Hello readers, its me again.
Hmm, episode kali ini saya ingin membicarakan tentang bagaimana suasana seleksi interview di LPDP khususnya di Surabaya. Perlu diketahui, ini adalah cerita versi saya, untuk teman teman yg lain, mungkin bisa berbeda. So, mari kita mulai ceritanya.
Masih di Mei 2015.
Setelah bekerja keras dan dapat bantuan sana sini untuk tiket pesawat, hehe, saya pun terbang ke Surabaya. Saya tahu, tempat tes ada di Jalan Indrapura, salah satu jalan utama di Surabaya. Alhasil, tidak ada hotel dekat dekat situ yg "pas" dengan kantong saya hehe. Saya menginap agak jauh, akhirnya.
Selama dalam perjalanan menuju dan saat di Surabaya, saya berkomunikasi dengan prof sangat intens. Seperti mengirim sms, email send, lima menit jawaban dtg. Beliau cukup banyak me mentori saya, bahkan surat dukungan sepanjang dua halaman itu cukup menguatkan mental saya yg berjuang sendiri.
Alhamdulillah, berkat hubungan baik saya dg mhswa, mereka selalu siap sedia kapanpun saya memerlukan bantuan. Di Surabaya ini, ada dua mhswa saya yg sdg menempuh kuliah master di ITS. Jadilah mereka menjadi pengendara untuk saya, kami naik motor berbekal GPS menemukan gedung keuangan. Ah, tangan pertolongan Allah dimana mana.
Hari pertama: verifikasi berkas dan LGD.
Saya naik ke lantai tujuh tempat seleksi berkas berlangsung. Saya melihat banyak anak muda yg sangat cemerlang di mata saya. Para pelamar yg sama harapannya dengan saya, ingin disekolahkan LPDP. Celingak celinguk saya bertanya kapan berkas saya bisa diverifikasi. Hati saya ciut sebenarnya, karena saya belum punya ijazah asli, hanya ijazah sementara yg saya punya. Duh, pikir saya, jika saya tertolak di meja verifikasi, betapa sia sianya semua pengorbanan tiket dan hotel ini.
Saya pun duduk dan berkas saya diperiksa. Cuma satu perubahan dari saat pendaftaran online, yaitu status LOA saya yg sdh berubah menjadi unconditional dan tanggal starting yg harus dimulai dlm kurun waktu enam bulan. Si Ibu petugas mengangguk dan men stempel kartu peserta saya. Alhamdulillah, ada bulir airmata sedikit, satu fase telah saya lewati.
Saya pun turun ke lantai dua, tempat LGD saya akan dilaksanakan. Saya di kelompok 21A. Ada sekitar delapan orang di grup saya dan satu orang lagi yg akan doktoral ke luar negeri, selain saya. Selain kami, yg lain adalah mahasiswa calon master baik dalam maupun luar negeri. Saya sempat minder dengan kedosenan saya karena saya mendengar kabar dosen tidak disarankan melamar LPDP, meskipun sejak akhir 2014 hal itu berubah. Tetap saja hati saya ciut karena disini bukan arena nya dosen. Semua orang bisa apply di LPDP.
Kami pun berkenalan sbg peserta LGD. Hampir semua peserta sudah dapat LOA, bahkan dari UK. Beberapa diantara mereka telah mencoba untuk yg kedua kalinya akibat tidak lolos interview di saat pertama. Saya banyak mendengar ttg betapa banyaknya peserta berguguran di sesi interview, dan merinding sendiri membayangkan saya akan berhadapan dengan interviewer itu, besok. Ternyata bapak yg akan doktoral ke luar negeri itu telah menyelidiki kami satu per satu by google. Hehe, saya bahkan tidak sempat memikirkan orang lain, yg saya pikir hanya peta kekuatan saya dan bgmana menjual diri saya besok. Bapak itu masih muda, baru 28 tahun dengan reputasi riset telah terbit di jurnal internasional. Saya kembali ciut, ah, saya tidak sehebat itu pikir saya. Saya cuma gigih dan pekerja keras.
Iseng, saya membuka email. Masih ada balasan prof sesaat sebelum saya LGD. Beliau menulis
"very best wishes for the first phase today, and even if you did not get it, it is a great experience, so just do it and enjoy it. Let me know how it went".
Saya tersenyum. Beliau hebat pikir saya. Masih sempat membalas email ecek ecek saya yg curhat tentang kegugupan saya akan interview hari ini. Cara membalasnya pun lugas, tidak membuat saya buta akan kemungkinan gagal, karena saya telah menggambarkan betapa banyak pelamar LPDP, dan ini bukan arena dosen. Beliau juga masih dengan lugasnya menyuruh saya menikmati pengalaman ini, salah satu cara untuk meredakan ketegangan saya. Terus terang saya tidak peduli apakah beliau akan membalas email email saya. Menulis itu mengendorkan urat syaraf saya. Jadi meskipun beliau tidak membalas, menuangkan sesuatu di email tetap meredakan ketegangan urat syaraf saya yg sendirian ini. Menemukan bahwa email saya selalu berbalas dengan kata kata yg memotivasi, tentu berkah tersendiri.
Habis maghrib, kami pun dipanggil masuk. Kami disuguhi kertas yg berisi artikel semacam riset. Isinya tentang hukuman mati untuk koruptor lengkap dengan tinjauan pustaka singkat. Saya mengambil posisi sebagai aktivis dan beberapa teman mengambil posisi sbg masyarakat sipil dan akademisi. Ada dua ibu psikolog yg mengamati diskusi kami. Selama lima menit, kami diminta mengkonsep jawaban. Perlu diketahui, LGD berarti Leaderless Group Discussion. Diskusi ini tanpa pemimpin, berjalan apa adanya. Karena masih saling tunggu, saya pun berinisiatif mendata posisi teman teman. Dan mempersilahkan satu persatu. Semata mata agar diskusi lebih efektif. Kami berdiskusi dengan lancar hingga waktu habis, lalu saya pun berdiri menyalami para psikolog dengan teman teman yg lain. Salah satu ibu psikolog menjabat tangan saya dan berkata sukses bu!
Pulang ke hotel, saya masih menemukan email beliau yg menanyakan bagaimana LGD berjalan. Saya membalas beliau dengam bahagia bahwa sepertinya diskusi baik baik saja. Malam itu juga saya masih kasak kusuk mencari printer untuk email beliau yg terakhir, yg menyatakan menawari posisi sebagai asisten beliau untuk mengatasi kemungkinan kesulitan finansial. Saya ingat berjalan menuju hotel yg lain untuk menemukan printer. Dan saat si mas tukang jaga bertanya ini untuk apa, saya menjawab saya sdg seleksi beasiswa, dan minta ia mendoakan saya. Doa, itu energi saya.
Tengah malam, saya masih meng email beliau ttg DELNA, sebuah program bridging penyetaraan bhsa inggris dan apakah saya bisa tidak lulus lalu dipulangkan karena itu. Saat itu malam sabtu, dan saya meng email beliau jam tiga subuh, namun balasan tetap dtg lima menit kemudian. Weekend, dan pagi buta di Auckland, tapi si prof tetap membalas. Beliau meminta saya men cek LOA dan apakah masih ada syarat bhsa inggris disana. Saat saya nyatakan yg tertera tinggal tuition fee, beliau menjawab seperti biasa, DONT WORRY.
Hari kedua: THE INTERVIEW.
Saya datang lebih awal di interview hari ini. Mahasiswa saya berkeras menunggu saya di masjid bawah karena interview hanya berlangsung maksimal 25 menit. Jadi ia akan menunggu di bawah.
Ternyata benar, saya dipanggil lebih cepat karena ada peserta yg tdk dtg. Saya didudukkan di kursi tersendiri di kloter 6 sebelum dipanggil ke dalam. Bapak yg akan doktoral ke luar negeri itu ternyata dipanggil lebih dulu dari saya. Setelah beliau keluar, saya yg masuk.
Saya duduk di hadapan interviewer. Gugup, jelas. Ada dua bpk dan satu ibu psikolog dan ada tape recorder mini di hadapan saya. Saya diminta menyerahkan berkas dan beliau memeriksa dokumen saya. Saya diminta memperkenalkan diri. Dan, mulailah motivasi saya sekolah lagi padahal baru pulang tahun lalu itu dieksplore. Saya berusaha menjawab bahwa saya telah dapat LOA dan ini kesempatan langka. Saya tonjolkan juga biaya spp yg murah di Auckland, hubungan baik saya dg prof, kemungkinan ada program magang untuk mhswa saya, riset yg sangat menjual, semua telah saya kerahkan untuk membuat para interviewer terkesan dengan saya. Namun sama, beliau tetap punya cara tersendiri untuk menggojlok mental saya.
Dan...tibalah masalah klasik, KELUARGA. Saat itulah pertahanan saya seolah rontok. Saya benar benar tidak berdaya. Dan setelah dicecar berbagai pertanyaan, saya pun menjawab sambil menangis.
Saat itu interviewer bertanya tentang jalan hidup saya yg tidak biasa. Dan saya menyahut
"kita hidup dengan QADA dan QADAR, Pak. Qada adalah poin kejadian, Qadar adalah Takaran kejadian. Saat suatu qadar terpenuhi, maka qada pun akan berganti dengan qadar tersendiri lagi. Qada berkeluarga, berpisah, sendiri, itu ada qadarnya. Saat qadar berkeluarga habis, maka akan ada qada berpisah dengan qadarnya sendiri. Dunia tidak kekal, kita hanya sekedar melewati qada dan menghabiskan qadar dengan ikhtiar terbaik. Dan saat ini, ini ikhtiar terbaik saya".
Saya menangis bukan karena sedih, saya menangis karena itulah pemahaman awam saya tentang takdir. Bagaimana otak saya mencerna jalan hidup yg diberikan Allah untuk saya saat ini. Dan meskipun saya terlihat koboy, saya selalu menangis dan bergetar sast bicara tentang iman. Dan mereka pun terdiam dengan jawaban saya. Salah seorang interviewer memberi saya tissue dan si ibu psikolog menggenggam tangan saya. Saya pun dipersilahkan pergi.
Saat di hotel, saya melihat email prof yg menanyakan jalannya interview. Namun tidak sanggup saya balas. Saya sungguh tidak tahu apa hasil interview tadi karena saya cengeng sekali menangis. Bodoh, pikir saya. Tapi memang saya pribadi unik dan tidak mudah menentukan apakah saya akan mendapatkan beasiswa ini.
Setelah interview itu, hanya kesedihan yg menggantung di hati saya. Ada banyak hal yg tidak sempat terucap saat itu, dan saya bersedih memikirkannya. Dan perlu 10 hari untuk tahu hasilnya.
10 Juni, itulah hari bersejarah saya...
--to be continued--
No comments:
Post a Comment