Sebenarnya pagi ini saya harus menyelesaikan power point untuk presentasi seminar proposal dua minggu lagi. Tapi entah kenapa membaca postingan tahun lalu tentang Najwa http://the-solitaire-queen.blogspot.co.nz/2016/05/dear-najwa.html?spref=fb ini saya jadi ingin menulis lagi untuknya.
Dear Najwa.
Pagi ini tanggal 18 di Auckland. Ku harap kau disana merayakan ulang tahun dengan bahagia. Kemarin adalah hari yang berat buatku. Saat pagi aku bangun dan ingat bahwa itu adalah hari ulang tahunmu, seluruh sel tubuhku yang biasanya penuh semangat jadi layu. Aku menulis di instagram untukmu, hanya sekedar melepaskan perih luka ku. Tapi tetap mengharu biru meski bagaimana pun aku berusaha mengangkat mood ku. Aku merasa kau dan aku semakin kabur dan tak terlihat lagi. Jika biasanya aku tahu apa kesukaanmu, kini semua itu sudah hampir kabur. Aku bahkan tak punya lagi foto kita berdua.
Dear Najwa.
Aku ingat saat kita masih bersama. Aku adalah teman terbaikmu karena aku tak jaim bermain bersamamu. Yeah aku memang orang dewasa tapi aku tak segan bermain sebahagia anak-anak. Kita sering menonton sponge bob bersama, sering makan es krim, jalan jalan berdua naik motor, dan ah, aku merindukan wangi rambutmu dari shampo yang kau suka. Masihkah kau pakai shampo donald bebek itu anakku? Entahlah, semuanya kabur tak bermakna.
Dear Najwa.
Meski kemarin aku bersedih, aku tak ingin itu terlihat dunia. Apalagi di saat yang sama aku menghadapi ujian proposal. Bayangkan betapa sintingnya otakku ini dipaksa belajar padahal yang ku ingat hanya kenangan-kenangan bersamamu yang membuat mataku kabur akan air mata. Aku ingat saat kita nonton upin ipin lalu kau berkata "mama, kita kan geng" dan kompak bersamaku. Aku tahu aku bukan ibu yang jelek, aku mendidikmu begitu rupa. Yeah mungkin sedikit keras, tapi aku tahu itu untuk kebaikanmu semata.
Dear Najwa.
Ku pikir warnaku sudah tak ada lagi di dirimu. Semua yg ku desain saat kau masih kecil telah terkaburkan oleh warna warni orang lain yang kini bersamamu. Aku masih ingat saat kau ku didik mampu belanja sendiri. Aku memberimu uang lalu kau masuk ke supermarket, memilih barang yang kau suka, lalu membawanya ke kasir. Dan aku hanya melihatmu dari kejauhan. Dan saat itu umurmu hanya TIGA TAHUN. Kau sudah ku didik begitu mandiri. Ibu-ibu lain pasti takut melepas anaknya sendiri ke dalam lorong lorong supermarket untuk belanja sendiri. Atau mereka takut uang nya jautuh dan hilang atau takut kembaliannya salah. Tapi aku tak takut untukmu anakku. Aku tahu JIKA AKU PERCAYA KAU BISA, MAKA KAU BISA. Dan itu yang ku tanamkan padamu meski kau merengek padaku dan berkata "Awa malu ma". Nope, dengan kejamnya aku menepuk punggungmu lalu berkata "Awa bisa". Dan yah, KAU BISA. Betapa bahagianya dirimu saat itu berlari ke arahku yang menunggu di depan pintu supermarket, memberikan uang kembalian dan berkata "AWA BISA MA!". Yeah, kau bisa anakku, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Dan aku tak pernah dan tak akan mendidikmu menjadi cengeng. Kau akan selalu ku didik (seolah-olah dengan kejamnya) bahwa kau bisa.
Dear Najwa.
Kemandirian itu pula yang membuatmu tumbuh jadi pribadi yang kuat dan tidak panik. Apakah kau ingat saat kau tersesat di mall Balikpapan? Kau tidak panik anakku padahal umurmu baru EMPAT tahun saat itu. Kau terpisah dariku dan yang kau lakukan adalah MENEMUI SATPAM DAN MENYEBUTKAN NAMAKU. Hebat anakku! Itu sungguh hebat. Bayangkan kau dengan otak 4 tahunmu, kau bisa berpikir strategic bahwa yang kau lakukan adalah menemui laki-laki berseragam itu lalu menyebutkan nama IBUMU. Aku sendiri baru sadar kau telah terpisah dariku saat mendengar namaku di sebut di mikrofon mall bahwa Najwa sedang menungguku di bagian informasi. Kadang aku berharap skill ini juga yang akan membawamu padaku suatu saat nanti. Kau selalu ingat nama belakangku KASYFITA dan aku adalah SATU-SATUNYA KASYFITA di dunia. Hingga jika pun kau membuka google dan mengetik nama belakang itu, HANYA AKU, IBUMU YANG AKAN DIBAWA GOOGLE KEPADAMU. Ku harap suatu saat kau akan menunggu lagi di suatu tempat begitu kau menemukan nama belakangku di dunia ini. Dan aku masih hidup untuk hari itu. Semoga.
Dear Najwa.
Saat ini aku sudah memutuskan untuk hijrah ke masa depan. Mungkin kau tak akan melihatku lagi di Samarinda setelah masa baktiku selesai. Aku akan hijrah ke New Zealand, negara tenang dimana seorang laki-laki kiwi baik menungguku disini. Aku tahu kau mungkin tak akan mengerti kenapa aku memutuskan ini. Mungkin kau akan mencapku ibu bejat, ibu tak punya kasih dan banyak hal lain lagi yang selalu ditanamkan lingkungan padamu. Aku hanya melihat bahwa negosiasi untuk berbagi dirimu itu sudah tak ada lagi. Dan ku pikir sudah saatnya aku menata hidupku kembali ketimbang selalu terombang-ambing dalam dilema dan pertikaian tanpa henti. Kau pun tahu betapa berat halangan yang harus aku dan keluargaku dapatkan hanya untuk melihatmu saja. Mereka telah merasa begitu berhak akan dirimu dan aku sekeluarga tak lagi pantas untukmu. Tapi sudahlah anakku, aku sudah tak ingin berdebat lagi. Rasanya sudah cukup banyak usaha yang dilakukan tapi semuanya tak ada jalan negosiasi. Itulah yang mendasari keputusanku bahawa aku sebaiknya minggir saja. Aku akan hijrah, anakku. Aku memutuskan New Zealand adalah rumahku. Tapi percayalah, suatu saat jika kau cukup dewasa untuk memilih, kapanpun kau ingin untuk mengunjungiku, kami disini akan sangat bahagia menemuimu. Ia laki-laki yang baik, mampu menghargai ibumu yang sudah tak jelas ini dan mengangkatnya menjadi wanita terhormat lagi. Ia juga begitu romantis, hingga mataku sering basah betapa besar kasih sayang yang ia curahkan padaku, anakku, dan aku bahagia. Aku harap kau pun akan menemukan laki-laki yang begitu menghargaimu seperti ia menghargaiku saat ini.
Dear Najwa.
Kemarin sejak pagi aku menahan tangisku. Aku tak suka menangis. Menangis membuat otakku buntu sementara aku harus berpikir apa yang harus ku lakukan saat itu. Aku harus menghadapi supervisor ujianku anakku, lalu harus berpacu dengan waktu untuk me revisi sisa proposalku. Dan semua itu perlu OTAK YANG TENANG jauh dari gelayut kesedihan. Tapi meski aku hanya mengizinkan diriku bersedih di tanggal 17 Mei untukmu, aku memaksa diriku untuk tetap ceria, tetap semangat menghadapi ujianku.
Dan saat di bis, air mataku masih menggantung. Namun tidak begitu masuk ruang ujian. Yang dilihat supervisor hanya Nurul yang tenang, Nurul yang ceria, Nurul yang happy, tanpa pernah terlihat luka di matanya. Lalu aku masih harus berjuang me revisi proposalku anakku. Selama 2 jam aku diberi waktu untuk itu. Dan alhamdulillah aku berhasil mengatasi itu.
Ku pikir luka kehilanganmu itu telah membuatku berlari hanya agar luka itu tak terasa lagi, tapi akhirnya aku berlari begitu cepat hingga mampu mencapai apa yang tak ku kira sebelumnya. Aku tak suka meratap pada dunia karena menurutku ketimbang meratap akan kesulitan lebih baik kita berpikir bagaimana mengatasinya. Dan itu yang ku lakukan kemarin. Aku cukup kuat untuk ujianku, untuk deadline itu dan begitu proposal itu SUBMIT dan LOLOS, keluarlah air mataku. Dan aku menangis. Meraung di sofa apartemenku. Seluruh sel di tubuhku memanggil dirimu Najwa, tapi aku tahu aku tak lagi bisa bersamamu. Saat itu aku melepaskan seluruh kesedihanku. Aku mengizinkan diriku menangis. Dan aku menangis, hingga aku tertidur di sofa itu.
Dear Najwa.
Pagi ini aku sudah tak sedih lagi. Hanya sehari dalam setahun aku boleh bersedih, dan itu hanya untukmu. Air mataku terlalu mahal untuk dihabiskan oleh kekejaman orang lain padaku. Aku tak pernah menangis untuk mereka, orang-orang kejam itu. Mereka tak pantas mendapatkan air mataku. Pagi ini aku juga sudah semangat lagi. Aku sudah berencana menghabiskan hariku dengan belajar lalu membuat slide untuk presentasiku. Ku harap kau juga bahagia disana dengan mereka yang menemanimu. Ini saatnya aku move on, anakku. Saatnya hijrah. Tapi percayalah, meski aku tak lagi berada satu kota dengan mu suatu saat nanti aku tetap menyayangimu. Dan kau, selalu dalam doaku. Selalu.
Selamat ulang tahun Najwa. Tetaplah jadi anak yang ceria, pemberani, banyak akal, bijaksana, tak mudah mengeluh dan pantang menyerah. Dan semoga suatu saat kita bisa bersama. Amin.
Auckland, 18 Mei 2017,
-ME-
Dear Najwa.
Pagi ini tanggal 18 di Auckland. Ku harap kau disana merayakan ulang tahun dengan bahagia. Kemarin adalah hari yang berat buatku. Saat pagi aku bangun dan ingat bahwa itu adalah hari ulang tahunmu, seluruh sel tubuhku yang biasanya penuh semangat jadi layu. Aku menulis di instagram untukmu, hanya sekedar melepaskan perih luka ku. Tapi tetap mengharu biru meski bagaimana pun aku berusaha mengangkat mood ku. Aku merasa kau dan aku semakin kabur dan tak terlihat lagi. Jika biasanya aku tahu apa kesukaanmu, kini semua itu sudah hampir kabur. Aku bahkan tak punya lagi foto kita berdua.
Dear Najwa.
Aku ingat saat kita masih bersama. Aku adalah teman terbaikmu karena aku tak jaim bermain bersamamu. Yeah aku memang orang dewasa tapi aku tak segan bermain sebahagia anak-anak. Kita sering menonton sponge bob bersama, sering makan es krim, jalan jalan berdua naik motor, dan ah, aku merindukan wangi rambutmu dari shampo yang kau suka. Masihkah kau pakai shampo donald bebek itu anakku? Entahlah, semuanya kabur tak bermakna.
Dear Najwa.
Meski kemarin aku bersedih, aku tak ingin itu terlihat dunia. Apalagi di saat yang sama aku menghadapi ujian proposal. Bayangkan betapa sintingnya otakku ini dipaksa belajar padahal yang ku ingat hanya kenangan-kenangan bersamamu yang membuat mataku kabur akan air mata. Aku ingat saat kita nonton upin ipin lalu kau berkata "mama, kita kan geng" dan kompak bersamaku. Aku tahu aku bukan ibu yang jelek, aku mendidikmu begitu rupa. Yeah mungkin sedikit keras, tapi aku tahu itu untuk kebaikanmu semata.
Dear Najwa.
Ku pikir warnaku sudah tak ada lagi di dirimu. Semua yg ku desain saat kau masih kecil telah terkaburkan oleh warna warni orang lain yang kini bersamamu. Aku masih ingat saat kau ku didik mampu belanja sendiri. Aku memberimu uang lalu kau masuk ke supermarket, memilih barang yang kau suka, lalu membawanya ke kasir. Dan aku hanya melihatmu dari kejauhan. Dan saat itu umurmu hanya TIGA TAHUN. Kau sudah ku didik begitu mandiri. Ibu-ibu lain pasti takut melepas anaknya sendiri ke dalam lorong lorong supermarket untuk belanja sendiri. Atau mereka takut uang nya jautuh dan hilang atau takut kembaliannya salah. Tapi aku tak takut untukmu anakku. Aku tahu JIKA AKU PERCAYA KAU BISA, MAKA KAU BISA. Dan itu yang ku tanamkan padamu meski kau merengek padaku dan berkata "Awa malu ma". Nope, dengan kejamnya aku menepuk punggungmu lalu berkata "Awa bisa". Dan yah, KAU BISA. Betapa bahagianya dirimu saat itu berlari ke arahku yang menunggu di depan pintu supermarket, memberikan uang kembalian dan berkata "AWA BISA MA!". Yeah, kau bisa anakku, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Dan aku tak pernah dan tak akan mendidikmu menjadi cengeng. Kau akan selalu ku didik (seolah-olah dengan kejamnya) bahwa kau bisa.
Dear Najwa.
Kemandirian itu pula yang membuatmu tumbuh jadi pribadi yang kuat dan tidak panik. Apakah kau ingat saat kau tersesat di mall Balikpapan? Kau tidak panik anakku padahal umurmu baru EMPAT tahun saat itu. Kau terpisah dariku dan yang kau lakukan adalah MENEMUI SATPAM DAN MENYEBUTKAN NAMAKU. Hebat anakku! Itu sungguh hebat. Bayangkan kau dengan otak 4 tahunmu, kau bisa berpikir strategic bahwa yang kau lakukan adalah menemui laki-laki berseragam itu lalu menyebutkan nama IBUMU. Aku sendiri baru sadar kau telah terpisah dariku saat mendengar namaku di sebut di mikrofon mall bahwa Najwa sedang menungguku di bagian informasi. Kadang aku berharap skill ini juga yang akan membawamu padaku suatu saat nanti. Kau selalu ingat nama belakangku KASYFITA dan aku adalah SATU-SATUNYA KASYFITA di dunia. Hingga jika pun kau membuka google dan mengetik nama belakang itu, HANYA AKU, IBUMU YANG AKAN DIBAWA GOOGLE KEPADAMU. Ku harap suatu saat kau akan menunggu lagi di suatu tempat begitu kau menemukan nama belakangku di dunia ini. Dan aku masih hidup untuk hari itu. Semoga.
Dear Najwa.
Saat ini aku sudah memutuskan untuk hijrah ke masa depan. Mungkin kau tak akan melihatku lagi di Samarinda setelah masa baktiku selesai. Aku akan hijrah ke New Zealand, negara tenang dimana seorang laki-laki kiwi baik menungguku disini. Aku tahu kau mungkin tak akan mengerti kenapa aku memutuskan ini. Mungkin kau akan mencapku ibu bejat, ibu tak punya kasih dan banyak hal lain lagi yang selalu ditanamkan lingkungan padamu. Aku hanya melihat bahwa negosiasi untuk berbagi dirimu itu sudah tak ada lagi. Dan ku pikir sudah saatnya aku menata hidupku kembali ketimbang selalu terombang-ambing dalam dilema dan pertikaian tanpa henti. Kau pun tahu betapa berat halangan yang harus aku dan keluargaku dapatkan hanya untuk melihatmu saja. Mereka telah merasa begitu berhak akan dirimu dan aku sekeluarga tak lagi pantas untukmu. Tapi sudahlah anakku, aku sudah tak ingin berdebat lagi. Rasanya sudah cukup banyak usaha yang dilakukan tapi semuanya tak ada jalan negosiasi. Itulah yang mendasari keputusanku bahawa aku sebaiknya minggir saja. Aku akan hijrah, anakku. Aku memutuskan New Zealand adalah rumahku. Tapi percayalah, suatu saat jika kau cukup dewasa untuk memilih, kapanpun kau ingin untuk mengunjungiku, kami disini akan sangat bahagia menemuimu. Ia laki-laki yang baik, mampu menghargai ibumu yang sudah tak jelas ini dan mengangkatnya menjadi wanita terhormat lagi. Ia juga begitu romantis, hingga mataku sering basah betapa besar kasih sayang yang ia curahkan padaku, anakku, dan aku bahagia. Aku harap kau pun akan menemukan laki-laki yang begitu menghargaimu seperti ia menghargaiku saat ini.
Dear Najwa.
Kemarin sejak pagi aku menahan tangisku. Aku tak suka menangis. Menangis membuat otakku buntu sementara aku harus berpikir apa yang harus ku lakukan saat itu. Aku harus menghadapi supervisor ujianku anakku, lalu harus berpacu dengan waktu untuk me revisi sisa proposalku. Dan semua itu perlu OTAK YANG TENANG jauh dari gelayut kesedihan. Tapi meski aku hanya mengizinkan diriku bersedih di tanggal 17 Mei untukmu, aku memaksa diriku untuk tetap ceria, tetap semangat menghadapi ujianku.
Dan saat di bis, air mataku masih menggantung. Namun tidak begitu masuk ruang ujian. Yang dilihat supervisor hanya Nurul yang tenang, Nurul yang ceria, Nurul yang happy, tanpa pernah terlihat luka di matanya. Lalu aku masih harus berjuang me revisi proposalku anakku. Selama 2 jam aku diberi waktu untuk itu. Dan alhamdulillah aku berhasil mengatasi itu.
Ku pikir luka kehilanganmu itu telah membuatku berlari hanya agar luka itu tak terasa lagi, tapi akhirnya aku berlari begitu cepat hingga mampu mencapai apa yang tak ku kira sebelumnya. Aku tak suka meratap pada dunia karena menurutku ketimbang meratap akan kesulitan lebih baik kita berpikir bagaimana mengatasinya. Dan itu yang ku lakukan kemarin. Aku cukup kuat untuk ujianku, untuk deadline itu dan begitu proposal itu SUBMIT dan LOLOS, keluarlah air mataku. Dan aku menangis. Meraung di sofa apartemenku. Seluruh sel di tubuhku memanggil dirimu Najwa, tapi aku tahu aku tak lagi bisa bersamamu. Saat itu aku melepaskan seluruh kesedihanku. Aku mengizinkan diriku menangis. Dan aku menangis, hingga aku tertidur di sofa itu.
Dear Najwa.
Pagi ini aku sudah tak sedih lagi. Hanya sehari dalam setahun aku boleh bersedih, dan itu hanya untukmu. Air mataku terlalu mahal untuk dihabiskan oleh kekejaman orang lain padaku. Aku tak pernah menangis untuk mereka, orang-orang kejam itu. Mereka tak pantas mendapatkan air mataku. Pagi ini aku juga sudah semangat lagi. Aku sudah berencana menghabiskan hariku dengan belajar lalu membuat slide untuk presentasiku. Ku harap kau juga bahagia disana dengan mereka yang menemanimu. Ini saatnya aku move on, anakku. Saatnya hijrah. Tapi percayalah, meski aku tak lagi berada satu kota dengan mu suatu saat nanti aku tetap menyayangimu. Dan kau, selalu dalam doaku. Selalu.
Selamat ulang tahun Najwa. Tetaplah jadi anak yang ceria, pemberani, banyak akal, bijaksana, tak mudah mengeluh dan pantang menyerah. Dan semoga suatu saat kita bisa bersama. Amin.
Auckland, 18 Mei 2017,
-ME-
No comments:
Post a Comment