Let’s Do This
As usual, in
whatever keadaan di hidup saya, I choose to write. Mungkin hanya sekedar
melepas ketegangan urat syaraf, atau sebagai penanda jika suatu saat di masa
depan saya menengok kembali masa lalu dan menemukan tulisan ini. And I really
love writing sehingga apapun yang saya tuangkan cukup powerful untuk dibaca
kembali suatu saat nanti, jika saya sudah dalam keadaan yang lebih baik. Ada banyak
bukti bahwa tulisan saya cukup kuat untuk dijadikan deposit kekuatan-sesuatu
yang pantas dibaca di saat lemah hingga bisa menumbuhkan semangat kembali. Well,
after all, saya hanya seorang wanita yang berjuang sendiri di tengah
ketidakadilan dan kekejaman seorang laki-laki beserta seluruh keluarganya.
Anyway, mungkin
banyak yang bingung kenapa saya se gugup ini padahal ada banyak urusan di luar
negeri yang telah saya tuntaskan dengan skill negosiasi dan pendekatan ala
saya. Kenapa Cuma urusan di dalam negeri begini saya gentar? Here are beberapa
faktor yang membuat mengapa urusan di dalam negeri itu selalu “licin” menurut
saya. Here are the sadness factors yang harus saya siapkan untuk hadapi
beberapa hari ke depan
- Birokrasi. Yup, ini adalah hal konyol yang harus saya hadapi. Kadang ada saja aturan yang sudah nyata tapi bisa dibelokkan kemana mana. Perlu diketahui yang saya hadapi adalah seorang laki-laki beserta seluruh keluarga besarnya yang tersebar di berbagai urat birokrasi. Mereka yang berani keroyokan tanpa tahu masalah dengan embel-embel “itu keluarga saya” lalu ikut menghakimi atau bahkan mempersulit. Itu urusan yang harus saya hadapi. Berhadapan dengan sistem yang kelabu dengan kalimat “itu keluarga saya” inilah yang membuat skill negosiasi saya yang biasanya tajam di luar negeri dimana keadilan jelas, kadang bisa tumpul di negara sendiri. Believe me, saya sudah mengalaminya sejak tahun 2012, kesulitan demi kesulitan diciptakan untuk menghadang saya, demi satu tujuan: mempersulit saya. Itu saja. Dan jika hanya ia seorang yang harus saya hadapi, mungkin kekuatan wanita saya masih cukup untuk itu, tapi yang saya hadapi adalah sekali lagi, keluarga besar yang berada di berbagai urat birokrasi. Now you know, peperangan seperti apa yang ada di hadapan sana dan mengapa saya sedikit gentar di pertempuran ini.
- Materialistik: saya harus sadar bahwa apa yang saya hadapi selain kelicinan birokrasi juga adalah materialisme, sistem dimana jika uang Anda banyak, maka Anda akan dihormati. That also frustrates me, karena saya telah banyak menemui di luar negeri bahwa apa yang saya urus bisa jalan meski tanpa uang. Tapi di hadapan sana, saya sudah tahu akan ada banyak pihak yang menadahkan tangan mereka pada saya yang hampir tak punya apa-apa ini demi memuluskan urusan yang sebenarnya job desc mereka. Mestinya tak perlu semahal itu, tapi dengan kesulitan yang saya hadapi mereka akan meningkatkan harga agar kesulitan itu bisa terlewati. Dan meski saya muak dengan sistem itu, sepertinya tak ada jalan lain kecuali playing along dengan amplop untuk sementara ini. Itu sebabnya saya bilang “be ready, mentally, financially”. Karena truly, yang saya hadapi bukan hanya kelicinan birokrasi tapi juga manusia-manusia yang ingin uang. Dan the power of amplop akan kembali masuk arena. Saya sudah bekerja keras untuk itu. Saya bekerja keras untuk membeli harga diri saya. Saya tidak meminta dengan orang lain, bahkan tidak pada ia yang ingin membangun hidup dengan saya. This is my battle, saya akan beli harga diri itu dengan keringat saya. Tapi tentu saja saya bukan wanita kaya dan kemampuan amplop saya tak setebal orang lain dan jika bisa dituntaskan dengan biaya seminimal mungkin, maka itu yang akan saya pilih. But saya sadar bahwa permainan di arena itu bisa saja sangat rumit hingga menimbulkan excess biaya. Saya sudah siapkan hal ini, semoga dollar demi dollar yang saya kumpulkan dari bekerja di Auckland sini, cukup untuk menebus harga diri itu, dan melolosi kelicinan birokrasi. Amin.
- Penghakiman: contoh, saya ke sekolah untuk bertemu anak saya di sela istirahat. Akan ada ibu-ibu yang merasa mereka jauh lebih baik dari saya karena hidupnya lebih baik dan acceptable di mata masyarakat, mereka itu akan apply kekejaman pada saya. Believe me, hal ini sudah terjadi sejak 2014. Saat mereka memandang saya dengan mata sinis, kadang ada yang sengaja meludah di hadapan saya, atau berkata menyindir “kalau aku ya anak laki tu pang yang utama, lain karir pang. Karir tu seberapa handak dikejar kada cukup”, sambil cekikikan khas para wanita yang bergosip. Mereka itu akan menimbulkan cekikan di kerongkongan saya meski se tuli apapun saya pada ke nyinyiran mereka. I think untuk ini meski tidak signifikan, saya akan hadapi dengan diam khas ala saya. I will put my sunglassess, melihat mereka sebagai “ammm, who are you?” sambil berlalu pergi. Toh mereka tak tahu apa yang saya hadapi di pernikahan itu. Mereka tak tahu perjuangan saya. Mereka hanya ibu-ibu yang melihat dunia dari satu sisi lalu menghakimi siapapun yang bebeda dengan mereka. Yeah, mereka tak signifikan, tapi tetap saat telinga saya mendengar atau mata saya melihat, itu tetap menyakiti saya. No one can deny that.
- Najwa: yak, ia juga sumber kesedihan saya. Sedih karena saat saya melihatnya, ia tak lagi tumbuh seperti yang saya harapkan. Kadang ia kelaparan, tak punya uang, diremehkan kawan-kawannya, karena dianggap ia seorang anak kecil miskin, jelek, dan keluarganya hancur. Dan seandainya pihak seberang itu mau mendengarkan, maka ia tak perlu jadi korban yang sangat menderita. Bayangkan saja, setiap barang yang diberi oleh ibu saya atau saya akan langsung dibuang oleh pihak sana, meskipun Najwa menyenangi barang tersebut. So, yang ia lakukan adalah biasanya ia meminta saya membawakan makanan saja, agar aman di dalam perutnya. Can you imagine that? Saya bisa saja membawakan apapun dari New Zealand, tapi karena ia tak berani membawa pulang, maka hanya makanan yang bisa saya bawakan. You should know bahwa kami pernah menyembunyikan uang di sol sepatunya agar pihak sana tak menemukan uang pemberian saya tersebut. Atau ia pernah sangat gugup saat laki-laki itu datang dan saya sedang memberinya makan, lalu saya bersembunyi di masjid sekolah hanya agar apa? Agar tak terjadi keributan, karena laki-laki itu adalah orang yang tak sungkan berteriak, memaki, meski itu di depan umum, karena merasa “hak”nya saya ganggu. Ya, ia merasa Najwa adalah “hak” nya dan saya tak berhak lagi melihat anak saya. Dan jika Anda bertanya kenapa saya mengalah, kenapa saya pergi, itu karena saya tak ingin lagi ribut. Sudah cukup. Saya tak ingin lagi melihat anak saya gemetaran, atau ketakutan. Jadi saya yang pergi dan ia dengan lantang mengabarkan pada masyarakat bahwa saya ibu yang meninggalkan anaknya. I accept that, biarkan saja ia hendak menyebut saya apa, yang jelas saya menerima seluruh kekacauan hidup ini sebagai takdir Allah yang Maha Baik. Allah Maha Tahu bagaimana ibu saya membawakan makanan ke sekolah dan kadang diteriaki olehnya jika ia menemukan beliau. No one knows that, right? Yang masyarakat tahu, saya pergi sekolah, meninggalkan anak saya. That’s it. Kenapa Najwa menjadi sumber kesedihan saya? Ini adalah pertemuan pertama kami setelah 2 tahun say a tak melihatnya secara fisik. Saat ibu saya masih hidup, beliau yang membawakan kamera dan kami saling menyapa lewat facebook. Tapi sejak beliau meninggal, saya tak tahu lagi kabar anak saya tersebut. Selain itu, ini adalah tahun terakhir Najwa berada di sekolah yang bisa saya akses. Setelah ini, ia akan dipindahkan ke sekolah dimana pihak sana memiliki kontrol penuh sehingga saya tak lagi bisa melihatnya. Sehingga saat saya berpamitan kembali ke New Zealand, itu adalah saat paling menyakitkan karena saya dan Najwa tahu bahwa kami tak akan bisa bertemu lagi (secara hitungan manusia). Tapi saya masih terus berdoa, suatu saat, takdir perpisahan dengan anak ini akan berakhir dan kami akan dikumpulkan kembali. Sesungguhnya saya sudah ikhlas akan takdir ini, tapi tetap saja, saat dimana seorang ibu harus meninggalkan anaknya dan tahu ia tak akan bisa melihatnya lagi, itu sangat-sangat menyakitan.
Anyway, ini
sesungguhnya hanya another battle. Satu pertempuran lagi yang harus saya perjuangkan
dengan sedikit materi dan kekuatan yang saya punya. Sama seperti pertempuran
saat saya tak punya uang di Auckland, atau saat saya me lobby imigrasi New
Zealand untuk perubahan visa, atau saat saya berjuang di India, atau saat gaji
saya dipotong di Indonesia. Ini hanya another battle, dan yang harus saya
lakukan adalah BERUSAHA. Saya tak tahu hasilnya, akankah saya menang menebus
harga diri saya di tengah kelicinan birokrasi dan sistem amplop dan keroyokan
keluarga besarnya? Akankah saya mampu melewati gemuruh badai kesedihan yang
sebentar lagi akan saya alami itu? Saya tak tahu hasilnya. Dan jujur saya
merasa seperti seorang wanita sendiri menghadapi barisan keroyokan di hadapan
sana. Yah, mungkin kegalauan ini sedikit menggentarkan iman dan tawakkal saya.
Yang harus saya dekati saat ini adalah Ia, yang Maha Kuasa, yang Maha
Bersiasat, yang Maha Menggenggam segala urusan. Dan saya tak perlu gentar tak
punya backing an, saya hanya perlu minta back up dengan Allah SWT dengan segala
kebaikan rencana-Nya. Itu cukup.
This is just
another battle, Nurul. And all you have to do is TRY. Trust Allah, and
everything will be fine. Let’s do this. It is time. Time to go home, time to
face reality, time to try, and maybe you will get one thing. WIN.
Auckland, 22
Oktober 2017
-NK-
No comments:
Post a Comment