biasa hanya bisa mendoakanmu disini.
Aku juga tahu kau
tak seberuntung anak anak lain yang dilepas oleh ibu mereka di gerbang sekolah,
yang mungkin disiapkan bekalnya di hari hari ujian nasional lalu mereka masih bisa berbalik dan melihat ibu
ibu mereka tersenyum dan berkata “kamu pasti bisa”. Kau tak seberuntung itu
anakku, aku tahu itu. Dan situasi bertambah sulit karena nenek pun sudah meninggal dan tidak bisa lagi menemuimu di sekolah lalu menghubungkanmu denganku disini. Bahkan jika pun aku di tanah air saat ini, hanya tinggal hitungan hari kau akan pindah ke sekolah dimana aku tak bisa lagi menemuimu dan sama seperti halnya saat ini, kita hanya akan terhubung dengan doa. Aku tahu kau tak seberuntung anak anak lain itu. Saat ini dengan kekuatan anak anak mu, kau berusaha tegar
dan menjalani ujian nasional itu. Dan mungkin karena itu tadi malam aku
bermimpi kau mengejar, memelukku dan berkata “I miss you”. So kupikir hari ini
aku harus menulis ini untukmu.
Melalui tulisan
ini aku hanya ingin bercerita bagaimana aku melewati ujian nasionalku. Terus
terang aku jauh lebih beruntung darimu, nenek dulu sangat memperhatikan dan
mendoakan, meski tidak menuntut harus berhasil. Kau harus tahu bahwa ibumu ini
tidak pernah dituntut harus berhasil oleh nenek. Malah nenek marah kalau aku ini
belajarnya kelewatan hehe. Apalagi dulu itu sekolahku kebakaran tepat beberapa
bulan sebelum Ebtanas. Akhirnya aku harus belajar numpang di sekolah lain,
salah satunya aku pernah ikut belajar Matematika di sekolahmu sekarang, karena
guru Matematika yang melatih kami dulu guru Matematika di SD mu sekarang. Waktu
itu, ibumu yang pemalu ini mulailah berbaur dengan anak anak lain yang menurut
pandanganku dulu JAUH LEBIH KAYA, JAUH LEBIH PINTAR, JAUH LEBIH HEBAT, JAUH LEBIH BERUNTUNG.
Oh aku juga lupa,
justru di hari Ebtanas itu nenek dengan kai berangkat naik haji. Jadi
basically, aku pun ujian Ebtanas tanpa kai dengan nenek. Aku belajar dari buku
dan kau pasti tahu betapa gilanya aku belajar. Dan mulailah aku mengerjakan ujian
itu. Dan di luar dugaan, nilai ibumu ini meraih nilai tertinggi. Jadi anakku, tidak penting seberapa fasilitas yang kita punya, yang harus kita miliki itu adalah SEMANGAT pantang menyerah. Biarpun sekolahku dulu kebakaran, aku tak punya buku selengkap anak anak lain, bahkan percayalah anakku, S3 ku disini pun ku rintis dari sebuah kamar kos, dengan buku TOEFL pinjaman dari kawan, dengan dana yag dikumpulkan dari sana sini. Jadi sebanyak apapun fasilitas yang kita punya, tentu menyenangkan kalau kita punya semua itu, tapi itu tidak menjadi faktor penentu keberhasilan anakku. Ada banyak anak anak yang dimanjakan dengan fasilitas tapi akhirnya jadi terlena. Dan ada banyak juga anak anak yang tidak memiliki fasilitas tapi bisa berhasil dalam banyak hal.
Tapi kau tak
perlu khawatir anakku. Seperti halnya nenek, aku takkan pernah menuntutmu untuk
jadi nomer satu. Yang penting terus berusaha, tetap pantang menyerah, dan JUJUR itu yang
penting. Apapun hasil yang kau dapatkan, aku yakin itu adalah yang terbaik. Terus
terang aku bukan ibu yang ingin kau meraih apa yang ku raih. Aku yakin kau
pasti memiliki jalanmu sendiri, dan sukses itu tidak didefinisikan dari nilai
ujian nasional saja anakku. Ada banyak orang jenius yang malah tidak berhasil di
sekolah tapi malah menciptakan sesuatu yang luar biasa. Albert Einstein
contohnya. Jadi, kau tak perlu khawatir dengan ujian ini. Tentu kau harus
belajar, harus berdoa, tetap berusaha, itu pasti. Lalu kerjakan soal itu dengan
hati hati, teliti, penuh pemikiran, tapi kau tak perlu khawatir dengan
hasilnya. Hidup ini terlalu singkat kalau selalu kita isi dengan kekhawatiran.
So be happy,
Najwa. Tetap semangat. Aku tahu aku takkan tahu berapa hasil USBN yang akan kau
dapatkan, dan setelah ini kau akan dipindahkan ke sekolah dimana aku tak bisa
lagi menemuimu di sekolah, tapi percayalah, jauh disini aku terus mendoakanmu,
menitipkanmu bukan pada manusia, tapi pada Ia yang Memiliki seluruh alam
semesta ini. Aku yakin doa doa panjangku ini akan sampai padamu dan kau pasti
merasakan itu. Pada saat-Nya, pada saat qadar takdir perpisahan ini terpenuhi,
pada saat yang sudah Ditulis Allah di Lauhul Mahfuz itu nanti, kita akan
bertemu lagi. Mungkin kau akan kuliah di New Zealand, mungkin kita akan
berlibur bersama di Auckland, aku sangat yakin, suatu saat Allah akan Kumpulkan
kita lagi. Aku tidak menitipkanmu pada manusia, anakku, aku menitipkanmu pada
Allah. Dan itu adalah buhul yang amat kuat.
Dan itu juga yang
harus kau coba lakukan. Berusahalah anakku, tapi pada saat yang sama, serahkan
semua hasil usahamu pada Allah SWT. Kita ini cuma manusia, kita cuma bisa
berusaha, yang berhak menentukan hasil usaha kita itu Allah SWT. Dan jangan
khawatir, sukses itu tidak hanya di sekolah saja anakku. Ibumu ini sudah
bertemu banyak manusia sukses dan tidak semua dari mereka berasal dari sekolah.
Kau bisa jadi apapun yang kau bahagia lakukan. Bahagia, itu saja yang
kuharapkan akan kau lakukan dalam hidupmu. Do what makes you happy, anakku.
Good luck dengan
ujian nasionalmu. Aku pun disini masih terus bergulat dengan perjuangan PhDku.
Mari saling memanjat gunung pencapaian, anakku. Pada saat-Nya, kita bisa
membangun jembatan dari puncak mu atau dari puncakku, dan kita akan bertemu.
Meanwhile, biar
doa yang menyatukan kita. Alhamdulillah, kita masih berada di bawah langit yang
sama, anakku.
Semoga berhasil,
aku selalu mendoakanmu. You are always in my thoughts and in my prayer. Always.
Auckland, 1 Mei
2018,
-Me-