Saturday, 15 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 7: THE RESULT AND THE SUPERVISOR

Hey hey, ini adalah seri terakhir untuk sementara ini. Di episode ini saya akan menuliskan suasana saat saya mengetahui hasil dari perjuangan beasiswa saya dan sedikit contribute to the supervisor. Saya pikir saya harus menuliskan bagian ini karena sungguh, saya baru memperhatikan siapa supervisor saya benar benar setelah saya dinyatakan lulus interview.

Up to 10 Juni 2015. Saya benar benar berada dalam kesedihan hari hari ini. Saya tahu, ini bukan akhir dunia dan saya mesti siap dengan segala hasil yg akan saya dapatkan. Namun, saya yg merasa bodoh karena meneteskan air mata saat interview merasa belum melakukan hal yg maksimal sehingga saya tidak bisa berhenti mengutuki diri sendiri. Dan itu membuat saya bertambah sedih. Ini memang bukan satu satunya beasiswa yg saya ikuti dan come on, namanya juga kompetisi, masa nggak siap kalah, begitu pikir saya. Hari hari saya lalui dengan mimpi buruk dan terus saya memikirkan hasil interview yg perlu 10 hari untuk mengetahuinya. Auckland yg terpampang di hadapan mata, supervisor yg menjanjikan banyak kemudahan membuat saya tidak bisa menerima jika saya dinyatakan tidak lulus. Dan juga, ini seperti denyut nadi saya. Berbeda dengan orang lain, sekolah lah pain killer terbaik saya.

10 Juni 2015. Saya mengajar di kampus dan EF seperti biasa. Kami para peserta LGD sudah membuat whtsapp grup dan saya terlalu takut untuk membuka internet hari itu. Sejak subuh, teman teman yg mengikuti perjuangan saya mengirimkan pesan melakui fb, memantau jika ada kabar baik. Saya mengajar kelas jam tiga sore. Saat sedang menggunting kartu bersama siswa, tab saya berbunyi, pesan whtsapp. Seperti biasa saya mengecek pesan whtsapp saat siswa sdg mengerjakan latihan. Ternyata salah seorang peserta LGD yg menyebutkan sudah ada pengumuman. Dan beliau menyebut ada tiga nama yg lolos dan nama saya tersebut di text itu. Allahu akbar, Anda tahu, saat itu saya merinding. Air mata berlompatan keluar dari mata saya. Siswa saya bingung dan bertanya. Saya berlari ke bawah ke front office EF, orang orang yg menjadi saksi hidup perjuangan saya. Dan tidak ada yg bisa saya peluk saat itu, seperti biasa saya menerima kabar sendirian. Beruntung manajer EF memeluk saya dan berkata U DID IT, U DID IT. Seusai kelas, saya shalat ashar, dan bersimpuh dalam sujud syukur.
SAYA LULUS LPDP. Dengan interview yg begitu mencekam, membuat saya termehek mehek, saya lulus. Saya akan kuliah PhD. S tiga. Sesuatu yg dulu begitu jauh dari angan saya. Ini gelar akademik tertinggi dengan supervisor yg punya reputasi excellent, di universitas dengan ranking 100 besar dunia. Saya, the simple Nurul Kasyfita, lulus. Allahu akbar, Engkau lah Maha Besar.

Setelah itu ucapan selamat berdatangan. Ada yg men tag saya di fb, ada yg menulis di messenger, dan seperti biasa, saya bagikan kabar ini melalui status fb saya. Perlu diketahui saya menggunakan akun fb saya untuk ber posting kabar, bukan untuk kepo dengan hidup org lain, apalagi mem bully. Melalui kabar, biasanya saya minta doa, dan ini adalah jawaban doa org org yg mendoakan saya. Maka wajar jika saya posting hasilnya. Bukan untuk show off, semata mata berbagi kabar bahagia.

Malam, penat sekali badan saya. Sebelum tidur, saya meng email beliau,
I GOT THE SCHOLARSHIP, SIR. Singkat, padat, tapi cukup membuat beliau tahu hasil perjuangan saya.

Dan esok paginya saya sudah melihat balasan beliau,
CONGRATULATIONS, THIS IS GREAT NEWS. START YOUR VISA PROCESS SOON AS IT WILL TAKE TIME
I THINK THE INTERVIEW WENT BETTER THAN YOU THOUGHT.

Seperti biasa, diakhiri dengan best, Jon. Meskipun saya selalu menyebut beliau dengan professpr Jonathan, beliau selalu membalas dengan singkat, JON. What a humble man. Disitulah baru saya menyadari satu hal, saya belum tahu yg mana wajah si prof ini. Seperti Anda tahu, saya mengirim banyak email pada banyak professor. Bahkan di Auckland saja saya mengirim ke tujuh professor sebelum akhirnya meng email beliau. Saya tidak ingat siapa dengan wajah yg mana karena saya murni hanya menyimpan alamat email mereka. Dan karena beasiswa sudah hampir di tangan, saya pun meng google nama beliau.

DR. JONATHAN SPERRY, AUCKLAND.

Dan muncullah foto beliau beserta akun email auckland beliau. Dan saat ini saya baru tahu wajah orang yg selalu membalas email saya di ujung sana. Ternyata beliau bukan si prof tua yg berkacamata, beliau hanya SATU TAHUN LEBIH TUA DARI SAYA. Beliau lulus B.Sc dengan gelar kehormatan sehingga langsung lompat PhD tanpa menempuh master. Beliau berasal dari UK dan diangkat menjadi senior lecturer di University of Auckland. Tahun lalu beliau memenangkan Rutherford fellowship dari pemerintah dan beliau berambisi mengaktifkan ikatan karbon agar bisa menjadi channel port syaraf untuk obat. Reputasinya di kimia medisinal sudah banyak. Mahasiswa bimbingan beliau sudah banyak yg menyebar di Harvard.

Ya Allah, saya baru tahu ini supervisor saya. Selama ini kami hanya berdiskusi tentang riset, tentang beasiswa, proses pendaftaran sbg mhswa, tanpa pernah saling tahu wajah. Terutama saya, mhswa beliau. Dan bodohnya, selama ini saya berasumsi beliau adalah si prof tua berkacamata yg pernah saya lihat di website auckland. Jadi ini orang yg membalas email email saya selama ini. Ini orang yg me mentori saya selama interview, ini orang yb membalas email saya secepat kilat, memberikan solusi, menawarkan posisi sebagai asisten, menawarkan program magang untuk mahasiswa saya, yg menuliskan surat dukungan sebanyak dua halaman untuk membantu saya, yg menyetujui perubahan tanggal riset saya, yg membuat saya yakin kemusliman saya akan normal saja di Auckland. Sungguh, pribadi yg sangat humble.

Sejak saat itu, saya bertambah hormat dengan beliau. Terutama saat pengurusan visa saat ini, beliau telah meminta saya berkonsultasi dengan international office, namun tetap meminta update progressnya. Saya hanya berharap satu hal, semoga saya tidak mengecewakan beliau karena telah memilih saya. Dan saya bertekat untuk menyelesaikan proses ini secepatnya, agar bisa bertemu beliau dan mengucapkan THANK YOU SIR secara langsung.

Beliau adalah pembimbing saya, bahkan sejak pendaftaran menjadi mhswa.

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 7: THE RESULT AND THE SUPERVISOR

Hey hey, ini adalah seri terakhir untuk sementara ini. Di episode ini saya akan menuliskan suasana saat saya mengetahui hasil dari perjuangan beasiswa saya dan sedikit contribute to the supervisor. Saya pikir saya harus menuliskan bagian ini karena sungguh, saya baru memperhatikan siapa supervisor saya benar benar setelah saya dinyatakan lulus interview.

Up to 10 Juni 2015. Saya benar benar berada dalam kesedihan hari hari ini. Saya tahu, ini bukan akhir dunia dan saya mesti siap dengan segala hasil yg akan saya dapatkan. Namun, saya yg merasa bodoh karena meneteskan air mata saat interview merasa belum melakukan hal yg maksimal sehingga saya tidak bisa berhenti mengutuki diri sendiri. Dan itu membuat saya bertambah sedih. Ini memang bukan satu satunya beasiswa yg saya ikuti dan come on, namanya juga kompetisi, masa nggak siap kalah, begitu pikir saya. Hari hari saya lalui dengan mimpi buruk dan terus saya memikirkan hasil interview yg perlu 10 hari untuk mengetahuinya. Auckland yg terpampang di hadapan mata, supervisor yg menjanjikan banyak kemudahan membuat saya tidak bisa menerima jika saya dinyatakan tidak lulus. Dan juga, ini seperti denyut nadi saya. Berbeda dengan orang lain, sekolah lah pain killer terbaik saya.

10 Juni 2015. Saya mengajar di kampus dan EF seperti biasa. Kami para peserta LGD sudah membuat whtsapp grup dan saya terlalu takut untuk membuka internet hari itu. Sejak subuh, teman teman yg mengikuti perjuangan saya mengirimkan pesan melakui fb, memantau jika ada kabar baik. Saya mengajar kelas jam tiga sore. Saat sedang menggunting kartu bersama siswa, tab saya berbunyi, pesan whtsapp. Seperti biasa saya mengecek pesan whtsapp saat siswa sdg mengerjakan latihan. Ternyata salah seorang peserta LGD yg menyebutkan sudah ada pengumuman. Dan beliau menyebut ada tiga nama yg lolos dan nama saya tersebut di text itu. Allahu akbar, Anda tahu, saat itu saya merinding. Air mata berlompatan keluar dari mata saya. Siswa saya bingung dan bertanya. Saya berlari ke bawah ke front office EF, orang orang yg menjadi saksi hidup perjuangan saya. Dan tidak ada yg bisa saya peluk saat itu, seperti biasa saya menerima kabar sendirian. Beruntung manajer EF memeluk saya dan berkata U DID IT, U DID IT. Seusai kelas, saya shalat ashar, dan bersimpuh dalam sujud syukur.
SAYA LULUS LPDP. Dengan interview yg begitu mencekam, membuat saya termehek mehek, saya lulus. Saya akan kuliah PhD. S tiga. Sesuatu yg dulu begitu jauh dari angan saya. Ini gelar akademik tertinggi dengan supervisor yg punya reputasi excellent, di universitas dengan ranking 100 besar dunia. Saya, the simple Nurul Kasyfita, lulus. Allahu akbar, Engkau lah Maha Besar.

Setelah itu ucapan selamat berdatangan. Ada yg men tag saya di fb, ada yg menulis di messenger, dan seperti biasa, saya bagikan kabar ini melalui status fb saya. Perlu diketahui saya menggunakan akun fb saya untuk ber posting kabar, bukan untuk kepo dengan hidup org lain, apalagi mem bully. Melalui kabar, biasanya saya minta doa, dan ini adalah jawaban doa org org yg mendoakan saya. Maka wajar jika saya posting hasilnya. Bukan untuk show off, semata mata berbagi kabar bahagia.

Malam, penat sekali badan saya. Sebelum tidur, saya meng email beliau,
I GOT THE SCHOLARSHIP, SIR. Singkat, padat, tapi cukup membuat beliau tahu hasil perjuangan saya.

Dan esok paginya saya sudah melihat balasan beliau,
CONGRATULATIONS, THIS IS GREAT NEWS. START YOUR VISA PROCESS SOON AS IT WILL TAKE TIME
I THINK THE INTERVIEW WENT BETTER THAN YOU THOUGHT.

Seperti biasa, diakhiri dengan best, Jon. Meskipun saya selalu menyebut beliau dengan professpr Jonathan, beliau selalu membalas dengan singkat, JON. What a humble man. Disitulah baru saya menyadari satu hal, saya belum tahu yg mana wajah si prof ini. Seperti Anda tahu, saya mengirim banyak email pada banyak professor. Bahkan di Auckland saja saya mengirim ke tujuh professor sebelum akhirnya meng email beliau. Saya tidak ingat siapa dengan wajah yg mana karena saya murni hanya menyimpan alamat email mereka. Dan karena beasiswa sudah hampir di tangan, saya pun meng google nama beliau.

DR. JONATHAN SPERRY, AUCKLAND.

Dan muncullah foto beliau beserta akun email auckland beliau. Dan saat ini saya baru tahu wajah orang yg selalu membalas email saya di ujung sana. Ternyata beliau bukan si prof tua yg berkacamata, beliau hanya SATU TAHUN LEBIH TUA DARI SAYA. Beliau lulus B.Sc dengan gelar kehormatan sehingga langsung lompat PhD tanpa menempuh master. Beliau berasal dari UK dan diangkat menjadi senior lecturer di University of Auckland. Tahun lalu beliau memenangkan Rutherford fellowship dari pemerintah dan beliau berambisi mengaktifkan ikatan karbon agar bisa menjadi channel port syaraf untuk obat. Reputasinya di kimia medisinal sudah banyak. Mahasiswa bimbingan beliau sudah banyak yg menyebar di Harvard.

Ya Allah, saya baru tahu ini supervisor saya. Selama ini kami hanya berdiskusi tentang riset, tentang beasiswa, proses pendaftaran sbg mhswa, tanpa pernah saling tahu wajah. Terutama saya, mhswa beliau. Dan bodohnya, selama ini saya berasumsi beliau adalah si prof tua berkacamata yg pernah saya lihat di website auckland. Jadi ini orang yg membalas email email saya selama ini. Ini orang yg me mentori saya selama interview, ini orang yb membalas email saya secepat kilat, memberikan solusi, menawarkan posisi sebagai asisten, menawarkan program magang untuk mahasiswa saya, yg menuliskan surat dukungan sebanyak dua halaman untuk membantu saya, yg menyetujui perubahan tanggal riset saya, yg membuat saya yakin kemusliman saya akan normal saja di Auckland. Sungguh, pribadi yg sangat humble.

Sejak saat itu, saya bertambah hormat dengan beliau. Terutama saat pengurusan visa saat ini, beliau telah meminta saya berkonsultasi dengan international office, namun tetap meminta update progressnya. Saya hanya berharap satu hal, semoga saya tidak mengecewakan beliau karena telah memilih saya. Dan saya bertekat untuk menyelesaikan proses ini secepatnya, agar bisa bertemu beliau dan mengucapkan THANK YOU SIR secara langsung. Ingin rasanya mem posting foto beliau di tulisan ini, namun saya pikir lebih baik Anda meng google sendiri, karena tidak baik rasanya men tag foto beliau tanpa seizin beliau.

Beliau adalah pembimbing saya, bahkan sejak pendaftaran menjadi mhswa. Sejak beliau memposting link untuk membuat student account. Beliau lah orang yg membalas email saya dengan kalimat WHAT CAN I DO TO HELP YOU, sebagai pintu awal sebuah kesempatan PhD untuk saya. Berkat kemurahan hati beliau memberi saya kesempatan, saya berada di titik ini saat ini. Ah, sungguh, bagi saya PhD ini bukan hanya sekedar sekolah. Ini adalah IT HAPPENS FOR A REASON.

Melalui tulisan ini saya juga tidak melupakan jasa orang orang yg telah menjadi motivasi saya selama ini. Karena tanpa bantuan mereka, saya bukan siapa siapa.
#kedua org tua saya, abah, mama, yg dengan sujud sujudnya menghantarkan saya saat ini.
#Najwa, nama yg selalu tersebut dalam doa, api yg tdk akan pernah padam, sampai berjumpa nanti ya nak.
#Dr. Jonathan Sperry, professor Jonathan, orang yg dengan kerendahan hatinya membukakan pintu kesempatan utk saya, supervisor untuk empat tahun ke depan.
#Dr. Nagaraj Naik, Dr. HS Yathirajan, Dr. BS Priya, Dr. KM Lokanatha Rai, atas rekomendasi terbaik untuk saya.
#Pak Budiman, atas motivasi awal mengejar LOA.
#Ervina, Wulan, terima kasih atas dukungan dan doa selama ini. Kalian tekah bersabar menerima miss, terima kasih.
#Mohammad. Abdullah Bageri, atas bantuan dan persaudaraan selama ini. Semoga Allah membukakan jalan PhD untukmu.
#Rini, yg dengan murah hati memjnjamkan buku TOEFL IBT dan berkenan menolong saya saat banyak org meninggalkan saya.
#Bu Nurul, pak Dydik, anggota trio macan, yg selalu berbesar hati menerima saya sbg sahabat.
#Rahma dan Ary, dua mhswa setia yg rela membonceng saya menuju tempat interview.
#Ibu Merry Ong, yg dengan murah hati mendoakan saya, mendukung saya saat terpuruk.
#teman teman seperjuangan di LGD 21A.
#Ardan, yg mmebuatkan gabus presentasi riset saya, Fifi, yg memprintkan kartu peserta.
#Salma, Zulfiah, yg menjadi teman berkomunikasi saya.
#Maradona, yg selalu sabar mem printkan keperluan saya karena saya tdk punya printer.

Semua sahabat, mahasiswa, murid murid EF, tukang fotocopy, ibu penjual teh, mbak penjaga travel, semua orang yg perduli dan mendoakan saya. Orang orang yg tidak menghakimi saya dan bisa melihat kualitas diri saya yg lain selain kegagalan hidup saya, mereka mereka yg membuat saya bersemangat, yg tidak mematahkan hati, orang orang yg optimis dan tidak menakut nakuti, terima kasih. Kebaikan Anda semua PRICELESS untuk saya yg tidak punya apa apa ini.

Dan semua readers yg ikut membaca tulisan ini, semoga bermanfaat. Masih akan ada tulisan di seri ini, namun untu, saat ini saya cukupkan disini dulu. Tentu perjuangan PhD saya masih jauh, namun seperti yg saya tuliskan di awal,

IT HAPPENS FOR A REASON....

Samarinda, 15.08.2015
Salam cinta,

Nurul Kasyfita
Lecturer of Chemistry dept Mulawarman University
PhD candidate University of Auckland batch 2015-2019
Awardee LPDP PK39 Gema Mahardika

Friday, 14 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 6: THE AFTER INTERVIEW

Hello readers, its me again.

Hmm, episode kali ini saya ingin membicarakan tentang bagaimana suasana seleksi interview di LPDP khususnya di Surabaya. Perlu diketahui, ini adalah cerita versi saya, untuk teman teman yg lain, mungkin bisa berbeda. So, mari kita mulai ceritanya.

Masih di Mei 2015.
Setelah bekerja keras dan dapat bantuan sana sini untuk tiket pesawat, hehe, saya pun terbang ke Surabaya. Saya tahu, tempat tes ada di Jalan Indrapura, salah satu jalan utama di Surabaya. Alhasil, tidak ada hotel dekat dekat situ yg "pas" dengan kantong saya hehe. Saya menginap agak jauh, akhirnya.
Selama dalam perjalanan menuju dan saat di Surabaya, saya berkomunikasi dengan prof sangat intens. Seperti mengirim sms, email send, lima menit jawaban dtg. Beliau cukup banyak me mentori saya, bahkan surat dukungan sepanjang dua halaman itu cukup menguatkan mental saya yg berjuang sendiri.
Alhamdulillah, berkat hubungan baik saya dg mhswa, mereka selalu siap sedia kapanpun saya memerlukan bantuan. Di Surabaya ini, ada dua mhswa saya yg sdg menempuh kuliah master di ITS. Jadilah mereka menjadi pengendara untuk saya, kami naik motor berbekal GPS menemukan gedung keuangan. Ah, tangan pertolongan Allah dimana mana.

Hari pertama: verifikasi berkas dan LGD.
Saya naik ke lantai tujuh tempat seleksi berkas berlangsung. Saya melihat banyak anak muda yg sangat cemerlang di mata saya. Para pelamar yg sama harapannya dengan saya, ingin disekolahkan LPDP. Celingak celinguk saya bertanya kapan berkas saya bisa diverifikasi. Hati saya ciut sebenarnya, karena saya belum punya ijazah asli, hanya ijazah sementara yg saya punya. Duh, pikir saya, jika saya tertolak di meja verifikasi, betapa sia sianya semua pengorbanan tiket dan hotel ini.
Saya pun duduk dan berkas saya diperiksa. Cuma satu perubahan dari saat pendaftaran online, yaitu status LOA saya yg sdh berubah menjadi unconditional dan tanggal starting yg harus dimulai dlm kurun waktu enam bulan. Si Ibu petugas mengangguk dan men stempel kartu peserta saya. Alhamdulillah, ada bulir airmata sedikit, satu fase telah saya lewati.

Saya pun turun ke lantai dua, tempat LGD saya akan dilaksanakan. Saya di kelompok 21A. Ada sekitar delapan orang di grup saya dan satu orang lagi yg akan doktoral ke luar negeri, selain saya. Selain kami, yg lain adalah mahasiswa calon master baik dalam maupun luar negeri. Saya sempat minder dengan kedosenan saya karena saya mendengar kabar dosen tidak disarankan melamar LPDP, meskipun sejak akhir 2014 hal itu berubah. Tetap saja hati saya ciut karena disini bukan arena nya dosen. Semua orang bisa apply di LPDP.

Kami pun berkenalan sbg peserta LGD. Hampir semua peserta sudah dapat LOA, bahkan dari UK. Beberapa diantara mereka telah mencoba untuk yg kedua kalinya akibat tidak lolos interview di saat pertama. Saya banyak mendengar ttg betapa banyaknya peserta berguguran di sesi interview, dan merinding sendiri membayangkan saya akan berhadapan dengan interviewer itu, besok. Ternyata bapak yg akan doktoral ke luar negeri itu telah menyelidiki kami satu per satu by google. Hehe, saya bahkan tidak sempat memikirkan orang lain, yg saya pikir hanya peta kekuatan saya dan bgmana menjual diri saya besok. Bapak itu masih muda, baru 28 tahun dengan reputasi riset telah terbit di jurnal internasional. Saya kembali ciut, ah, saya tidak sehebat itu pikir saya. Saya cuma gigih dan pekerja keras.

Iseng, saya membuka email. Masih ada balasan prof sesaat sebelum saya LGD. Beliau menulis
"very best wishes for the first phase today, and even if you did not get it, it is a great experience, so just do it and enjoy it. Let me know how it went".

Saya tersenyum. Beliau hebat pikir saya. Masih sempat membalas email ecek ecek saya yg curhat tentang kegugupan saya akan interview hari ini. Cara membalasnya pun lugas, tidak membuat saya buta akan kemungkinan gagal, karena saya telah menggambarkan betapa banyak pelamar LPDP, dan ini bukan arena dosen. Beliau juga masih dengan lugasnya menyuruh saya menikmati pengalaman ini, salah satu cara untuk meredakan ketegangan saya. Terus terang saya tidak peduli apakah beliau akan membalas email email saya. Menulis itu mengendorkan urat syaraf saya. Jadi meskipun beliau tidak membalas, menuangkan sesuatu di email tetap meredakan ketegangan urat syaraf saya yg sendirian ini. Menemukan bahwa email saya selalu berbalas dengan kata kata yg memotivasi, tentu berkah tersendiri.

Habis maghrib, kami pun dipanggil masuk. Kami disuguhi kertas yg berisi artikel semacam riset. Isinya tentang hukuman mati untuk koruptor lengkap dengan tinjauan pustaka singkat. Saya mengambil posisi sebagai aktivis dan beberapa teman mengambil posisi sbg masyarakat sipil dan akademisi. Ada dua ibu psikolog yg mengamati diskusi kami. Selama lima menit, kami diminta mengkonsep jawaban. Perlu diketahui, LGD berarti Leaderless Group Discussion. Diskusi ini tanpa pemimpin, berjalan apa adanya. Karena masih saling tunggu, saya pun berinisiatif mendata posisi teman teman. Dan mempersilahkan satu persatu. Semata mata agar diskusi lebih efektif. Kami berdiskusi dengan lancar hingga waktu habis, lalu saya pun berdiri menyalami para psikolog dengan teman teman yg lain. Salah satu ibu psikolog menjabat tangan saya dan berkata sukses bu!

Pulang ke hotel, saya masih menemukan email beliau yg menanyakan bagaimana LGD berjalan. Saya membalas beliau dengam bahagia bahwa sepertinya diskusi baik baik saja. Malam itu juga saya masih kasak kusuk mencari printer untuk email beliau yg terakhir, yg menyatakan menawari posisi sebagai asisten beliau untuk mengatasi kemungkinan kesulitan finansial. Saya ingat berjalan menuju hotel yg lain untuk menemukan printer. Dan saat si mas tukang jaga bertanya ini untuk apa, saya menjawab saya sdg seleksi beasiswa, dan minta ia mendoakan saya. Doa, itu energi saya.

Tengah malam, saya masih meng email beliau ttg DELNA, sebuah program bridging penyetaraan bhsa inggris dan apakah saya bisa tidak lulus lalu dipulangkan karena itu. Saat itu malam sabtu, dan saya meng email beliau jam tiga subuh, namun balasan tetap dtg lima menit kemudian. Weekend, dan pagi buta di Auckland, tapi si prof tetap membalas. Beliau meminta saya men cek LOA dan apakah masih ada syarat bhsa inggris disana. Saat saya nyatakan yg tertera tinggal tuition fee, beliau menjawab seperti biasa, DONT WORRY.

Hari kedua: THE INTERVIEW.
Saya datang lebih awal di interview hari ini. Mahasiswa saya berkeras menunggu saya di masjid bawah karena interview hanya berlangsung maksimal 25 menit. Jadi ia akan menunggu di bawah.

Ternyata benar, saya dipanggil lebih cepat karena ada peserta yg tdk dtg. Saya didudukkan di kursi tersendiri di kloter 6 sebelum dipanggil ke dalam. Bapak yg akan doktoral ke luar negeri itu ternyata dipanggil lebih dulu dari saya. Setelah beliau keluar, saya yg masuk.
Saya duduk di hadapan interviewer. Gugup, jelas. Ada dua bpk dan satu ibu psikolog dan ada tape recorder mini di hadapan saya. Saya diminta menyerahkan berkas dan beliau memeriksa dokumen saya. Saya diminta memperkenalkan diri. Dan, mulailah motivasi saya sekolah lagi padahal baru pulang tahun lalu itu dieksplore. Saya berusaha menjawab bahwa saya telah dapat LOA dan ini kesempatan langka. Saya tonjolkan juga biaya spp yg murah di Auckland, hubungan baik saya dg prof, kemungkinan ada program magang untuk mhswa saya, riset yg sangat menjual, semua telah saya kerahkan untuk membuat para interviewer terkesan dengan saya. Namun sama, beliau tetap punya cara tersendiri untuk menggojlok mental saya.
Dan...tibalah masalah klasik, KELUARGA. Saat itulah pertahanan saya seolah rontok. Saya benar benar tidak berdaya. Dan setelah dicecar berbagai pertanyaan, saya pun menjawab sambil menangis.
Saat itu interviewer bertanya tentang jalan hidup saya yg tidak biasa. Dan saya menyahut
"kita hidup dengan QADA dan QADAR, Pak. Qada adalah poin kejadian, Qadar adalah Takaran kejadian. Saat suatu qadar terpenuhi, maka qada pun akan berganti dengan qadar tersendiri lagi. Qada berkeluarga, berpisah, sendiri, itu ada qadarnya. Saat qadar berkeluarga habis, maka akan ada qada berpisah dengan qadarnya sendiri. Dunia tidak kekal, kita hanya sekedar melewati qada dan menghabiskan qadar dengan ikhtiar terbaik. Dan saat ini, ini ikhtiar terbaik saya".

Saya menangis bukan karena sedih, saya menangis karena itulah pemahaman awam saya tentang takdir. Bagaimana otak saya mencerna jalan hidup yg diberikan Allah untuk saya saat ini. Dan meskipun saya terlihat koboy, saya selalu menangis dan bergetar sast bicara tentang iman. Dan mereka pun terdiam dengan jawaban saya. Salah seorang interviewer memberi saya tissue dan si ibu psikolog menggenggam tangan saya. Saya pun dipersilahkan pergi.

Saat di hotel, saya melihat email prof yg menanyakan jalannya interview. Namun tidak sanggup saya balas. Saya sungguh tidak tahu apa hasil interview tadi karena saya cengeng sekali menangis. Bodoh, pikir saya. Tapi memang saya pribadi unik dan tidak mudah menentukan apakah saya akan mendapatkan beasiswa ini.

Setelah interview itu, hanya kesedihan yg menggantung di hati saya. Ada banyak hal yg tidak sempat terucap saat itu, dan saya bersedih memikirkannya. Dan perlu 10 hari untuk tahu hasilnya.

10 Juni, itulah hari bersejarah saya...

--to be continued--

Wednesday, 12 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 5, THE INTERVIEW

Hello Readers.

Hari ini agak santai nih saya karena dua kelas yg saya ajar di kursus lagi tes, jadi lah saya nganggur sambil menunggu mereka mengerjakan soal hehe. Episode ini adalah episode yg agak mengharu biru readers karena berisi tentang pengalaman saya menghadiri interview. Mungkin bagi sebagian yg selalu mengikuti status saya di fb, tentu paham bahwa saya sedang mengikuti interview saat itu. Dan tentu saja, saat itu live reportnya lebih LIVE hehe.

Seperti halnya sebuah posisi di pekerjaan, Anda harus menghadiri interview sebelum dinyatakan diterima bergabung dalam sebuah organisasi. Begitu pula dengan sponsor beasiswa, mereka halnya para CEO atau bos di perusahaan yg akan memberi Anda uang saku selama Anda study, atau bisa dikatakan sebagai GAJI. So, Anda harus memantaskan diri untuk mereka. Anda harus mampu menunjukkan pada pihak sponsor bahwa Anda pantas untuk dipilih. Jual diri dalam konotasi baik, adalah halal di ajang ini, menurut saya. Tentu jual diri dengan percaya diri lho, bukan AROGAN. Saat Anda percaya diri, menurut saya, Anda aware dengan kekuatan dan kelemahan diri Anda namun Anda juga tidak meremehkan kekuatan orang lain. Namum pada saat Anda arogan, maka biasanya Anda akan terlalu jumawa dan cenderung tidak waspada dengan kelemahan Anda dan tidak aware dengan kekuatan orang lain. Percaya diri akan mengangkat diri Anda, sedangkan arogan akan menjatuhkan Anda. Trust me!

Ok, lets continue the story, then.

Masih Mei 2015. Sambil mempersiapkan interview, saya terus bekerja siang malam mempersiapkan uang tiket, hotel dan seluruh keperluan lainnya untuk ke Surabaya. Untul riset, saya membuatnya dalam papan gabus yang ringan dimana saya menggambarkan rute sintesis yg biasa dilakukan dan saya membuat lubang kecil tempat saya sisipkan IDE BARU SAYA untuk membuat jalur sintesis lebih singkat, murah, ramah lingkungan dan berkesinambungan. Penelitian saya adalah organik sintesis, prof dan saya telah berhasil menggabungkan ide kami sebelum panggilan interview datang dn basically, the research is ready. Saya tahu bahwa di interview kita jarang diperbolehkan membawa alat elektronik semacam laptop, jadi saya membuat papan gabus warna warni untuk menjual ide saya pada sponsor, LPDP. Prinsip saya, saya harus tampil beda, saya harus membuat mereka ingat pada saya, dan mereka harus menerima saya.

Saya bekerja jauh lebih keras untuk membayar semua keperluan tiket, hotel dan tetap membiayai hidup saya dan memberi orang tua saya. Saya dapat tawaran mengajar privat di restoran dan di shipping company. Meskipun kelasnya jauh dan saya harus mengurangi jam tidur saya, bangun pagi pagi naik motor ke Samarinda seberang sebelum jam 8 pagi, saya tetao laksanakan dengan penuh semangat. Malam setelah jam 9, saya berlatih interview di kamar, berusaha menjawab the possible questions.

Seperti saya bilang, interview adalah saatnya untuk jual diri dengan percaya diri, bukan dengan arogansi. Sebagai seorang dewasa saya sangat mengenal kekuatan dan kelemahan diri saya. Secara akademik, saya sangat bisa menjual diri. Penelitian saya sangat MENJUAL, status uni of Auckland yg masuk ranking 100 besar dunia, pekerjaan kedosenan saya, asal provinsi, nilai TOEFL yang cukup, usia saya yg matang, serta my survival skill untuk hidup di negara seperti India, adalah beberapa hal yg cukup menjual di mata sponsor. Namun, saya juga punya latar belakamg hidup yg tdk seperti orang kebanyakan. Saya sendirian, dengan metode dan kisah yg cukup tidak biasa. Terus terang, saya sangat gentar dengan pertanyaan yg menyentuh ranah pribadi ini, meskipun tentu banyak yg bisa memisahkan antara ranah akademik saya dan ranah pribadi saya, namun, yah, u will never know what those interviewer gonna ask you.

Setelah saya dinyatakan dipanggil, saya pun mengabari si prof. Jika sebelumnya kami hanya berkomunikasi sekitar dua minggu sekali pada saat saya interview, beliau selalu stand by untuk email saya. Saat saya mengabarkan panggilan interview, beliau menyahut email saya dengan kalimat yg sangat menyenangkan
"congratulation, it is excellent news. Tell me if i could do any help".
Sementara saya juga minta doa dari prof saya yg di India, terutama beliau beliau yg merekomendasi saya ke Auckland. Umumnya semua mengucapkan hal yang sama, ALL THE BEST WISHES.

Saya tidak langsung membalas email si prof, karena masih terus mempersiapkan diri dan tanggal interview juga masih jauh yaitu tanggal 30 Mei. Sementara itu, Allah yg. Maha Mencukupi, memberikan rejeki yg tidak disangka sangka. Manajer restoran yg saya ajar memberikan bantun, pun owner shipping company, jadi lumayan uang tiket saya jadi tertolong :-). Selain itu, di EF saya bertemu pak Robert, owner dua perusahaan batubara yang memberikan saya tips dan trik bagaimana memenangkan suatu interview hehehe. Seperti spons, saya serap ilmu beliau.

Tibalah saat saya terbang ke Surabaya. Saat itu, saya sudah niatkan saya akan intens berkomunikasi melalui email dengan si prof karena saya tidak punya pekerjaa  lagi kecuali mempersiapkan diri untuk LPDP. Saat inilah komunikasi kami sangat intens sehingga saya seolah olah sedang berbicara langsung dengan beliau. Tidak sampai lima menit, balasan beliau selalu datang. Kami berdiskusi tentanb kelemahan riset, kemungkinan keterlambatan dana beasiswa, keunggulan uni of auckland. Yang membahagiakan, beliau menawarkan posisi sebagai asisten beliau untuk saya, membawahi 1200 mahasiswa S satu di lab. Selain itu, beliau juga menawarkan magang untuk mahasiswa yg saya rekomendasikan untuk belajar di Auckland di bawah bimbingan beliau. Posisi asisten beliau tawarkan untuk mengantisipasi kemungkinan kekurangan dana.

Hingga saat saya menulis ini, saya masih sering merinding mengingat betapa ajaibnya kisah perkenalan saya dengan prof yg baik hati ini. Hingga akhirnya saya meminta izin pada beliau agar semua komunikasi email ini saya print sebagai bukti intensitas komunikasi dengan supervisor kepada pihak sponsor.

Saat itulah beliau mengirimkan sebuah dokumen yg membuat air mata saya meleleh. Saya menerimanya saat saya landing di. Surabaya. Saat mobil taksi membawa saya menuju hotel, saya melihat email beliau beserta attachment. Singkat, padat, tapi me,buat saya berkaca kaca. Saya mengirim email sesaat sebelum take off dan saat saya landing, email beliau berbunyi
"i hope u had a safe flight. Please find the attachment for your letter of support from me, it might be useful for the interview".

Saya selalu merinding saat membaca dokumen dua halaman tersebut. Beliau berkomentar tentang bagaimana beliau mengenal saya, lalu apa yg membuat beliau menerima saya, dan paragraf terakhir yang saya attach di gambar tulisan ini, saking historikal nya hal itu untuk saya.

"it would be an honour to have a student of Nurul's calibre in my research group and she will complement of more than 20 nasionalities..." Anda bisa baca sendiri paragraf terakhir dua halaman surat dukungan untuk saya ini di foto yg saya selipkan di blog ini. Hingga saat ini pun, momen membaca tulisan beliau ini masih mampu membuat saya berkaca kaca. Bagi wanita dengan jalan hidup seperti saya, KESEMPATAN tanpa DIHAKIMI adalah hal langka dan selalu membuat saya berkaca kaca jika ada orang yg mampu melihat kualitas akademik saya tanpa mengaitkan dengan apa yg telah terjadi dalam hidup saya. Dan saya tahu saya bukanlah si super genius atau si istri yg memiliki suami dg jabatan tinggi, atau si anak dengan orang tua kaya. Saya hanya seorang wanita yg rajin dan gigih dari sebuah kota kecil di Indonesia. Intinya, saya bukan siapa siapa. Dan seorang prof di Auckland yang ringan hati menuliskan dua lembar surat dukungan untuk interview seorang Nurul Kasyfita, agar bisa lulus, ah, saya merasa sangat terhormat. Bagi saya saat itu, beliau seperti seorang mentor yg memberikan saya dukungan dari jauh. Saya dilatih beliau untuk menjawab apa yg harus saya jawab untuk tetap menonjolkan kelebihan saya. Bahkan saat itu saya baru ngeh nama lengkap beliau. Sebelumnya saya selalu mengingat beliau dengan nama JON seperti cara beliau mengakhiri emailnya.

Dan pagi tanggal 30 Mei, saya pun berdiri di teras hotel menatap langit. Saya hanya berbisik "ya Rabb, bersamai saya. Mudahkan jalan saya, bukakan urusan saya. La haw la wa la quwwata illa billah. Rabbi yassir wa la tuassir. Bismillah".

Dan saya melangkah menuju tempat interview gedung keuangan Surabaya lantai tujuh...

---to be continued---

Tuesday, 11 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 4, THE SCHOLARSHIP

Hey hey readers, sebenarnya ini tulisan versi kedua karena versi sebelumnya hilang gara gara sinyal yg on off. Maklum, tabnya sudah tua, sinyal providernya paket yang paling murah, jadi deh bersatu dalam kelemahan hihihi. Saya akan menciba untuk menulis seperti versi yg telah hilang, namun sbg penulis, greget tulisan kedua dengan topik yg sama biasanya agak garing. Yah, semoga lah yg ini tetap crunchy yaaa.

Ok, part yg ini mungkin yg agak ditunggu oleh Anda yg sedang berniat apply beasiswa. Bagi yg master, mungkin tidak terlalu ribet karena selain master durasi sekolahnya pendek, juga kadang hanya by course bukan by research. Sementara untuk yg akan melamar doktoral spt saya, perlu sedikit berjuang karena Anda perlu prof yg bersedia menjadi supervisor, selain memenuhi syarat uni tentunya. Ok, well, lets continue the story.

Maret 2015. Karena sudah punya LOA, meskipun masih conditional, saya tahu saya akan mampu mendapatkan yg unconditional, alias diterima full. Nilai toefl yg telah melebihi persyaratan dan legalisir dokumen yg tinggal dikirim ke Auckland, membuat saya yakin, saya akan diterima. Saya mengabarkan pada miss Gretchen tentang hasil toefl ibt saya. Dan hanya dengan mengkonfirmasi nomer peserta, sistem uni of Auckland telah mampu mengakses data saya di ETS, pusat TOEFL di USA sana.
Tantangan berikutnya? Naaah, ini dia! Miss Gretchen meminta saya mengirimkan seluruh legalisir ijazah dan transkrip untuk memastikan data saya dan melengkapi proses registrasi. Alamak! Anda tahu, saya tidak punya selembar kertas pun di tangan saya. Semua transkrip masih di India dan bahkan ijazah saya belum terbit. Tapi apakah saya menyerah? Hohoho, tidak! Disinilah peran teman Yamani saya, Mohammad. Abdullah Bageri sangat besar. Saya mengontak dia dan memintanya pergi ke department dan melegalisir seluruh dokumen saya. Lalu saya memintanya pula mengirimkan ke Samarinda via fedex. Saya membayar ongkos kirimnya via western union. Saat itu juga ijazah TOEFL IBT saya sedang dikirim dari USA menuju Samarinda. Lucu rasanya membayangkan ada dua amplop dari dua negara sedang menuju Indonesia untuk dimasukkan ke amplop berikutnya yang akan menuju Auckland.

Meanwhile, saya mulai fokus pada beasiswa. Awal pencarian ini sebenarnya karena email dari scholarship position yg memasang beasiswa kedutaan NZ pada link teratas saat itu, sehingga fokus utama saya adalah NZAS dari kedutaan. Beasiswa ini tutup pasa tgl 30 April 2015. Lalu, tentunya sebagai dosen saya juga melirik DIKTI meskipun sempat ragu karena status kepulangan saya dari tugas belajar sebelumnya yg belum setahun.

Untuk DIKTI, tidak terlalu ada kendala karena proposal riset saya telah siap dan DIKTI memiliki database lengkap ttg saya. Sehingga murni hanya melengkapi syarat TOEFL dan uni yg dituju. Apalagi Auckland ternyata termasuk kategori satu di DIKTI yaitu memiliki MOU langsung dengan DIKTI, wah, lancar jaya lah proses pendaftaran online saya.

Untuk beasiswa kedutaan, ada dua essay yg harus disiapkan. Dan sebagai insan yg suka menulis, dan sering menulis dalam bahasa Inggris, menulis essay dalam bahasa Inggris sebanyak 500 kata bukan hal yg terlalu susah. Saya menyelesaikannya dalam semalam. Namun, ada hal yg membuat saya ragu. Di poin satu, tertera bahwa peserta beasiswa adalah WNI yang telah menetap di Indonesia minimal dua thn terakhir. Alamak, saya kan baru pulang Juli thn lalu? Namun dengan sintingnya, saya tetap menyiapkan dokumen dan memasukkan ke amplop dan mengirimnya. Saya pikir, lebih baik mencoba mengetuk pintu dan menunggu itu terbuka ketimbang tidak mengetuk sama sekali. Dan yes, amplop itu saya kirim.

Saya juga sempat melirik beasiswa aminef dari amerika dan sempat berkomunikasi dengan prof dari Kentucky University, namun, hmm, masa sih saya walk away setelah begitu matangnya pembicaraan saya dg auckland? Selain US, bulan ini juga saya sempat mencoba beasiswa dikti ke Jepang, namun, yah, I decide to stick to New Zealand. Seperti kata pepatah, DONT LOSE THE MOON WHILE YOU ARE COUNTING THE STARS.

April 2015. Hingga awal April, belum ada terbersit untuk ikut LPDP. Saya sempat mendengar ttg betapa mapannya lembaga ini membiayai mahasiswa baik dalam maupun luar negeri. Namun, saya sempat ragu apakah umur saya yg hampir menyentuh angka 35 masih eligible to apply. Selain itu, sempat ada kabar bahwa dosen tidak disarankan apply ke LPDP kaena dianggap sudah punya payung sendiri, yaitu DIKTI.

Anyway, PhD journey ini seperti yg saya tulis di judul IT HAPPENS FOR A REASON. Tiba tiba saja saya dikontak mahasiswa saya yg hendak ke Thailand untuk diajari conversation. Saat saya mengajar, ia me mention LPDP. Saat saya lontarkan mengenai umur, ia berkata umur maksimal untuk doktoral adalah 40 thn. Saat itu saya ingat, sambil melayani mahasiswa saya conversation, saya membuat akun di LPDP. Melengkapi data pribadi dan mulai mencermati syarat syaratnya. Ada dua essay yg harus dibuat dan satu proposal riset. Selain harus memenuhi syarat TOEFL dan LOA. Meskipun LOA saya masih conditional, saya yakin ini cukup berharga untuk diupload. Setelah membuat essay dan seluruh dokumen lengkap, saya pun submit form aplikasi saya. Yang saya tahu, saya submit itu hanya 8 hari dari tanggal penutupan gelombang kedua. Dengan berbekal wifi gratis di kampus, tombol submit saya klik meski gagal submit berkali kali karena sinyal. Akhirnya saya dapat email notifikasi. Saya bahkan tidak memikirkan tgl berapa pengumuman seleksi administrasi hehe. Saya kembali sibuk mencari nafkah. Pagi mengajar di kampus, siang mengajar di kursus.

Sekitar tiga hari sblm pengumuman seleksi berkas, ada teman saya yg mengontak via wa. Disitu saya baru ingat LPDP adalah yg tercepat memberi pengumuman. Saat teman itu memposting tanggal penting, baru saya ingat 4 mei adalah harinya. Meskipun saya ragu bisa lulus, namun tetap saja hati saya dag dig dug saat itu. Tanggal 4 Mei hari itu saya mengajar di kursus. Siswa siswa pun, ikut ikutan membuka hp canggihnya masing masing untuk melihat pengumuman saya. Perlu diketahui, saya selalu melibatkan siswa dan mahasiswa saya saat saya berhajat. Saya memohon doa mereka, saya kabarkan pada mereka apa yg sedang saya usahakan. Sehingga saat hari pengumuman, hampir seluruh siswa di kursus ikut mencek website LPDP hehe. Dan dengan gontai, hingga malam tiba, saya tdk melihat email atau pun pengumuman di website LPDP terkait pengumuman hasil seleksi administrasi. Apalagi saya ingat, nomer peserta saya jauuuhhh bgt 2956, berapa ribu pelamar hebat lain selain saya? Yah, sudahlah saya pikir lebih baik saya tidur.

Esok paginya saat menunggu adzan subuh, iseng saya kembali membuka website LPDP. Intinya sih saya hanya ingin melihat siapa saja yg lolos seleksi. Mata saya masih setengah mengantuk saat saya men scroll down nama nama yg tertera. Saat masuk huruf N, saya melihat mereka mereka yg tertera. Seketika mata saya terbuka, dan bibir saya berdesis "that looks like my name", lalu saya kucek mata saya "thats my name", tidak puas, saya duduk, "THATS MY NAME". Thats my name, ucap saya. Lalu air mata pun meleleh, saya hanya sendirian di kamar kos saya membaca pengumuman subuh itu, seperti halnya event event penting dalam hidup yg saya lalui sendiri. Saya memeluk ransel sahabat saya kemana pun, dan membayangkan Najwa, sambil berbisik "I PASS, I PASS".

Setelah moment of glory yg berurai air mata itu terlewati, saya pun sadar saya akan dipanggil interview ke Surabaya, dan itu berarti uang tiket harus disiapkan lagi. Dengan 1,7 juta dari kampus per bulan, dan pekerjaan sampingan di kursus, kewajiban memberi orang tua yg tdk akan saya tinggalkan, saat itu yg ada di pikiran saya hanya satu, SAYA HARUS BEKERJA LEBIH KERAS LAGI....

---to be continued---

Sunday, 9 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part3, THE LOA

Hello readers, its me again. Saya harap Anda semua tidak bored dengan postingan my PhD journey yg ber part part, karena seperti yg saya sebutkan sebelumnya, perjuangan ini tidak sebentar pun tidak mudah, sehingga bahkan untuk menuangkannya dalam tulisan, itu perlu berpart part.

Anyway, kali ini saya meneruskan ke bagian yg esensial dan dicari banyak orang yg memburu beasiswa seperti saya, the LOA atau LETTER OF ACCEPTANCE. Dulu saat saya masih kuliah S 1, saya sering mendengar istilah LOA dan ternganga nganga mendengar orang bisa ke luar negeri dengan surat sakti ini. Saya tdk pernah membayangkan, bertahun tahun berikutnya, saya yg mengurus LOA dan berhasil mendapatkannya, HANYA DALAM WAKTU TIGA BULAN. Yup, saya berhasil melulusi semua permintaan Auckland, hanya dalam waktu tiga bulan.

Well, mari kita sambung ceritanya.

Januari 2015. Saya seperti menggila dengan rencana doktoral saya. Pada bulan ini, saya sibuk mempersiapkan tiket pesawat ke Surabaya untuk ikut tes TOEFL IBT. Selain itu, saya juga sibuk browsing browsing hotel untuk cari harga termurah karena test centrenya terletak di daerah elit, Citraland Surabaya.
Meanwhile, Miss Gretchen kembali menghubungi saya dan meminta saya mendapatkan rekomendasi dari dua prof saya yg di India. Parahnya, format surat ada dari Auckland, tapi surat ini harus diisi, diprint, distempel dan discan ulang, serta dikirimkan kembali LANGSUNG DARI EMAIL SI PROF DARI INDIA. Waahh itu tantangan berat untuk meyakinkan prof di India agar mau melakukan hal seribet itu untuk saya, the Indonesian foreigner. Tawakkal, saya email 5 prof di India mengabarkan rencana PhD saya dan betapa saya memerlukan keringanan hati beliau untuk melakukan proses itu untuk saya. Saya klik SEND dan berdoa menunggu kabar dari mereka. Saya ingat saat itu saya senyum sendiri membayangkan email saya melayang ke India, ke Auckland, Nurul Kasyfita terbang ke berbagai belahan bumi hanya dengan satu metode, INTERNET. Ada tiga negara yg memproses saya saat itu, India, Indonesia untuk TOEFL IBT saya dan NZ untuk rencana PhD saya.
Hampir akhir bulan, tidak ada balasan baik dari India ataupun Auckland. Dengan senewen, saya memutuskan meng email miss Gretchen untuk memastikan proses rekomendasi saya tidak bermasalah. Email beliau sangat mencengangkan saya
"we got four recommendations of your professor, and we are happy to say that your conditional LOA is almost ready".
Haa, empat saudara, saudara! Yg diminta hanya dua, namun yg mengirim kembali dan berproses seribet itu ada EMPAT prof! Yiiihaaa, saya jingkrak jingkrak lagi saat itu. Kesibukan doktoral ini membuat saya tdk memikirkan hal lain kecuali itu. Saya terus berusaha menemui Najwa di sekolahnya, namun rencana PhD ini membuat denyut hidup saya tetap berdetak. This is definitely, a reason to stay alive!
Saya meng email kembali kelima prof (meskipun yg satu prof tidak menulis rekomendasi untuk saya) untuk mengucapkan terima kasih. Dan satu diantara mereka, Prof Nagaraj Naik menuliskan balasan yg sangat indah.
"if you really want something, the whole universe will attract that thing to you, that is the law of attraction. All the best wishes for your PhD. We are proud to ever have you as our student".

Law of attraction, itu yg saya camkan. Hukum tarik menarik itu ada, inginkanlah sesuatu yg positif, maka alam semesta akan menarik itu untuk Anda. Dan saya ingin PhD ini, saya ingin ilmu ini, saya ingin seluruh pengalaman internasional. Dan bersama Allah, saya akan menang!

Februari 2015. Tepat tanggal 12 Februari saya berangkat ke Surabaya. Saya tes tgl 14 Februari dan sempat diolok supir taksi yg mengantar saya ke hotel, bahwa saya jomblo sejati, mengerjakan tes pada hari Valentine katanya. Haha, saya tdk celebratd valentine Pak, begitu kata saya.
Tgl 13 Februari, adalah hari bersejarah untuk saya. Saat itu saya sedang duduk di lobby menunggu mahasiswa saya datang untuk meninjau lokasi tes.
Ping! Email miss Gretchen masuk ke tab tersayang yg telah menemani perjuangan saya sejak di India. Mata saya terbelalak,
WOOOOOOO, I GOT THE CONDITIONAL LOA!
Dan merinding experience itu muncul selalu karena saya tidak pernah bersama dengan siapa siapa saat melihat pencapaian hidup saya. Selalu, saya sendiri. Saking penuhnya dada saya saat itu, saya membaginya pada reception hotel yg terkagum kagum mendengar perjuangan saya.
Meskipun masih conditional, artinya diterima dengan syarat TOEFL harus melebihi permintaan mereka dan mengirimkan legalisir seluruh dokumen, itu sudah cukup membahagiakan saya. Saya tahu, surat ini CUKUP untuk menjual diri saya ke sponsor untuk dibiayai.

Dan esoknya, saya tes TOEFL IBT. Saya mengerjakan seluruh soal, lalu diantar pulang oleh seorang gadis bernama Putri, yg saat ini sudah berada di USA dengan beasiswa aminef. Saat itu ia mendengar saya speaking dan menyebutkan Inggris saya sangat excellent. Ternyata dia sudah ikut trs tiga kali dan msh belum lulus nilai 80 seperti yg diminta aminef. Dia mengantar saya ke hotel, bahkan ikut nonton tv dengan saya hingga ashar tiba. Ia juga terkagun kagum dengan perjuangan saya.

Well, kadang saya bingung saat setiap orang mengagumi pencapaian saya. Really, i am not that genius. Saya itu biasa biasa saja. Mungkin, jalan hidup saya yg luar biasa dan bagaimana cara saya menanganinya. Saya hanya BERUNTUNG. Thats it. Bagaimana orang lain mungkin perlu berbulan bulan untuk dapat LOA, saya dibukakan Allah jalan untuk lulus hanya dalam waktu tiga bulan. Ah, sekali lagi, pertolongan Allah itu ada.

Dan, seminggu kemudian, saya dapat kabar hasil TOEFL saya. Saya sedamg duduk habis shalat subuh saat itu saat saya mengklik akun saya. Gemetar, karena ini tes bukan main mahalnya dan nilai yg harus dilulusi bukan main tingginya. 90 out of 120 dengan essay minimal 21 out of 30.

Dan....alhamdulillah, Nurul Kasyfita, melulusi TOEFL IBT nya dengan nilai
101 out of 120 dan essay 26 out of 30.

Dan saya tahu saat itu, Auckland bisa jadi rumah saya selanjutnya....

---bersambung---

Saturday, 8 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 2, the road to Uni of Auckland

Hey, hey! Ini saya lagi, saya akan menyambung bagian kedua dari my PhD journey. Ammm..where were we? Ah, ya, saya berhenti tepat saat saya membuat student account di University of Auckland.

Well, mari kita sambung lagi, readers.

Desember 2014. Sejak diberi link tersebut oleh si prof yang saya pun belum ingat nama beliau saat itu, saya mulai mencermati akun tersebut. Saya mengisi data nama, alamat, nomer paspor, etc seperti halnya membuat akun fb. Cukup mudah karena ada step 1;2;3  mirip laah dengan akun fb. Dan semua saya lakukan di sela sela kegiatan mengajar saya. Kadang murid kursus saya bertanya, miss lagi apa? Lalu saya menunjukkan pada mereka apa yg sedang saya kejar dan mereka ternganga mengetahui saya yg tua bangka ini masih ingin sekolah.
Lalu tiba saatnya saya mengupload dokumen. Alamak, yg saya punya semua hanya hasil scan dari India, itu pun hanya transkrip sementara, saya belum punya ijazah saat itu. Anyway, karena internet yg on off baik di kampus maupun di kursus, dokumen saya selalu gagal upload. Ah, saya masih ingat saat malam malam ngendon di depan lab kimia hanya agar dapat wifi gratis, sepulang saya mengajar jam 9, itu pun tetap dokumen saya gagal upload.
Saya masih ingat saat itu, malam saat dokumen saya terus menerus gagal upload. Saking linglungnya, saya mengklik link NEED HELP? yg biasanya sih isinya cuma admin yg kdg meng ignore keluhan kita. Tapi karena tdk ada siapapun yg bisa saya mintai tolong, saya klik link itu. Saya tulis email bahwa kondisi net disini on off dan dokumen saya selalu gagal upload. Saya klik SEND dan berdoa ada malaikat di Auckland sana yg membaca email saya dan yg lebih penting, menolong saya.
Esok hari, saya ke kampus, hal pertama yg saya cek adalah email. Yay! Ada balasan. Namanya miss Maiko, yg dengan ramahnya meminta saya men zip seluruh dokumen yg diminta dan beliau yg akan mengupload ke folder saya. Haha, admin yg kereeennn. Ok lah, saya zip semua dokumen itu dan send. Selang sejam, beliau mengabari saya akun saya sudah lengkap terisi semua dokumen. Hoah, saya bahagia sekali hari itu saat saya dengan pedenya meng klik SUBMIT! Done, saya dapat nomer registrasi aplikasi sbg PhD student di University of Auckland.
Seminggu setelah itu, saya dapat email dari manager postgraduate, Miss Gretchen. Aplikasi saya masih di review oleh panitia penerimaan di University of. Auckland. Sementara itu direview, saya diminta melengkapi syarat inggris saya, TOEFL iBT or IELTS. Yaahhh, saya lobby agar mau menerima TOEFL ITP yang saya punya mereka menolak. Universitas ini sangat ketat dengan persyaratan. Parahnya lagi, India digolongkan sebagai medium English sehingga harus tetap melampirkan bukti TOEFL or IELTS sebagai syarat kelulusan. Nilai minimum untuk PhD? Bukan main, 90 dari nilai maksimal 120 dengan nilai essay minimal 21 dari nilai maksimal 30.
Saya email prof tentang progress ini. Beliau mengatakan saya harus memenuhi semua syarat tsb dan tidak ada wewenanb beliau untuk campur tangan dengan proses universitas. Ok lah, ini berarti tidak bisa ditawar. Saya harus cari cara untuk tes TOEFL IBT.

Perjalanan mencari link untuk TOEFL IBT juga bukan hal mudah. Saya keliling Samarinda mencari kursus yg melayani hal ini agar tidak perlu terbang keluar Samarinda. Alhasil, tak ada hehe. Saya cuma diberi link ETS website tempat booking TOEFL IBT. Plus catatan bahwa transaksi harus dg kartu kredit. Ok lah, bermodal kartu kredit yg sdh saya miliki itu, saya book seat untuk tes TOEFL IBT. Bukan main harganya, 180 dollar alias 2,4 juta. Ok, demi sebuah cita cita, saya book dan bayar tiketnya. Lalu memutar otak agar uang gaji cukup untuk membayar semuanya. Perlu diketahui saat saya pulang dari India, gaji saya dipotong setengah untuk membayar kelebihan pembayaran gaji saya akibat surat izin belajar yg terlambat. Walhasil, saya hanya menerima 1,7 juta saat itu. Dengan sewa kos yg 700 rb, saya harus memutar otak agar tetap bisa memberi kedua orang tua saya dan cukup untuk hidup saya. Saya bekerja siang malam mencari uang tambahan, plus mengajar privat, agar semua tercukupi. Malam, saya masih memelototi dokumen dan syarat syarat beasiswa agar semua bisa selesai pada waktunya.

Tiket sudah terbook. Buku saya tdk punya yg TOEFL IBT. Waaah apa mau mati konyol tuh ngerjain TOEFL tanpa panduan. Meskipun saya mengajar TOEFL namun TOEFL yg akrab di mata saya bukan yg Ibt, melainkan yg paper based yg tentunya berbeda bangetttt dg ibt. Saya coba cari bukunya ke Gramed, alhasil harganya seharga sewa kos saya srbulan. Hmm...agak berpikir untuk beli. Apalagi hanya digunakan sekali untuk tes. Saat itu saya ingat, saya menatap langit dan berbisik, YA ALLAH, TOLONG SAYA, SAYA PERLU BUKU.

Alhamdulillah, selang beberapa hari ada teman saya menghubungi untuk diajari TOEFL. Saya pun menerima tawaran mencari uang tambahan ini. Saat saya masuk ke rumahnya dan ia mengeluarkan buku buku TOEFL nya, waaaahhhh, Allah Maha Mencukupi, dia punyaaa buku TOEFL ibt, yiiiihhhaaaa. Saya seperti melihat makanan lezat. Dengan sungkan saya minta izin agar diizinkan meminjam bukunya dan yah, ia bersedia. Seperti orang menang lotre saat malam itu saya bawa buku tebal itu dan tidur sambil memeluk buku berharga itu. Like I said, IT HAPPENS FOR A REASON.

Kesulitan saya berikutnya adalah WAKTU. Saya mengajar dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam. Kapan ada waktu untuk belajar. Saat saya masuk kamar, badan saya sudah setengah zombie merangkak ke tempat tidur. Alhamdulillah, EF libur akhir tahun. Waaahhh mulailah saya melahap buku tebal tsb. Saya mulai membaca strateginya. Dan menanamkan itu di kepala saya.

#about TOEFL IBT
Pada dasarnya ini adalah tes diagnostik. Saya masih akrab dengan reading dan listenning yg hampir mirip dengan paper based test, tapi untuk speaking dan essay saya masih belum terlalu familiar. Intinya ini internet based, jadi semua berbasis internet sehingga wajar harganya mahal. Soal pun dikirim langsung dari ETS, pusat toefl di US sana. Pun jawaban akan direkam dan disubmit kesana. Test centrenya pun tidak selalu ada di srtiap kota. Yg terdekat adalah Surabaya dan Makassar. Saya memilih Surabaya karena tiket murah. Itu pun test centrenya ada di perumahan elit Citraland, di samping konjen Amerika Serikat di Surabaya. Ah saya ingat pusing sekali saat itu. Tapi anyway, saya selalu fokus akan apa yg ada di hadapan saya. Dan saat itu, fokus saya adalah BELAJAR SOAL TOEFL IBT.

Setiap malam selama libur natal dan tahun baru saya belajar. Satu malam, satu latihan. Saya hitung berapa prediksi nilai saya dan mempelajari kekuatan dan kelemahan saya. Untuk reading dan listenning, kuliah di India cukup membantu saya. Saya tidak merasa lelah membaca teks teks panjang karena selama di India, my reading speed itu meningkat tajam. Ada sekitar tujuh teks yg harus dibaca di sepanjang sesi reading. Lalu listenning, saya selalu melihat nilai saya hampir sempurna. Sebagai seorang guru. Bahasa Inggris, saya paham, reading dan listenning itu bagian dari English pasif, jadi tentu sebagai recipient, saya mah ahli. Naah yg mengukur English aktif saya adalah speaking dan writing. Karena disini lah, kita diminta untuk memproduksi sesuatu. Dan kemampuan memproduksi sesuatu baik lisan maupun tulisan itulah, ENGLISH ACTIVE.

Well, sesi speaking ada enam sub sesi. Kita hanya diberi waktu 10 detik untuk memikirkan jawaban dan hanya 20 detik untuk merespons pertanyaan. Pertanyaannya meningkat dari yg hanya berupa pertanyaan bebas seperti WHO IS YOUR ROLE MODEL AND WHY hingga pertanyaan akademis dimana kita harus membaca teks kuliah, lalu mendengarkan ceramah terkait kuliah itu, lalu menggabungkan keduanya dalam waktu 20 detik. Ribet? Hohoho tentuuu. Tapi apa saya menyerah? Noooo. Itu jadi tantangan saya. Wong ini tes seharga 2,4 juta lho. Tidak ada pilihan lain, saya harus LULUS!

Untuk perjalanan saya mengerjakan TOEFL ibt di Surabaya, kita sambung di part berikutnya yaa, saya harus shalat isya dulu...

Next, the road to TOEFL IBT!

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 1

Masih pagi, saya masih leyeh leyeh di kamar karena hanya hari ini saya bisa sedikit "bernafas". Biasanya saya akan mencuci motor saya, namun hari ini saya ingin menulis. Entah kenapa, tadi pagi saya membaca tulisan di blog saya tentang tahun 2014 dan rencana saya di 2015. Senang rasanya melihat semangat saya di tahun kemarin telah banyak berbuah di tahun ini. Belum genap setahun, baru bulan ke 8 di hari ke 9, alhamdulillah, rencana dan semangat tahun lalu itu telah ada yg tergenggam, meski perjuangan masih jauh. Tapi, bukankah hidup itu memang hakikatnya berjuang?

Ammm...mungkin saya akan tuangkan tulisan ini dalam bentuk timeline, agar terlihat jelas peta perjuangan saya hingga sampai ke titik ini saat ini. Perlu diakui, perjuangan saya tidak singkat, apalagi mudah, semua saya lewati dengan keringat dan juga air mata. Namun saya melihat tidak ada pilihan lain yg lebih baik daripada meneruskan sekolah saat ini. Akses ke Najwa yang kian hari kian sulit, dan negosiasi yg tdk ada ujungnya, membuat saya memutar haluan dan menjadikan sekolah sebagai painkiller saya. Daripada terus bergulat dengan pihak yg tidak mau lagi mendengarkan saya, saya pikir ada baiknya saya mengejar sesuatu yang masih bisa diperjuangkan saat ini, dan itu bisa menjadi alasan saya untuk hidup, kekuatan untuk melewati hari, reason to stay ALIVE. Dan mulailah perjalanan menuju doktoral saya rancang. Di tengah kesendirian, di tengah kerinduan saya pada Najwa, saya mulai melangkah. Mari kita mulai cerita ini.

Oktober 2014. Saat ini saya bertemu sesama dosen yg menyebutkan perjuangan beliau mewujudkan mimpi doktoralnya. Saat itu saya menyadari, untuk kuliah doktoral tidak cukup hanya diterina di universitas, atau memiliki beasiswa, lebih dari itu, harus ada prof yg menerima kita sebagai mhswa bimbingan. Dan proses pencarian prof itu, bisa berbulan bulan bahkan tahunan. Sejak saya berbincang dengan beliau, saya mulai bergerilya mencari prof. Mengirimkan surat lamaran ke beberapa negara agar bisa diterima. Jerman dan Turki, dua negara yg awalnya saya incar karena Eropa tetap menggiurkan untuk didatangi dan Turki, mungkin bisa sedikit ramah dengan saya yg cuma lulusan India ini, begitu pikiran saya. Padahal saat itu saya belum punya ijazah dan hanya bermodal transkrip sementara. Sekitar 10 email saya layangkan, namun beberapa balasan yg saya terima adalah NO SEAT AVAILABLE. Beberapa di antara yg lain bahkan tidak berbalas. Hik.

November 2014. Saya mencermati peluang ke Brunei Darussalam. Mulai melihat skema beasiswanya dan melihat apakah Kimia ada disana. Hanya ada tiga Universitas yang masuk di list beasiswa dan Kimia hanya ada di satu universitas saja. Saya baru mengontak customer service beasiswa saat itu dan tidak terlalu meneruskan perjuangan karena saya melihat bahasa yg digunakan bahasa Melayu. Inggris saya tidak akan terasah, begitu pikiran saya.
Yah, everything happens for a reason, itu istilah saya. Saat saya sedang menunggu penerbangan saya ke Jakarta, saya dapat email dari scholarship position, milis beasiswa yg saya ikuti. List teratas, ada beasiswa New Zealand. Saya klik link tersebut dan saya melihat ada 8 universitas yang masuk list beasiswa dan University of Auckland adalah yg teratas di dafter tersebut. Iseng, saya klik universitas itu lalu mencari jurusan Kimia. Chemical science school, itu istilah mereka. Intinya saya hanya mengklik daftar teratas hehe, tidak mencari yg bawah. Saya klik beberapa mata kuliah dan melihat foto beberapa dosen beserta alamat email mereka. Saya save satu satu alamat email tersebut, ada sekitar 7 orang prof yg saya simpan saat itu, dan saya pun berangkat ke Jakarta.
Pulang Jakarta, saya membuat draft email perkenalan. Saya kirim email itu ke 7 prof tadi. Menyatakan niat saya untuk kuliah S tiga dan memohon beliau bisa menerima saya. Semua itu saya lakukan sambil terus bekerja mencari uang tambahan. Saya tahu, perjuangan saya untuk doktoral tidak murah dan saya harus menyiapjan biaya untuk itu. Tujuan saya saat itu hanya satu, LOA, letter of acceptance, baik dari prof ataupun dari universitas. Setelah surat itu di tangan saya, saya akan "jual diri" ke sponsor, itu rencana saya.
Selang sehari, saya dapat satu balasan. Prof ini meminta saya mengirimkan tesis saya saat di India. Saya kirimkan, lalu beliau tidak membalas lagi. Saya mulai bingung, akhirnya saya melihat email prof yg belum pernah berani saya sentuh karena beliau bergerak di organik yang terus terang saya tidak terlalu suka. Sambil mengikuti pelatihan saat itu, bermodal wifi kampus, saya mengirimkan email saya. Ping! Hanya sekitar lima menit, beliau membalas saya. Berbeda dengan email prof lain, prof ini membalas saya dengan kalimat
"WHAT CAN I DO TO HELP YOU, NURUL?".
Ha, fast respon dan beliau sepertinya berniat menolong. Itu kesan yg saya dapat. Ok lah, saya balas beliau lagi bahwa saya perlu LOA untuk bisa mendapat sponsor kuliah s tiga saya. Kali ini saya tidak lagi menggunakan email yg saya rancang tapi sudah seperti percakapan antara murid ke gurunya. Saya klik SEND, selang lima menit, beliau membalas saya lagi. Kali ini beliau membalas dengan lebih panjang. Beliau bilang bahwa kekuasaan menerima mhswa PhD tidak semata mata ada di tangan beliau, tapi saya harus lulus seleksi universitas. Saya diberi link untuk membuat student account, link untuk saya mengupload dokumen dokumen yg diperlukan dan melulusi syarat syarat yg mereka ajukan. Saya masih bertanya lagi pada beliau, bagaimana dengan TOEFL saya dan tesis saya yg masih "ecek ecek" itu. Beliau membalas dengan kalimat yg lugas.
DONT WORRY ABOUT THE RESEARCH, WE CAN MODIFY IT LATER.
Saya menuruti saran beliau, mengklik link yg dikirimkan beliau dan membuat student account di University of Auckland, New Zealand.

---bersambung---