Hey hey readers, sebenarnya ini tulisan versi kedua karena versi sebelumnya hilang gara gara sinyal yg on off. Maklum, tabnya sudah tua, sinyal providernya paket yang paling murah, jadi deh bersatu dalam kelemahan hihihi. Saya akan menciba untuk menulis seperti versi yg telah hilang, namun sbg penulis, greget tulisan kedua dengan topik yg sama biasanya agak garing. Yah, semoga lah yg ini tetap crunchy yaaa.
Ok, part yg ini mungkin yg agak ditunggu oleh Anda yg sedang berniat apply beasiswa. Bagi yg master, mungkin tidak terlalu ribet karena selain master durasi sekolahnya pendek, juga kadang hanya by course bukan by research. Sementara untuk yg akan melamar doktoral spt saya, perlu sedikit berjuang karena Anda perlu prof yg bersedia menjadi supervisor, selain memenuhi syarat uni tentunya. Ok, well, lets continue the story.
Maret 2015. Karena sudah punya LOA, meskipun masih conditional, saya tahu saya akan mampu mendapatkan yg unconditional, alias diterima full. Nilai toefl yg telah melebihi persyaratan dan legalisir dokumen yg tinggal dikirim ke Auckland, membuat saya yakin, saya akan diterima. Saya mengabarkan pada miss Gretchen tentang hasil toefl ibt saya. Dan hanya dengan mengkonfirmasi nomer peserta, sistem uni of Auckland telah mampu mengakses data saya di ETS, pusat TOEFL di USA sana.
Tantangan berikutnya? Naaah, ini dia! Miss Gretchen meminta saya mengirimkan seluruh legalisir ijazah dan transkrip untuk memastikan data saya dan melengkapi proses registrasi. Alamak! Anda tahu, saya tidak punya selembar kertas pun di tangan saya. Semua transkrip masih di India dan bahkan ijazah saya belum terbit. Tapi apakah saya menyerah? Hohoho, tidak! Disinilah peran teman Yamani saya, Mohammad. Abdullah Bageri sangat besar. Saya mengontak dia dan memintanya pergi ke department dan melegalisir seluruh dokumen saya. Lalu saya memintanya pula mengirimkan ke Samarinda via fedex. Saya membayar ongkos kirimnya via western union. Saat itu juga ijazah TOEFL IBT saya sedang dikirim dari USA menuju Samarinda. Lucu rasanya membayangkan ada dua amplop dari dua negara sedang menuju Indonesia untuk dimasukkan ke amplop berikutnya yang akan menuju Auckland.
Meanwhile, saya mulai fokus pada beasiswa. Awal pencarian ini sebenarnya karena email dari scholarship position yg memasang beasiswa kedutaan NZ pada link teratas saat itu, sehingga fokus utama saya adalah NZAS dari kedutaan. Beasiswa ini tutup pasa tgl 30 April 2015. Lalu, tentunya sebagai dosen saya juga melirik DIKTI meskipun sempat ragu karena status kepulangan saya dari tugas belajar sebelumnya yg belum setahun.
Untuk DIKTI, tidak terlalu ada kendala karena proposal riset saya telah siap dan DIKTI memiliki database lengkap ttg saya. Sehingga murni hanya melengkapi syarat TOEFL dan uni yg dituju. Apalagi Auckland ternyata termasuk kategori satu di DIKTI yaitu memiliki MOU langsung dengan DIKTI, wah, lancar jaya lah proses pendaftaran online saya.
Untuk beasiswa kedutaan, ada dua essay yg harus disiapkan. Dan sebagai insan yg suka menulis, dan sering menulis dalam bahasa Inggris, menulis essay dalam bahasa Inggris sebanyak 500 kata bukan hal yg terlalu susah. Saya menyelesaikannya dalam semalam. Namun, ada hal yg membuat saya ragu. Di poin satu, tertera bahwa peserta beasiswa adalah WNI yang telah menetap di Indonesia minimal dua thn terakhir. Alamak, saya kan baru pulang Juli thn lalu? Namun dengan sintingnya, saya tetap menyiapkan dokumen dan memasukkan ke amplop dan mengirimnya. Saya pikir, lebih baik mencoba mengetuk pintu dan menunggu itu terbuka ketimbang tidak mengetuk sama sekali. Dan yes, amplop itu saya kirim.
Saya juga sempat melirik beasiswa aminef dari amerika dan sempat berkomunikasi dengan prof dari Kentucky University, namun, hmm, masa sih saya walk away setelah begitu matangnya pembicaraan saya dg auckland? Selain US, bulan ini juga saya sempat mencoba beasiswa dikti ke Jepang, namun, yah, I decide to stick to New Zealand. Seperti kata pepatah, DONT LOSE THE MOON WHILE YOU ARE COUNTING THE STARS.
April 2015. Hingga awal April, belum ada terbersit untuk ikut LPDP. Saya sempat mendengar ttg betapa mapannya lembaga ini membiayai mahasiswa baik dalam maupun luar negeri. Namun, saya sempat ragu apakah umur saya yg hampir menyentuh angka 35 masih eligible to apply. Selain itu, sempat ada kabar bahwa dosen tidak disarankan apply ke LPDP kaena dianggap sudah punya payung sendiri, yaitu DIKTI.
Anyway, PhD journey ini seperti yg saya tulis di judul IT HAPPENS FOR A REASON. Tiba tiba saja saya dikontak mahasiswa saya yg hendak ke Thailand untuk diajari conversation. Saat saya mengajar, ia me mention LPDP. Saat saya lontarkan mengenai umur, ia berkata umur maksimal untuk doktoral adalah 40 thn. Saat itu saya ingat, sambil melayani mahasiswa saya conversation, saya membuat akun di LPDP. Melengkapi data pribadi dan mulai mencermati syarat syaratnya. Ada dua essay yg harus dibuat dan satu proposal riset. Selain harus memenuhi syarat TOEFL dan LOA. Meskipun LOA saya masih conditional, saya yakin ini cukup berharga untuk diupload. Setelah membuat essay dan seluruh dokumen lengkap, saya pun submit form aplikasi saya. Yang saya tahu, saya submit itu hanya 8 hari dari tanggal penutupan gelombang kedua. Dengan berbekal wifi gratis di kampus, tombol submit saya klik meski gagal submit berkali kali karena sinyal. Akhirnya saya dapat email notifikasi. Saya bahkan tidak memikirkan tgl berapa pengumuman seleksi administrasi hehe. Saya kembali sibuk mencari nafkah. Pagi mengajar di kampus, siang mengajar di kursus.
Sekitar tiga hari sblm pengumuman seleksi berkas, ada teman saya yg mengontak via wa. Disitu saya baru ingat LPDP adalah yg tercepat memberi pengumuman. Saat teman itu memposting tanggal penting, baru saya ingat 4 mei adalah harinya. Meskipun saya ragu bisa lulus, namun tetap saja hati saya dag dig dug saat itu. Tanggal 4 Mei hari itu saya mengajar di kursus. Siswa siswa pun, ikut ikutan membuka hp canggihnya masing masing untuk melihat pengumuman saya. Perlu diketahui, saya selalu melibatkan siswa dan mahasiswa saya saat saya berhajat. Saya memohon doa mereka, saya kabarkan pada mereka apa yg sedang saya usahakan. Sehingga saat hari pengumuman, hampir seluruh siswa di kursus ikut mencek website LPDP hehe. Dan dengan gontai, hingga malam tiba, saya tdk melihat email atau pun pengumuman di website LPDP terkait pengumuman hasil seleksi administrasi. Apalagi saya ingat, nomer peserta saya jauuuhhh bgt 2956, berapa ribu pelamar hebat lain selain saya? Yah, sudahlah saya pikir lebih baik saya tidur.
Esok paginya saat menunggu adzan subuh, iseng saya kembali membuka website LPDP. Intinya sih saya hanya ingin melihat siapa saja yg lolos seleksi. Mata saya masih setengah mengantuk saat saya men scroll down nama nama yg tertera. Saat masuk huruf N, saya melihat mereka mereka yg tertera. Seketika mata saya terbuka, dan bibir saya berdesis "that looks like my name", lalu saya kucek mata saya "thats my name", tidak puas, saya duduk, "THATS MY NAME". Thats my name, ucap saya. Lalu air mata pun meleleh, saya hanya sendirian di kamar kos saya membaca pengumuman subuh itu, seperti halnya event event penting dalam hidup yg saya lalui sendiri. Saya memeluk ransel sahabat saya kemana pun, dan membayangkan Najwa, sambil berbisik "I PASS, I PASS".
Setelah moment of glory yg berurai air mata itu terlewati, saya pun sadar saya akan dipanggil interview ke Surabaya, dan itu berarti uang tiket harus disiapkan lagi. Dengan 1,7 juta dari kampus per bulan, dan pekerjaan sampingan di kursus, kewajiban memberi orang tua yg tdk akan saya tinggalkan, saat itu yg ada di pikiran saya hanya satu, SAYA HARUS BEKERJA LEBIH KERAS LAGI....
---to be continued---
No comments:
Post a Comment