This is just a writing because you are just too bored
waiting for a flight. I just would like to write about home. Rumah. To be
honest, sejak lima tahun lalu, saya tak tahu lagi definisi rumah itu dimana. Dulu
saya di India, saat pulang ke Samarinda, I cried too, karena sudah kadung akrab
dengan suasana di India, dua tahun saya tinggal disana. Padahal masih ingat
awal saya data
Daaan episode selanjutnya berlangsung. I was there di kamar
kos itu hingga September 2015. Cukup 14 bulan, Allah Takdirkan lagi saya pindah
rumah. Tiba-tiba saya Dibawa lagi ke kota bernama Auckland, yang jauuuuhhh
banget rasanya menurut saya. Just take a look, Auckland itu di North Island,
negara New Zealand, yang bentuk negaranya kalau dilihat di peta cuma seuprit
mirip pulau Jawa. Itu adalah negara terakhir yang berpenghuni sebelum Kutub
Selatan, Antartika. Bayangkan, Allah Menjalankan saya dari negara nehi nehi ke
negara Barat.
Awal saya datang, saya disambut udara dingin di bandara dan
bertemu supir kiwi yang tinggi besar bertuliskan University of Auckland. Beliau
membawa kertas bertuliskan nama saya saat itu hingga saya mengenali beliau
sebagai yang ditugaskan universitas untuk menjemput saya. Waktu masih di dalam
bangunan bandara, masih aman, lha pas keluar, alamak, itu dingin serasa nusuk
ke tulang. Saya masuk lagi ke bangunan bandara sambil menangis lalu bilang “NOOOOO,
I WANT TO GO HOME”. Lalu si supir itu tertawa terkekeh melihat saya. Mungkin
karena sudah biasa melihat orang yang baru datang ke New Zealand, lalu
kedinginan seperti biasa. Lalu dingin itu bikin perut saya dangdutan lalu saya
pamit lagi ke beliau minta ke WC. Do you know what, tas saya sengaja dimasukkan
beliau ke dalam mobil agar saya tidak “lari” hehehe. Lalu dengan sabarnya
beliau membujuk saya agar mamu keluar dari bandara dan masuk ke mobil
bertuliskan University of Auckland itu. Dan masuklah saya dengan sesenggukan
menangis. Beliau tertawa sambil berkata “don’t worry, you will find a good man
here and make New Zealand as your home”. BERCANDA. Itu ucapan saya saat itu
sambil bilang “I want a muslim man, and what is the chance of meeting a muslim
man here, in this western country?”. Beliau Cuma mengangkat bahu sambil tetap
bilang “well, you’ll never know”. Sambil menitipkan saya ke Greg, lelaki tua
penjaga hostel Rocklands.
Dan well, saya kira Auckland tak akan pernah menjadi rumah
saya. But after two years, segala yang awalnya asing, segala yang awalnya tidak
ramah, segala yang tadinya tak terasa rumah terasa sebagai rumah. Dan ow well,
saya berurai air mata meninggalkan Auckland hari ini. That crucial moment saat
saya berbalik meninggalkan ia yang saya cintai di belakang saya. Perih itu
terasa lagi. The beauty saat hati kita terbelah karena rumah kita ada di dua
tempat. I never thought New Zealand akan terasa seperti rumah untuk saya. Apalagi
di awal-awal, saat saya di bully di sains itu wah sudah gak pingin pokoknya
hehe. Tapi sekarang dengan saya bekerja di Auckland, diterima dengan sangat
baik disana, hehe, Auckland pun mulai terasa rumah.
Anyway, cukup sebentar saja saya menangis, saya harus segara
berbenah memikirkan barang bawaan saya. Memikirkan gate imigrasi yang harus
saya lewati dan saya menyudahi tangisan saya hanya beberapa bulir saja. Hidup
harus terus berjalan. Data untuk riset saya harus diambil di Indonesia dan PhD
ini harus diselesaikan. Urusan yang sudah lama tertunda harus diselesaikan dan
langkah harus diteruskan ke masa depan. I don’t come to Indonesia without a
purpose. I have a huge purpose there.
Dan itulah sekelumit perjalanan mendefinisikan rumah. And for
me, rumah saya bukan yang berbentuk bangunan. Rumah saya adalah dimana hati
saya bahagia, dimana saya diterima dengan baik, dimana saya dianggap berarti
dan tidak dianggap lebih rendah. Tempat dimana kinerja saya dihargai, tempat dimana saya tidak dibedakan hanya karena latar belakang hidup. Mungkin saja saya akan menajdikan New Zealand sebagai rumah saya, karena saat ini saya sudah berencana membangun masa depan dengan lelaki asli Auckland (well, si supir benar, I do find a good muslim in Auckland hehe). Atau mungkin saja rumah saya tidak ter definisi
karena saya akan selalu berpindah, menemukan orang baru, tempat baru lalu
mewarnai hari mereka dengan keunikan saya. Saya masih ingin post doktoral lagi hehe. Dan itu belum pasti dimana. So, rumah saya mungkin saja tak akan terdefinisi, tapi hanya dimana saya merasa nyaman. Yeah, mungkin saja. I will never know.
Sydney, 29 Oktober 2017,
No comments:
Post a Comment