Hello everyone. Good morning.
Hari ini hari minggu, meski saya masih juga belum sehat sepenuhnya, saya mencoba menulis. Kali ini tulisannya tentang WHAT'S MEANT TO BE. Alias takdir.
Seperti yang Anda tahu, saat ini saya sedang di Auckland, NZ untuk mengikuti program doktoral di bidang kimia organik sintesis. Luar biasa perjuangan dan perjalanan yg telah saya lewati untuk tiba disini. Dengan kesulitan keuangan tahun lalu itu, saya berjuang bekerja di dua tempat sambil merangkai rencana demi rencana untuk berangkat sekolah. Saya bekerja tanpa kenal lelah mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya hidup saya, sedikit untuk orang tua saya, Najwa dan beberapa tiket pesawat dan akomodasi untuk mengikuti berbagai seleksi beasiswa dan visa. Dan yah, saya lulus 2 beasiswa sekaligus, LPDP dan NZAS. Namun saya berangkat dengan beasiswa LPDP kesini.
Saat itu, sepertinya takdir sudah jelas. Saya akan menghabiskan 4 tahun hidup saya di NZ untuk mengikuti program doktoral. Namun, benar-benar tidak disangka begitu terjalnya jalan yg harus saya lewati disini. Awal saya datang, semua masih ramah, semua masih mengajari, meski dengan kecepatan mereka dan kadang saya pun masih tidak menangkap apa yg mereka ajarkan. Dengan tekanan pekerjaan dari Jon, supervisor saya, seorang yg sangat perfeksionis dan ingin kami bekerca cepat tapi juga tepat. Dan hari demi hari saya semakin merasakan siksaan di lab itu. Awalnya hanya dari Jon, karena ia ingin saya bekerja lebih cepat, lalu dari teman teman satu lab. Itu benar-benar menekan dan menyakiti saya. Sejak januari saya pulang dengan menangis sendirian di kamar. Entah karena dimarahi Jon, reaksi yg kacau, NMR reading yg buruk, atau dibentak dan ditertawakan teman satu lab, atau bahkan kombiansi semuanya. Saya merindukan hidup saya yg dulu. Bekerja di EF, bertemu mahasiswa dan siswa, diterima dan tdk dianggap lamban, bodoh atau menjengkelkan.
Dan ternyata takdir lain menunggu saya. Takdir yang sebenarnya seringkali saya hindari. Entah mengapa, sejak saya memilih sendiri, saya selalu didekati laki laki. Namun umumnya mereka akan lari tunggang langgang saat tahu masa lalu saya yang kelam. Jarang sekali ada diantara mereka yg memilih bertahan dengan saya. Entah karena pribadi saya yg rumit, atau karena masa lalu saya yg memang sulit untuk diterima. Beberapa ada yg melamar, bahkan saat saya di India, namun kesungguhan mereka biasanya saya ragukan. Umumnya mereka tidak mampu bertahan dengan saya dan akhirnya berlalu begitu saja.
It takes a strong man to handle a broken woman. Itu benar sekali. Perlu seorang pejantan tangguh untuk bisa terus mengejar saya dan meyakinkan saya bahwa ia serius dengan saya. Dan itu yg tidk saya sangka terjadi di NZ. Terus terang saya tidak pernah berniat menarik perhatian laki laki. Ya, saya berdandan, pakai baju yg sopan dan rapi, tapi tidak ada niat sedikitpun untuk menarik perhatian. Saya cenderung cuek, tidak akan menegur jika tidak ditegur, tapi jika mereka menegur saya akan membalas dengan sopan. Dan datanglah ia, si bule yg bernama Russell yg sedari awal sdh begitu menunjukkan ketertarikannya pada saya. Namun saya tidak percaya dan masih terus menghindar. Satu, saya malas melibatkan orang lain dalam hidup saya yg rumit, dua, karena saya paham betapa beratnya keluarga Banjar saya menerima bule western seperti dia untuk masuk dalam keluarga kami. Apa coba kata tetangga, apa kata sepupu, ah, sudahlah, saya bingung kalau sudah memikirkan ini.
But you know, what's meant to be. Takdir itu tidak akan bisa dihindari. Dan here I am, tinggal seminggu lagi menuju ke pertunangan saya dg si bule. Hari ini cincin saya rencananya akan diambil dan disiapkan. Ia juga sedang mempersiapkan lamaran romantis antara kami berdua sebelum bertemu keluarganya minggu depan. Bukankah ini sesuatu yg sangat tdk saya sangka tapi akhirnya terjadi juga. Saya sudah mengabarkan ini pada keluarga saya, namun saya masih bingung dengan penerimaan Abah saya. Saya paham apa yg beliau pikirkan. Siapa yg akan pindah. Bagimana kami mengkompromikan perbedaan dua negara ini. Jika saya yg pindah bagiaman dengan tanggung jawab saya di Indonesia. Jika ia yg pindah, akan sampai berapa lama di Samarinda. Saat ini rencana kami berdasarkan negosiasi alot adalah, ia akan mengikuti saya hingga lima tahun, lalu kembali ke Auckland dan menetap disini hingga tua. Saya juga sudah sepakat untuk berpindah kewarganegaraan menjadi a kiwi. Tapi mungkin itu akan terjadi saat saya sudah tinggal dan menetap di Auckland. Tapi lihatlah, bagaimana semua cerita yg tdk disangka bisa terjadi. Awal datang hendak S tiga eh malah dilamar jadi istri. Awal datang hendak bertahan 4 tahun, eh mungkin harus pulang lebih cepat dan kemudian kembali lagi dan menetap lebih lama. Heh, benar-benar tidak disangka.
Tapi itulah takdir. Kita semua hanya bisa berusaha terbaik yg kita bisa. Mengenai hasil dari usaha kita itu Allah yg menentukan melalui takdirNya. Proses pertunangan dan pernikahan ini pun masih tanda tanya apakah kami bisa bersatu dan akhirnya bersama. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yg akan terjadi di depan sana. Mungkin kenjutan lain telah menunggu saya, atau bahkan hal lain yg akan terjadi. Allah lah penentuNya.
So, jika sesuatu bukan takdir kita, bagaimana pun dikejar, sekuat apapun kita berusaha, itu tidak akan jadi takdir kita. Namun jika itu memang sdh menjadi takdir kita, sekuat apapun kita menghindar, menjauh maka akhirnya akan terjadi juga.
Saya telah belajar banyak tentang hal ini. Kegagalan sekolah saya saat di farmasi, lalu perceraian saya, lalu kehilangan Najwa, lalu berangkat ke Auckland, kena depresi dan akhirnya berencana menikah lagi, hanyalah gambaran betapa up and down hidup yg saya jalani. Namun sekali lagi, what's meant to be. Apa yg telah ditakdirkan untuk kita, pasti terjadi. Dan apa yg tidak, pasti tidak akan terjadi.
Selamat hari minggu. Stay happy and healthy.
Auckland, 10 April 2016
-NK-
Hari ini hari minggu, meski saya masih juga belum sehat sepenuhnya, saya mencoba menulis. Kali ini tulisannya tentang WHAT'S MEANT TO BE. Alias takdir.
Seperti yang Anda tahu, saat ini saya sedang di Auckland, NZ untuk mengikuti program doktoral di bidang kimia organik sintesis. Luar biasa perjuangan dan perjalanan yg telah saya lewati untuk tiba disini. Dengan kesulitan keuangan tahun lalu itu, saya berjuang bekerja di dua tempat sambil merangkai rencana demi rencana untuk berangkat sekolah. Saya bekerja tanpa kenal lelah mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya hidup saya, sedikit untuk orang tua saya, Najwa dan beberapa tiket pesawat dan akomodasi untuk mengikuti berbagai seleksi beasiswa dan visa. Dan yah, saya lulus 2 beasiswa sekaligus, LPDP dan NZAS. Namun saya berangkat dengan beasiswa LPDP kesini.
Saat itu, sepertinya takdir sudah jelas. Saya akan menghabiskan 4 tahun hidup saya di NZ untuk mengikuti program doktoral. Namun, benar-benar tidak disangka begitu terjalnya jalan yg harus saya lewati disini. Awal saya datang, semua masih ramah, semua masih mengajari, meski dengan kecepatan mereka dan kadang saya pun masih tidak menangkap apa yg mereka ajarkan. Dengan tekanan pekerjaan dari Jon, supervisor saya, seorang yg sangat perfeksionis dan ingin kami bekerca cepat tapi juga tepat. Dan hari demi hari saya semakin merasakan siksaan di lab itu. Awalnya hanya dari Jon, karena ia ingin saya bekerja lebih cepat, lalu dari teman teman satu lab. Itu benar-benar menekan dan menyakiti saya. Sejak januari saya pulang dengan menangis sendirian di kamar. Entah karena dimarahi Jon, reaksi yg kacau, NMR reading yg buruk, atau dibentak dan ditertawakan teman satu lab, atau bahkan kombiansi semuanya. Saya merindukan hidup saya yg dulu. Bekerja di EF, bertemu mahasiswa dan siswa, diterima dan tdk dianggap lamban, bodoh atau menjengkelkan.
Dan ternyata takdir lain menunggu saya. Takdir yang sebenarnya seringkali saya hindari. Entah mengapa, sejak saya memilih sendiri, saya selalu didekati laki laki. Namun umumnya mereka akan lari tunggang langgang saat tahu masa lalu saya yang kelam. Jarang sekali ada diantara mereka yg memilih bertahan dengan saya. Entah karena pribadi saya yg rumit, atau karena masa lalu saya yg memang sulit untuk diterima. Beberapa ada yg melamar, bahkan saat saya di India, namun kesungguhan mereka biasanya saya ragukan. Umumnya mereka tidak mampu bertahan dengan saya dan akhirnya berlalu begitu saja.
It takes a strong man to handle a broken woman. Itu benar sekali. Perlu seorang pejantan tangguh untuk bisa terus mengejar saya dan meyakinkan saya bahwa ia serius dengan saya. Dan itu yg tidk saya sangka terjadi di NZ. Terus terang saya tidak pernah berniat menarik perhatian laki laki. Ya, saya berdandan, pakai baju yg sopan dan rapi, tapi tidak ada niat sedikitpun untuk menarik perhatian. Saya cenderung cuek, tidak akan menegur jika tidak ditegur, tapi jika mereka menegur saya akan membalas dengan sopan. Dan datanglah ia, si bule yg bernama Russell yg sedari awal sdh begitu menunjukkan ketertarikannya pada saya. Namun saya tidak percaya dan masih terus menghindar. Satu, saya malas melibatkan orang lain dalam hidup saya yg rumit, dua, karena saya paham betapa beratnya keluarga Banjar saya menerima bule western seperti dia untuk masuk dalam keluarga kami. Apa coba kata tetangga, apa kata sepupu, ah, sudahlah, saya bingung kalau sudah memikirkan ini.
But you know, what's meant to be. Takdir itu tidak akan bisa dihindari. Dan here I am, tinggal seminggu lagi menuju ke pertunangan saya dg si bule. Hari ini cincin saya rencananya akan diambil dan disiapkan. Ia juga sedang mempersiapkan lamaran romantis antara kami berdua sebelum bertemu keluarganya minggu depan. Bukankah ini sesuatu yg sangat tdk saya sangka tapi akhirnya terjadi juga. Saya sudah mengabarkan ini pada keluarga saya, namun saya masih bingung dengan penerimaan Abah saya. Saya paham apa yg beliau pikirkan. Siapa yg akan pindah. Bagimana kami mengkompromikan perbedaan dua negara ini. Jika saya yg pindah bagiaman dengan tanggung jawab saya di Indonesia. Jika ia yg pindah, akan sampai berapa lama di Samarinda. Saat ini rencana kami berdasarkan negosiasi alot adalah, ia akan mengikuti saya hingga lima tahun, lalu kembali ke Auckland dan menetap disini hingga tua. Saya juga sudah sepakat untuk berpindah kewarganegaraan menjadi a kiwi. Tapi mungkin itu akan terjadi saat saya sudah tinggal dan menetap di Auckland. Tapi lihatlah, bagaimana semua cerita yg tdk disangka bisa terjadi. Awal datang hendak S tiga eh malah dilamar jadi istri. Awal datang hendak bertahan 4 tahun, eh mungkin harus pulang lebih cepat dan kemudian kembali lagi dan menetap lebih lama. Heh, benar-benar tidak disangka.
Tapi itulah takdir. Kita semua hanya bisa berusaha terbaik yg kita bisa. Mengenai hasil dari usaha kita itu Allah yg menentukan melalui takdirNya. Proses pertunangan dan pernikahan ini pun masih tanda tanya apakah kami bisa bersatu dan akhirnya bersama. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yg akan terjadi di depan sana. Mungkin kenjutan lain telah menunggu saya, atau bahkan hal lain yg akan terjadi. Allah lah penentuNya.
So, jika sesuatu bukan takdir kita, bagaimana pun dikejar, sekuat apapun kita berusaha, itu tidak akan jadi takdir kita. Namun jika itu memang sdh menjadi takdir kita, sekuat apapun kita menghindar, menjauh maka akhirnya akan terjadi juga.
Saya telah belajar banyak tentang hal ini. Kegagalan sekolah saya saat di farmasi, lalu perceraian saya, lalu kehilangan Najwa, lalu berangkat ke Auckland, kena depresi dan akhirnya berencana menikah lagi, hanyalah gambaran betapa up and down hidup yg saya jalani. Namun sekali lagi, what's meant to be. Apa yg telah ditakdirkan untuk kita, pasti terjadi. Dan apa yg tidak, pasti tidak akan terjadi.
Selamat hari minggu. Stay happy and healthy.
Auckland, 10 April 2016
-NK-
Selamat atas pertunangannya mbak. Saya juga saat ini sedang menjalin hubungan dengan Kiwi yang tinggal di Auckland. Minggu depan saya ke Auckland untuk liburan :)
ReplyDeleteHalo juga mbak Ulfa, mohon maaf ya baru balas komen nya. Sudah di Auckland mungkin ya, semoga lancar juga urusannya dengan si kiwi yaa dan happily ever after tentunya. Amiin ya rabb!
ReplyDelete