Friday, 6 April 2018

Lemon and lemonade of life: A Cinderella Story

Life is not always a sugar sweet. Sometimes it gives you the sour of lemon. And when that time comes, make a LEMONADE!
Sebelum membaca ini, saya harus peringatkan bahwa yang Anda baca bukan a fairy tale, bukan cerita di dongeng sebelum tidur, poin poin yang akan Anda baca disini adalah A REAL LIFE story. Sehingga, I am brave to say that YOU CAN DO IT TOO! Anda akan membaca berbagai lemon hidup yang saya temui dalam hidup and how I turn it into A GLASSFULL of LEMONADE!
Setiap wanita berhak akan A CINDRELLA STORY. Make your own. TODAY.

When life gives you lemon, make a lemonade. Because every woman deserves a happily ever after




Lemon 1: PERPISAHAN DAN KEHILANGAN 
Lemon pertama yang diberikan hidup adalah perpisahan dengan anak perempuan saya satu satunya. Lelaki yang saya abdi selama bertahun tahun memutuskan untuk memisahkan saya dengan anak saya. Awalnya karena saya meminta berpisah dengan baik baik, namun well, life gives me this. Saya dipisahkan dengan satu satunya anak yang saya lahirkan. Tidak hanya itu, saya hampir tak punya apa apa saat perpisahan terjadi. Jadi life gives me 2 lemons sekaligus: PERPISAHAN DAN KEHILANGAN.
My lemonade: anak terus saya doakan, karena saya percaya DOA itu adalah energi. Dan bagaimana pun saya dipisahkan, energi doa itu akan terus sampai pada ia yang saya doakan. Untuk kehilangan banyak hal dalam hidup dan hampir tak punya apa apa, saya bawa dengan ikhlas dan syukur. Day by day, saya membangun hidup saya kembali. Sendiri, but I am at peace.

Lemon 2: FINANCIAL HARDSHIP 
Perpisahan tentu juga berujung pada kesulitan ekonomi. Saya masih ingat di awal awal perpisahan, saya harus pinjam uang hanya untuk supaya bisa bayar kos (karena saya tidak suka kembali hidup dengan orang tua saya, I chose to be independent). Saya masih ingat hari hari saat saya menangis di pojok kamar kos, berteman dua kantong plastik baju yang sempat saya bawa. Waktu itu saya cuma bisa menangis dan berbisik "mampukah saya, mampukah saya". Tiba tiba saya sendirian, anak hilang, harta hilang, wuih serasa kiamat sugra saat itu. Belum lagi tekanan masyarakat akan status saya. Masih ingat ditolak seorang Ibu kos begitu tahu saya "janda". Beliau dengan sinis berkata "cuma menerima wanita yg belum menikah atau yg berkeluarga". Can you imagine that?
How did I make it into a lemonade? Saya melamar beasiswa. Hitungan saya jika saya berangkat sekolah dengan beasiswa, tabungan saya di tanah air akan bertambah karena gaji (saya tetap dibayar tugas belajar saat sekolah), dan saya masih bisa hidup dari beasiswa. Saya lulus beasiswa master, lalu sekarang saya di beasiswa PhD. Sebelum ini pun, saat saya dihantam kesulitan eknomi di tanah air, saya bekerja di dua tempat. Pagi saya mengajar di kantor A, sore hingga malam saya mengajar di kursus (karena di kantor saya tidak banyak yang memberi saya kesempatan karena status saya). Dengan kerja di dua tempat inilah, saya berhasil membiayai persiapan beasiswa saya. Saya lulus beasiswa master dan kini sedang menempuh PhD saya.

Lemon 3: EDUCATION HARDSHIP 
Tidak selalu usaha saya berhasil. Ada saja batu sandungan yang membuat saya harus putar otak. Waktu saya menempuh master of science, saya keluar masuk rumah sakit karena sering ingat anak dan tak bisa makan. Saya bahkan di diagnosa kena bullimia oleh dokter, karena saya selalu muntah setelah makan, ingat anak saya. Betapa sintingnya saya dengan mental seguncang itu, saya memutuskan untuk sekolah lagi. Tapi I did it! Di tengah kesulitan dan goncangan mental itu, saya lulus master ON TIME. Dan itu master kedua yang saya genggam.
Awal saya tiba di negara ini (I am now in New Zealand), PhD saya hampir karam. Saya pun di diagnosa dokter terkena depresi berat. Saya hampir bunuh diri di kamar saya di Auckland. Saya pikir sudah jauh jauh saya berjuang, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk PhD, lha kok malah karam?
How did I change it into a lemonade? Saya ikut kelas depresi. Dan itu menguatkan saya. Saya diajari untuk ikut arus depresi, membiarkannya membawa saya tenggelam, tidak melawan, karena itu akan bikin tmabh frustasi, lalu turn around, berputar dan berenang ke permukaan. And I DID it! Di tengah kepala depresi itu, saya menulis proposal ke education, saya MEMINDAHKAN PhD saya di luar negeri! Saya ikut interview dengan beberapa supervisor, dan akhirnya YAY! PhD saya berhasil dipindahkan. Saya juga me lobby imigrasi dan beasiswa, agar tetap mau me sponsori saya. Dan semua berhasil. PhD saya berhasil pindah, saya sekarang sudah menjadi doktoral kandidat dan bahkan way better, begitu saya pindah, saya DIKONTRAK oleh universitas terbesar di New Zealand.
Kena depresi tidak membuat saya patah. Setelah depresi, saya tidak hanya berenang ke permukaan, saya MELOMPAT tinggi ke angkasa!

Lemon 4: LOVE HARDSHIP 
Ingat Reese Witherspoon dalam film Sweet Home Alabama? Ceritanya tentang cewek yang sukses dan dilamar seorang lelaki tapi surat cerainya belum selesai. Yep, itulah saya. Karena tak punya uang, saya tak mampu menuntaskan surat cerai saya. Lebih parah lagi, karena saya sekolah ke luar negeri, saya tidak punya waktu untuk menuntaskan itu. Kasus saya sudah pernah saya daftarkan dan dengan sisa uang tabungan saat itu, saya menyewa pengacara. Tapi well, kasus saya digagalkan pengadilan karena saya dianggap gagal hadir di persidangan meski sudah diwakili pengacara. Saya mencoba cara lain, meminta mantan saya yang mendaftarkan gugatan, tapi tetap well, he won't help. Akhirnya saya tidak punya uang lagi untuk menuntaskan kasus saya dan membiarkan diri saya ini TERKATUNG KATUNG tanpa status. Menurut agama sudah bercerai, tapi menurut negara belum. Menikah status, tapi tak dihiraukan suami. Harta diambil, anak diambil. Saya sendiri, berusaha mengatasi kesulitan hidup. Lima tahun saya hidup tanpa surat cerai dan tidak jelas status.
Hingga saya berhasil melulusi proposal PhD saya dan diberi waktu 3 bulan untuk ambil data ke tanah air. Saat itulah dengan uang tabungan saya bekerja di luar negeri, saya menyewa pengacara lagi. Saya berpacu dengan waktu agar surat cerai saya tuntas dalam waktu 12 minggu. Saya juga harus meyakinkan hakim bahwa perpisahan ini sudah terjadi sejak 5 tahun yang lalu, tapi saya ditelantarkan tanpa surat oleh mantan saya. Dan saya BERHASIL! Surat cerai saya selesai dalam waktu 9 minggu, Proses pengambilan data saya sukses, dan saya akhirnya BERHASIL membeli harga diri saya!

My Lemonade: A HOUSE OF MY OWN
Saat saya berpisah, rumah milik keluarga saya direbut oleh mantan suami. Jangankan itu, ijazah saya pun hampir tidak dikembalikan oleh mantan. Pelajaran untuk siapa pun yang berniat menikah: amankan surat surat pribadi, you will never know when things go wrong.
Anyway, saat saya berangkat untuk PhD, saya sampai jual motor cuma supaya ada uang tambahan buat tiket pesawat. Lalu saat itu pun, status saya masih anak kos, dan masih luntang lantung nyari duit sana sini. Pas baru tiba di negara ini pun, saya sampai harus menahan lapar dan makan cuma roti karena gak mampu beli ayam selama berhari hari sebelum uang beasiswa saya tiba.
Dan a year after that, saya berhasil membeli rumah di tanah air. Cukup signifikan, meski cuma rumah sederhana, karena setelah financial hardship itu, saya berhasil membeli rumah CASH. This is what I call as my house goal. Saat saya pulang ke tanah air kemarin, saya menuntaskan urusan surat cerai saya, membeli rumah dan menuntaskan pengumpulan data saya. All in 9 weeks!

Next Lemonade: LOVE 
Ada banyak lemonade yang terjadi justru saat saya di titik nadir depresi. Saat itu saya dilamar oleh seorang bule muslim (persis seperti yang saya doakan ke Tuhan). Saya termasuk yang tidak bermimpi punya pasangan bule karena concern dengan perbedaan keyakinan dan budaya. Sebutlah saya wanita konservatif yang sadar diri bahwa saya tidak punya apa apa yang bisa menarik hati bule. Wajah pas pasan, penampilan apa lagi, modern pun tidak. Saya ini cuma wanita biasa yang senang di rumah, belajar, memasak, dengar musik, itu hobby saya.
Well then justru saat saya kena depresi, saat PD itu sangat tipis sekali saya dilamar olehnya di puncak SKY TOWER. With a DIAMOND. Can you beleve that? Mimpi pun tidak bakal punya a diamond, ini saya justru dilamar di puncak tower tertinggi di southern hemisphere! Setelah dihujat oleh mantan saya bahwa tidak akan ada lagi yang menginginkan saya, seorang bule justru berlutut di hadapan saya mengucapkan "would you marry me?".
Now that is A REAL LEMONADE!

The Greatest Lemonade: A Cinderella Story 
Setelah berhasil membeli harga diri saya dengan mengurus surat perceraian yang tergantung selama 5 tahun itu, saya pun menikah di Auckland. I called this a Cinderella story, karena semua disiapkan penuh dengan kemeriahan oleh tunangan saya. Ia membelikan a bridal shoes dari negara lain, lalu membuatkan saya a custom made veil agar saya bisa tetap pakai jilbab dan tetap berkerudung ala white bride.
Saya juga dijemput limousine dan dibawa terbang naik helikopter setelah perayaan. Yang lebih membahagiakan, setelah 5 tahun jadi wanita tanpa surat, sekarang saya punya DUA surat nikah dari luar negeri. Tunangan saya menikahi saya secara muslim dan tercatat di Muslim Association Auckland, dan secara negara yang tercatat di Internal Affairs New Zealand.
Bagaimana dengan anak saya? Saat ini ia masih kecil tapi saya selalu tekankan padanya untuk menghafal nama belakang saya. By the time she googled me, she will find me. And when she is ready, ia akan saya tuggu dimana pun di dunia ini. Meanwhile, sementara ini saya memeliharanya DALAM DOA. Dan saya yakin Tuhan selalu Melindunginya.
Sekali lagi, hidup itu tidak selalu semanis gula, selalu ada hal yang asem yang bikin kita merem melek menelannya. Tapi percayalah, dengan ikhlas, sabar, dan pantang menyerah, kita bisa membuat keaseman hidup itu menjadi sesuatu yang masih bisa dibuat senyum. I am not a Cinderella, definitely not. I make my own Cinderella story. And if I can, you can do it too!


Friday, 23 March 2018

How about A Cinderella Story, Najwa?

Dear Najwa.

Let me read you a Cinderella story.

Back in 2005, hiduplah seorang perempuan. Ia penakut, punya mimpi besar, tapi tak pernah punya cukup kepercayaan diri untuk mewujudkannya. Ia sering sakit, ia sadar dirinya jelek dan tidak menarik, gendut, hitam, intinya ia menganggap dirinya tidak pantas berharap besar. Di Agustus 2005, ia memilih menikah dengan seorang laki-laki sederhana. Padahal saat itu, lamarannya ke sebuah universitas di Amerika sudah lulus. Ia berkorban untuk lelaki itu, karena ia pikir semoga nanti setelah menikah, ia bisa sekolah lagi. Si lelaki bahkan tak mau memundurkan tanggal pernikahan demi menunggu kawan baik si perempuan dari Amerika, padahal itu sangat berarti baginya. Ia mengalah. Ia menurut. Dengan harapan ia akan mendapat kasih sayang, cinta, penghargaan, atas seluruh pengorbanannya.

Ternyata tidak. Ia banyak sekali kecewa, menangis, tersakiti, hingga akhirnya ia pergi. Si lelaki marah dan merebut semua yang ia punya, termasuk putri kecilnya, yg sekarang mungkin sedang membaca tulisan ini. Perempuan itu awalnya penakut, sering sakit, tidak percaya diri, apalagi habis melahirkan putri kecilnya, ia sering sakit perut. Lalu tiba tiba ia kehilangan semuanya. Bahkan untuk mengambil ijazah sekolahnya saja, ia harus berjuang.

Setelah itu, ia mengembara ke India. Ia sekolah menyelesaikan master keduanya. Sering ia menangis sendirian di India, ingat putri kecilnya yang tak lagi ia tahu kabarnya. Ia sempat masuk rumah sakit di India karena tidak bisa makan. Setiap kali ia memasak, ia ingat betapa putri kecilnya senang sekali dengan masakannya lalu ia mual dan muntah hingga tak ada satu pun makanan yang bisa masuk ke perutnya. Ia juga tak lagi bisa makan KFC, karena ingat putrinya selalu bilang "makan SIP" untuk istilah makan KFC yang mungkin menurut anak kecil itu LEZAT SEKALI. Ia juga tak bisa makan oseng hati ayam karena setiap kali memasak ia ingat anak kecil itu selalu bilang ini masakan "love" karena hati itu simbolnya love. Ia juga sering mengigau malam mendengar si anak kecil berteriak "MAAA SUDAAAH" sebagai tanda ia selesai buang air besar karena selalu si perempuan itu yg mencuci anak kecil itu sebagai bagian dari pengabdiannya di rumah. Lalu seringkali ia berlari ke wc di rumahnya di India dan saat menemukan wc itu kosong, ia menangis berjam jam di depannya, menangisi kenapa ia tak bisa lagi mendengar kabar anak kecil itu. Kau pasti tahu siapa anak kecil itu, Najwa.

Akhirnya ia sadar, jika ia terus tidak makan, ia akan mati dan sekolahnya tak pernah selesai. Ia dirawat orang orang yang ia kenal di India dan salah seorang wanita Muslim dari Yaman berkata padanya suatu hari. "Make dua, dua is the power of a Muslim" yang artinya "berdoa lah, doa itu kekuatan orang Muslim". Sejak saat itu, ia menjadikan DOA sebagai kekuatannya. Ia akhirnya lulus dan pulang ke tanah airnya.

Cobaan belum berakhir. Gajinya dipotong karena ia dinyatakan berhutang dengan negara. Ia kerja keras banting tulang menghidupi hidup sendirinya. Ia hidup sederhana di sebuah kamar kos di jalan Pramuka. Kadang ia kelaparan, kadang ia pulang kebanjiran, namun ia tetap ceria dengan hidupnya. Sesekali ia menemui anak kecil itu di sekolahnya. Meski harus memacu motornya kesana kemari di sela sela jadwal mencari nafkahnya. Ia sudah tak ingin berebut lagi dengan lelaki itu. Ia ikhlaskan semua barang barangnya yang tertinggal di rumah itu. Yang paling menyesakkan hingga saat ini adalah BUKU. Ia sedih sekali semua buku bukunya tidak terbawa dari rumah itu dan kini mungkin sudah entah dimana.

Dan ia berangkat ke New Zealand. Tiga minggu setelah tiba di NZ, ia bertemu seorang lelaki. Ketemunya juga lucu. Ia sudah hampir kehabisan uang dan cuma bisa memasak roti dengan telur saja karena uang beasiswanya belum tiba. Lalu ia berdoa minta ayam pada Allah SWT. Kamis sore ia memasak di dapur bersama dan bertemu seorang lelaki botak yang bertanya namanya. Ia tak pernah berharap apa apa dengan lelaki itu, karena ia tahu, susah baginya untuk percaya siapa siapa lagi. Ia hanya berniat satu hal di NZ: SEKOLAH.

Hidupnya di NZ bertambah baik. Ia dikontrak universitas tempat sekolahnya dengan bayaran tinggi. Kadang ia masih meneteskan air mata ingat bagaimana dulu di tanah air ia berusaha mencari kerjaan namun tidak berhasil dan ia akhirnya dapat pekerjaan di kursus bahasa inggris. Betapa perih dan susahnya hidupnya dulu.

Mungkin kita harus sedikit berhenti sejenak, Najwa, mari kita melihat bagaimana perubahan dirinya sejak tahn 2005 hingga sekarang, 2018. Foto kiri adalah ia saat masih penakut, masih tidak percaya diri dan kanan saat ia sudah tumbuh menjadi jauh lebih kuat, di New Zealand. Lihat bedanya anakku? Yang kiri, ia sering sedih, sering sakit hati, seringkali dikecewakan. Mungkin kau sempat melihat beberapa air matanya jatuh saat itu. Padahal ia tak meminta banyak dalam hidupnya, namun tetap, ia dikecewakan. Tapi lihatlah yang kanan, anakku. Ia berubah menjadi lebih ceria, lebih sehat, lebih bahagia, meski ia hampir tak punya apa apa. Ia juag terus menjadikan doa sebagai senjatanya. Dan ia benar-benar merasakan bahwa hanya DOA yang terus bisa menolong kita, dalam setiap keadaan. Just like Cinderella, ia berubah dari ia yang penakut menjdi ia yang penuh percaya diri.


Karena ini cerita Cinderella, maka harus ada juga pangerannya. Dan itu yang terjadi dua minggu ini, anakku. Sesuatu lebih besar terjadi pada dirinya dua minggu ini. Setelah berjuang cukup panjang, akhirnya si perempuan yang dulu penakut itu menikah dengan lelaki botak yang ia temui di dapur bersama 3 tahun yang lalu. Laki laki baik yang mau menunggunya, setia menemaninya dan berhasil menyembuhkan luka di hatinya. Ia didandani bak putri raja, dijemput dengan limousine lalu dibawa terbang dengan helikopter. Karena ini cerita Cinderella, maka ia juga harus punya sepatu yang cantik, tentu saja. Dan si lelaki pun memesankan ia sepatu jauuuh dari negeri Inggris sana. Ia pun tampil cantik di hari bahagianya. 

Ini foto Cinderella itu di depan Viaduct Harbor, tempat yang dulu fotonya ia lihat di ruang kelas di EF, tempatnya mengajar dulu. Dulu di tahun 2014, ia mengusap foto ini di kursus tempatnya mengajar, anakku. 4 tahun kemudian, ia berfoto di tempat yang sama. 

Hal yang harus diambil dari kisah ini, anakku, adalah bahwa setiap kita harus berjuang untuk kebahagiaan hidup kita. Kita tak bisa meletakkan kebahagiaan kita di pundak orang lain, itu tugas yang amat berat. Kita tidak tahu bagaimana hidup kita ke depan, tapi kita harus selalu berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika si wanita itu tidak berjuang hidup, jika ia tetap tidak mau makan saat di India, jika ia tetap bersedih, maka hidupnya juga akan begitu begitu saja. Tapi tidak, anakku, ia berjuang di luar negeri, pontang panting mengumpulkan dollar demi dollar, siang ia bekerja, malam ia belajar, begitu pun saat ia di tanah air, ia berjuang kerja pagi di kampus, lalu malam di kursus, supaya semuanya bisa tercukupi. Dan kini, hasil perjuangannya sudah mulai terlihat. Ia mendulang bahagia dalam hdupnya. Menjadi Cinderella itu tidak instan, Cinderella itu harus diperjuangkan. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Kau juga akan jadi Cinderella suatu saat nanti. 

Tetaplah jadi orang baik, anakku, bagaimana pun hidup memperlakukan kita. Tetap jadi orang yang ramah, kuat, tidak suka menyakiti orang lain, tetap ceria, percaya dengan kuasa Allah dan jadikan doa sebagai senjata kita. 

Salam dari kami berdua di Auckland. Remember, you are always welcome to New Zealand. You have a family here. 

Be a Cinderella, anakku. Ubah kemalangan hidup menjadi kegemilangan. Doaku selalu untukmu. 

Auckland, 24 Maret 2018,

-ME-


Saturday, 27 January 2018

Hi Najwa, how are you there?

Hi Najwa, how are you there? 

Mama baik aja disini. Perutnya masih kadang dangdutan hehe awa tau kelo kalau Mama sering sakit perut heheh. Tapi Mama sudah ke dokter, terus disuruh ke lab juga, periksa, dan seperti Mama bilang di Samarinda, semuanya GRATIS! Padahal biaya labnya itu wa hampir 2 juta kalau uang kita Indonesia, terus dokternya juga, tapi semuanya dibayarkan asuransi, alhamdulillah! Makanya Mama bilang kan, Mama harus segera kembali ke New Zealand karena disini semua biaya obat Mama dibayarkan asuransi.

Other than that, ya Mama kerja. Tiga hari seminggu. Sehari itu gajinya guede Wa hehe. Mama kerja Rabu Kamis Jumat aja dapatnya 5 juta uang kita Wa hehehe. Makanya disini hidup Mama jauh lebih baik lah alhamdulillah. Selain itu ya Mama belajar kalau malam, terus hari Sabtu Minggu Mama full belajar sambil pacaran dengan si botak hehe. Kemarin kami makan di restoran Turki baru shopping. Si botak mau nonton konser tapi Mama ndak ikut jadi dia pergi dengan keluarganya yang lain hari ini, jadi Mama belajar aja hari ini. Masih banyak yang harus Mama ketik, nanti Mama dimarahi supervisor hehe. Jadi kerjaan Mama tu ya kerja kalau siang, malam belajar, Sabtu Minggu belajar sambil jalan jalan kalau si botak ada waktu.

Di Auckland lagi summer Wa. Puanasss, tapi karena perut Mama masih belum stabil, Mama masih ai kedinginan hahaha. Jadi mama pakai baju belapis lapis padahal buat orang sini sdh ndak dingin lagi, tapi buat Mama masih belum panas. Jadi kalau Mama pakai sweater suka dilihatin bule bule terus dibilangin “are you serious, Nurul?” Hehehe tapi Mama bilang aja kalau badan Mama terbiasa dengan suhu Indonesia makanya masih perlu waktu beradaptasi dengan suhu di NZ.

Awa apa kabar? Sudah sibuk try out dan persiapan UAN kah ya? Awa harus terus rajin belajar ya Wa dan juga harus terus berusaha belajar Bahasa Inggris. Awa pasti bisa. Mama ndak pernah disekolahkan Nenek sekolah Bahasa Inggris tapi Mama belajar sendiri. Kadang Mama sering ngomong sendiri dulu tu waktu kecil karena Kai Nenek dengan Bu Ati ndak ada yang bisa ngomong Bahasa Inggris dengan Mama hehe. Bahkan waktu Awa di dalam perut Mama, kita sering ngomong Bahasa Inggris. Awa itu teman Mama mulai dari dalam perut kita sudah sama sama. Kita tes dosen sama sama, kita kecelakaan pas Mama ke rumah sakit sama sama, bahkan kita jatuh dari plafon rumah Kai dulu jua sama sama. Dan Awa itu anak kuat. Biar Mama jatuh dari plafon itu Awa tetap ndak begerak di perut Mama. Awa Insya Allah jadi orang sukses. Awa harus pintar Bahasa Inggris lalu sekolah ke New Zealand juga. Mama ada disini dan Mama insya Allah buka jalan buat Awa supaya Awa bisa dapat pendidikan dan kenyamanan di negara ini. Tenang aja Wa. Mama Awa ini bukan orang bego, with Allah, I will find a way! Insya Allah. 

Teman teman masih jahat kah Wa? Kalau ada yang jahat biarkan aja. Biar Allah yang Balas. Awa diam aja. Tetap aja belajar, beribadah sama Allah, orang jahat ke kita itu biar Allah yang Balas. Bilang Nenek dulu dengan Mama, kita ndak usah berusaha menang dengan manusia, nanti malah Dikalahkan Allah. Kita merunduk aja, fokus dengan hidup kita, ibadah kita, ndak usah bersaing dengan siapa siapa. Nanti Allah yang Angkat derajat kita. Dan kita harus percaya dengan kuasa Allah, Wa. Allah itu mudah aja hendak Menjadikan sesuatu. Dan Awa harus tetap sangka baik dengan Allah SWT ya Wa. Percaya Allah itu ndak Tidur. Allah Maha Melhat, Allah Maha Tahu. Jadi kalau teman Awa jahat, diam aja. Awa bawa berdoa aja, jangan nangis di depan teman, tapi nangis nya di shalat aja, dengan Allah yang Maha Kuat.

Semua  kado Awa Mama bawa ke Auckland. Ini ada di meja belajar Mama. Kalau Mama lagi kangen Awa pasti Mama usap kadonya, terus baca surat tulisan tangan Awa itu. Terima kasih ya Wa sudah jadi anak baik, anak yang ikhlas dan hati Awa seluas samudera. Semoga Awa selalu sehat, bahagia, terus sekolah Awa Dimudahkan Allah. Hehe, kalau Awa mau SMP ke NZ, bisa aja. Visa S3 Mama bisa bikin sekolah Awa murah disini. Tapi asal Awa berani bilang ke Bapak, Mama tinggal booking tiket dari sini. Awa pasti bisa masuk SMP di NZ sini dan Mama pasti bantu Awa belajar. Tapi kalau Awa ndak berani, ndak papa. I understand. Kadang kita harus mengalah Wa, supaya semuanya damai. Mama yakin dimana pun Awa sekolah pasti tetap berhasil.

Ini Mama fotokan kado Awa dengan pemandangan Auckland siang ini. Puanas hari ini Wa, 29 derajat Auckland hari ini. Mama tapi tetap pakai piyama hahaha. Ok Wa, sampai sini dulu ya cerita Mama. Awa ndak perlu balas. Dan saat Awa bisa google Mama, you will find this. I know you will. Awa itu anak cerdas, kuat, dan tabah. Karakter penting dalam hidup ini.




Rajin belajar, terus jaga shalat, terus percaya dengan Kebaikan Allah ya nak. Mama terus doakan Awa di setiap shalat. You will always in my prayer. Dan kekuatan orang mukmin itu adalah DOA anakku. Itu adalah kekuatan yang tak akan pernah putus! Karena saat kita berpegang pada tali Allah sesunnguhnya kita tengah berpegang pada buhul yang amat kuat. Buhul yang amat kuat. 






I miss you here. A lot!

Auckland, 28 Januari 2018,

-ME-

Saturday, 28 October 2017

To Define Where Home Is

This is just a writing because you are just too bored waiting for a flight. I just would like to write about home. Rumah. To be honest, sejak lima tahun lalu, saya tak tahu lagi definisi rumah itu dimana. Dulu saya di India, saat pulang ke Samarinda, I cried too, karena sudah kadung akrab dengan suasana di India, dua tahun saya tinggal disana. Padahal masih ingat awal saya data
ng ke negara itu, saya menangis di mobil yang membawa saya ke Mysore saat itu dan melihat betapa berbedanya makanan yang ada. Saya sempat bilang ke supir taksinya bahwa saya ingin pulang saja. That what happened in the beginning. Lalu saat saya meninggalkan kota itu di Juli 2014, saya juga menangis dan merasa mungkin itu rumah saya. But nope, Allah Takdirkan kembali dulu ke kamar kost yang saya diami di 2012.
Daaan episode selanjutnya berlangsung. I was there di kamar kos itu hingga September 2015. Cukup 14 bulan, Allah Takdirkan lagi saya pindah rumah. Tiba-tiba saya Dibawa lagi ke kota bernama Auckland, yang jauuuuhhh banget rasanya menurut saya. Just take a look, Auckland itu di North Island, negara New Zealand, yang bentuk negaranya kalau dilihat di peta cuma seuprit mirip pulau Jawa. Itu adalah negara terakhir yang berpenghuni sebelum Kutub Selatan, Antartika. Bayangkan, Allah Menjalankan saya dari negara nehi nehi ke negara Barat.
Awal saya datang, saya disambut udara dingin di bandara dan bertemu supir kiwi yang tinggi besar bertuliskan University of Auckland. Beliau membawa kertas bertuliskan nama saya saat itu hingga saya mengenali beliau sebagai yang ditugaskan universitas untuk menjemput saya. Waktu masih di dalam bangunan bandara, masih aman, lha pas keluar, alamak, itu dingin serasa nusuk ke tulang. Saya masuk lagi ke bangunan bandara sambil menangis lalu bilang “NOOOOO, I WANT TO GO HOME”. Lalu si supir itu tertawa terkekeh melihat saya. Mungkin karena sudah biasa melihat orang yang baru datang ke New Zealand, lalu kedinginan seperti biasa. Lalu dingin itu bikin perut saya dangdutan lalu saya pamit lagi ke beliau minta ke WC. Do you know what, tas saya sengaja dimasukkan beliau ke dalam mobil agar saya tidak “lari” hehehe. Lalu dengan sabarnya beliau membujuk saya agar mamu keluar dari bandara dan masuk ke mobil bertuliskan University of Auckland itu. Dan masuklah saya dengan sesenggukan menangis. Beliau tertawa sambil berkata “don’t worry, you will find a good man here and make New Zealand as your home”. BERCANDA. Itu ucapan saya saat itu sambil bilang “I want a muslim man, and what is the chance of meeting a muslim man here, in this western country?”. Beliau Cuma mengangkat bahu sambil tetap bilang “well, you’ll never know”. Sambil menitipkan saya ke Greg, lelaki tua penjaga hostel Rocklands.
Dan well, saya kira Auckland tak akan pernah menjadi rumah saya. But after two years, segala yang awalnya asing, segala yang awalnya tidak ramah, segala yang tadinya tak terasa rumah terasa sebagai rumah. Dan ow well, saya berurai air mata meninggalkan Auckland hari ini. That crucial moment saat saya berbalik meninggalkan ia yang saya cintai di belakang saya. Perih itu terasa lagi. The beauty saat hati kita terbelah karena rumah kita ada di dua tempat. I never thought New Zealand akan terasa seperti rumah untuk saya. Apalagi di awal-awal, saat saya di bully di sains itu wah sudah gak pingin pokoknya hehe. Tapi sekarang dengan saya bekerja di Auckland, diterima dengan sangat baik disana, hehe, Auckland pun mulai terasa rumah.
Anyway, cukup sebentar saja saya menangis, saya harus segara berbenah memikirkan barang bawaan saya. Memikirkan gate imigrasi yang harus saya lewati dan saya menyudahi tangisan saya hanya beberapa bulir saja. Hidup harus terus berjalan. Data untuk riset saya harus diambil di Indonesia dan PhD ini harus diselesaikan. Urusan yang sudah lama tertunda harus diselesaikan dan langkah harus diteruskan ke masa depan. I don’t come to Indonesia without a purpose. I have a huge purpose there.
Dan itulah sekelumit perjalanan mendefinisikan rumah. And for me, rumah saya bukan yang berbentuk bangunan. Rumah saya adalah dimana hati saya bahagia, dimana saya diterima dengan baik, dimana saya dianggap berarti dan tidak dianggap lebih rendah. Tempat dimana kinerja saya dihargai, tempat dimana saya tidak dibedakan hanya karena latar belakang hidup. Mungkin saja saya akan menajdikan New Zealand sebagai rumah saya, karena saat ini saya sudah berencana membangun masa depan dengan lelaki asli Auckland (well, si supir benar, I do find a good muslim in Auckland hehe). Atau mungkin saja rumah saya tidak ter definisi karena saya akan selalu berpindah, menemukan orang baru, tempat baru lalu mewarnai hari mereka dengan keunikan saya. Saya masih ingin post doktoral lagi hehe. Dan itu belum pasti dimana. So, rumah saya mungkin saja tak akan terdefinisi, tapi hanya dimana saya merasa nyaman. Yeah, mungkin saja. I will never know. 

Sydney, 29 Oktober 2017,

-NK-


Saturday, 21 October 2017

Let's do this!

Let’s Do This

As usual, in whatever keadaan di hidup saya, I choose to write. Mungkin hanya sekedar melepas ketegangan urat syaraf, atau sebagai penanda jika suatu saat di masa depan saya menengok kembali masa lalu dan menemukan tulisan ini. And I really love writing sehingga apapun yang saya tuangkan cukup powerful untuk dibaca kembali suatu saat nanti, jika saya sudah dalam keadaan yang lebih baik. Ada banyak bukti bahwa tulisan saya cukup kuat untuk dijadikan deposit kekuatan-sesuatu yang pantas dibaca di saat lemah hingga bisa menumbuhkan semangat kembali. Well, after all, saya hanya seorang wanita yang berjuang sendiri di tengah ketidakadilan dan kekejaman seorang laki-laki beserta seluruh keluarganya.

Anyway, mungkin banyak yang bingung kenapa saya se gugup ini padahal ada banyak urusan di luar negeri yang telah saya tuntaskan dengan skill negosiasi dan pendekatan ala saya. Kenapa Cuma urusan di dalam negeri begini saya gentar? Here are beberapa faktor yang membuat mengapa urusan di dalam negeri itu selalu “licin” menurut saya. Here are the sadness factors yang harus saya siapkan untuk hadapi beberapa hari ke depan

  1. Birokrasi. Yup, ini adalah hal konyol yang harus saya hadapi. Kadang ada saja aturan yang sudah nyata tapi bisa dibelokkan kemana mana. Perlu diketahui yang saya hadapi adalah seorang laki-laki beserta seluruh keluarga besarnya yang tersebar di berbagai urat birokrasi. Mereka yang berani keroyokan tanpa tahu masalah dengan embel-embel “itu keluarga saya” lalu ikut menghakimi atau bahkan mempersulit. Itu urusan yang harus saya hadapi. Berhadapan dengan sistem yang kelabu dengan kalimat “itu keluarga saya” inilah yang membuat skill negosiasi saya yang biasanya tajam di luar negeri dimana keadilan jelas, kadang bisa tumpul di negara sendiri. Believe me, saya sudah mengalaminya sejak tahun 2012, kesulitan demi kesulitan diciptakan untuk menghadang saya, demi satu tujuan: mempersulit saya. Itu saja. Dan jika hanya ia seorang yang harus saya hadapi, mungkin kekuatan wanita saya masih cukup untuk itu, tapi yang saya hadapi adalah sekali lagi, keluarga besar yang berada di berbagai urat birokrasi. Now you know, peperangan seperti apa yang ada di hadapan sana dan mengapa saya sedikit gentar di pertempuran ini.
  2.  Materialistik: saya harus sadar bahwa apa yang saya hadapi selain kelicinan birokrasi juga adalah materialisme, sistem dimana jika uang Anda banyak, maka Anda akan dihormati. That also frustrates me, karena saya telah banyak menemui di luar negeri bahwa apa yang saya urus bisa jalan meski tanpa uang. Tapi di hadapan sana, saya sudah tahu akan ada banyak pihak yang menadahkan tangan mereka pada saya yang hampir tak punya apa-apa ini demi memuluskan urusan yang sebenarnya job desc mereka.  Mestinya tak perlu semahal itu, tapi dengan kesulitan yang saya hadapi mereka akan meningkatkan harga agar kesulitan itu bisa terlewati. Dan meski saya muak dengan sistem itu, sepertinya tak ada jalan lain kecuali playing along dengan amplop untuk sementara ini. Itu sebabnya saya bilang “be ready, mentally, financially”. Karena truly, yang saya hadapi bukan hanya kelicinan birokrasi tapi juga manusia-manusia yang ingin uang. Dan the power of amplop akan kembali masuk arena. Saya sudah bekerja keras untuk itu. Saya bekerja keras untuk membeli harga diri saya. Saya tidak meminta dengan orang lain, bahkan tidak pada ia yang ingin membangun hidup dengan saya. This is my battle, saya akan beli harga diri itu dengan keringat saya. Tapi tentu saja saya bukan wanita kaya dan kemampuan amplop saya tak setebal orang lain dan jika bisa dituntaskan dengan biaya seminimal mungkin, maka itu yang akan saya pilih. But saya sadar bahwa permainan di arena itu bisa saja sangat rumit hingga menimbulkan excess biaya. Saya sudah siapkan hal ini, semoga dollar demi dollar yang saya kumpulkan dari bekerja di Auckland sini, cukup untuk menebus harga diri itu, dan melolosi kelicinan birokrasi. Amin.
  3. Penghakiman: contoh, saya ke sekolah untuk bertemu anak saya di sela istirahat. Akan ada ibu-ibu yang merasa mereka jauh lebih baik dari saya karena hidupnya lebih baik dan acceptable di mata masyarakat, mereka itu akan apply kekejaman pada saya. Believe me, hal ini sudah terjadi sejak 2014. Saat mereka memandang saya dengan mata sinis, kadang ada yang sengaja meludah di hadapan saya, atau berkata menyindir “kalau aku ya anak laki tu pang yang utama, lain karir pang. Karir tu seberapa handak dikejar kada cukup”, sambil cekikikan khas para wanita yang bergosip. Mereka itu akan menimbulkan cekikan di kerongkongan saya meski se tuli apapun saya pada ke nyinyiran mereka. I think untuk ini meski tidak signifikan, saya akan hadapi dengan diam khas ala saya. I will put my sunglassess, melihat mereka sebagai “ammm, who are you?” sambil berlalu pergi. Toh mereka tak tahu apa yang saya hadapi di pernikahan itu. Mereka tak tahu perjuangan saya. Mereka hanya ibu-ibu yang melihat dunia dari satu sisi lalu menghakimi siapapun yang bebeda dengan mereka. Yeah, mereka tak signifikan, tapi tetap saat telinga saya mendengar atau mata saya melihat, itu tetap menyakiti saya. No one can deny that.
  4.  Najwa: yak, ia juga sumber kesedihan saya. Sedih karena saat saya melihatnya, ia tak lagi tumbuh seperti yang saya harapkan. Kadang ia kelaparan, tak punya uang, diremehkan kawan-kawannya, karena dianggap ia seorang anak kecil miskin, jelek, dan keluarganya hancur. Dan seandainya pihak seberang itu mau mendengarkan, maka ia tak perlu jadi korban yang sangat menderita. Bayangkan saja, setiap barang yang diberi oleh ibu saya atau saya akan langsung dibuang oleh pihak sana, meskipun Najwa menyenangi barang tersebut. So, yang ia lakukan adalah biasanya ia meminta saya membawakan makanan saja, agar aman di dalam perutnya. Can you imagine that? Saya bisa saja membawakan apapun dari New Zealand, tapi karena ia tak berani membawa pulang, maka hanya makanan yang bisa saya bawakan. You should know bahwa kami pernah menyembunyikan uang di sol sepatunya agar pihak sana tak menemukan uang pemberian saya tersebut. Atau ia pernah sangat gugup saat laki-laki itu datang dan saya sedang memberinya makan, lalu saya bersembunyi di masjid sekolah hanya agar apa? Agar tak terjadi keributan, karena laki-laki itu adalah orang yang tak sungkan berteriak, memaki, meski itu di depan umum, karena merasa “hak”nya saya ganggu. Ya, ia merasa Najwa adalah “hak” nya dan saya tak berhak lagi melihat anak saya. Dan jika Anda bertanya kenapa saya mengalah, kenapa saya pergi, itu karena saya tak ingin lagi ribut. Sudah cukup. Saya tak ingin lagi melihat anak saya gemetaran, atau ketakutan. Jadi saya yang pergi dan ia dengan lantang mengabarkan pada masyarakat bahwa saya ibu yang meninggalkan anaknya. I accept that, biarkan saja ia hendak menyebut saya apa, yang jelas saya menerima seluruh kekacauan hidup ini sebagai takdir Allah yang Maha Baik. Allah Maha Tahu bagaimana ibu saya membawakan makanan ke sekolah dan kadang diteriaki olehnya jika ia menemukan beliau. No one knows that, right? Yang masyarakat tahu, saya pergi sekolah, meninggalkan anak saya. That’s it. Kenapa Najwa menjadi sumber kesedihan saya? Ini adalah pertemuan pertama kami setelah 2 tahun say a tak melihatnya secara fisik. Saat ibu saya masih hidup, beliau yang membawakan kamera dan kami saling menyapa lewat facebook. Tapi sejak beliau meninggal, saya tak tahu lagi kabar anak saya tersebut. Selain itu, ini adalah tahun terakhir Najwa berada di sekolah yang bisa saya akses. Setelah ini, ia akan dipindahkan ke sekolah dimana pihak sana memiliki kontrol penuh sehingga saya tak lagi bisa melihatnya. Sehingga saat saya berpamitan kembali ke New Zealand, itu adalah saat paling menyakitkan karena saya dan Najwa tahu bahwa kami tak akan bisa bertemu lagi (secara hitungan manusia). Tapi saya masih terus berdoa, suatu saat, takdir perpisahan dengan anak ini akan berakhir dan kami akan dikumpulkan kembali. Sesungguhnya saya sudah ikhlas akan takdir ini, tapi tetap saja, saat dimana seorang ibu harus meninggalkan anaknya dan tahu ia tak akan bisa melihatnya lagi, itu sangat-sangat menyakitan.

Anyway, ini sesungguhnya hanya another battle. Satu pertempuran lagi yang harus saya perjuangkan dengan sedikit materi dan kekuatan yang saya punya. Sama seperti pertempuran saat saya tak punya uang di Auckland, atau saat saya me lobby imigrasi New Zealand untuk perubahan visa, atau saat saya berjuang di India, atau saat gaji saya dipotong di Indonesia. Ini hanya another battle, dan yang harus saya lakukan adalah BERUSAHA. Saya tak tahu hasilnya, akankah saya menang menebus harga diri saya di tengah kelicinan birokrasi dan sistem amplop dan keroyokan keluarga besarnya? Akankah saya mampu melewati gemuruh badai kesedihan yang sebentar lagi akan saya alami itu? Saya tak tahu hasilnya. Dan jujur saya merasa seperti seorang wanita sendiri menghadapi barisan keroyokan di hadapan sana. Yah, mungkin kegalauan ini sedikit menggentarkan iman dan tawakkal saya. Yang harus saya dekati saat ini adalah Ia, yang Maha Kuasa, yang Maha Bersiasat, yang Maha Menggenggam segala urusan. Dan saya tak perlu gentar tak punya backing an, saya hanya perlu minta back up dengan Allah SWT dengan segala kebaikan rencana-Nya. Itu cukup.

This is just another battle, Nurul. And all you have to do is TRY. Trust Allah, and everything will be fine. Let’s do this. It is time. Time to go home, time to face reality, time to try, and maybe you will get one thing. WIN. 

Auckland, 22 Oktober 2017

-NK-

Monday, 2 October 2017

New Zealand, New Hope, New Land: A List of Gratefulness

Hi there,

Pagi ini tia-tiba saja saya ingin menulis setelah sekian lama blog ini vakum tanpa new posts. well, sebenarnya sih lebih karena tidak ada kerjaan hehe. Saya akan supervision meeting hari ini sehingga ambil off day di kampus.

What would I write? Ammm, kayaknya sih lebih ke peaceful life. Saat ini hidup saya benar-benar damai. Well, sejak dulu juga saya selalu berhasil merasakan kedamaian meski pontang panting bekerja menghidupi diri di Samarinda. Tapi kali ini semuanya benar-benar Dicukupi oleh Allah SWT. What are they? Here are the list of my gratefulness.

1. Life
Ini list pertama yang saya syukuri. Hidup benar-benar up and down buat saya, ya dari pecah rumah tangga, lalu kena badai finansial, lalu kena depresi dan sekarang sedang berjuang untuk menyelesaikan PhD di Auckland ini. Tapi saat ini saya benar-benar merasakan bahwa hidup sedang cruising. Kapal saya sedang berlayar di laut tenang. Yeah saya tahu beberapa minggu ke depan saya akan menghadapi dua hal besar di Samarinda, tapi setidaknya saat ini saya sedang menikmati laut biru tenang meski saya tahu badai mungkin sedang menghadang di depan sana. Tapi ya nikmati saja dulu yg sekarang, badai nanti dihadapi saat sdh di hadapan saja hehe. Saat ini PhD saya sudah selangkah lebih maju-saya sudah di tahap data collection dan sudah melulusi tahun pertama saya di University of Auckland, alhamdulillah. Meski agak terlambat, setidaknya kemungkinan akan gagal PhD ini jauh lebih kecil dibanding saat saya di sains. Alhamdulillah, saya benar-benar merasakan kedamaian hidup saat ini. Saya punya waktu belajar, beribadah, jalan-jalan, shopping, semuanya tercukupi. Luar biasa rasa syukur saya pada Allah SWT.

2. Health
Yak kesehatan itu penting sekali, apalagi saya pernah kena penyakit perut yang luar biasa menyiksa sepanjang 2006-2011. Yah sekali sekali saya kena demam atau agak pusing sebagai bagian dari depresi saya yang (masih mungkin) muncul, tapi selalu saya tackle dengan olahraga dan alhamdulillah itu lumayan berhasil. Saya juga mulai hidup lebih sehat, menghindari minyak, gula dan banyak minum air putih. I think that is a good investment untuk selalu berusaha hidup sehat. Penyakit jauh, berat badan terkontrol dan kita bisa tetap menikmati hidup yang indah ini. Just my opinion though.

3. Love
Yup, ini adalah hal lain yang snagat saya syukuri dalam hidup saya. I am not a clingy woman yang maunya dimanjakan terus and I know I can live by myself. Tapi tetap sangat menyenangkan memiliki seseorang yang selalu bersama kita plus jika ia begitu memanjakan dan menyayangi. Yes, si kiwi man ini benar-benar luar biasa dalam mencintai wanita. Dan I am honored bahwa wanitanya kali ini adalah saya. Imagine, setiap kali ia tiba di pekerjaan ia akan SMS "one minute early today darling, have a good day at your work I love you". Lengkap dengan emoticon smile, love nya hehe. Lalu saat makan siang, ia akan SMS lagi "how is your day Darling?". Atau kadang telpon. Lalu sore hari ia akan SMS lagi, terusss sepanjang hari ia menemani. On weekend ia akan mengajak jalan-jalan atau shopping segala hal yang saya perlukan. So, bagaimana hidup tak terasa damai jika partner yang dimiliki sebegitu setia, tanggung jawab, penuh kasih sayang seperti dirinya? Apalagi jika ia mau bertahan untuk wanita rumit seperti saya ini. Wah, itu sungguh luar biasa ajaib menurut saya. Yeah, jika Anda bilang of course ia bertahan untuk saya karena ia yang sudah menginjak usia 51 tahun sedang saya masih 37 ini, betul, maybe that is one of the factors. Tapi jangan lupa, wanita mah bukan saya saja hehe. Ia bisa saja berpasangan dengan a kiwi woman yang sepantaran dengannya, atau yang muda dan ingin dimanjakan bule juga banyak laaah tak cuma saya saja hehe. So, seburuk apapun anggapan orang pada gap usia kami, yang jelas I am happy. That is enough.

4. Study
Seperti saya sebut di atas, study saya di education ini juga berjalan lancar alhamdulillah. Meski sempat terseok seok di sains, akhirnya saya berhasil memindahkan jurusan PhD ini ke education dan bahkan mendapat banyak opportunity. Well, seperti saya bilang, tidak ada hal yang sia-sia dan smeua pasti ada hikmahNya. Meski saya tidak lagi di jurusan yang sulitnya tingkat dewa, tapi setidaknya saya punya waktu buat have a life. Itu pun saya masih berjuang baca banyak artikel, mengakrabkan diri dengan penelitian kualitatif yang tentu juga tak mudah adanya. Tapi alhamdulillah, ethics saya lulus, seminar proposal lulus hingga kini saya bisa merencanakan data collection saya. Semua berjalan lancar. Alhamdulillah.

5. Work
Saya juga sangat bersyukur pekerjaan saya sangat lancar di Auckland. Tiga bulan lalu saya dikontrak universitas dan ditantang mengerjakan pekerjaan baru di timetabling. Ini pekerjaan super teliti karena kami berurusan dengan banyak data dan harus memikirkan banyak hal saat mendesain jadwal untuk seluruh anak master dan undergrad. Saya jadi tambah pengalaman dan tentunya, SKILL. Saat ini saya bahkan sudah pede untuk nge ganti staff, nge cek ruangan, mendesain seberapa yang diperlukan untuk satu course, intinya sudah akrab dengan timetabling job. Dan ini bikin kualitas diri saya tambah lagi. Sekarang saya tak hanya dipanggil di reception, di student center tapi juga sangat diperlukan di timetable. Dan punya tiga skill di tiga tempat bekerja itu sangat fruitful. Minggu ini saja saya diminta bekerja di student center, timetable dan assignment center. Yang saya kira Oktober akan adem ayem saja sambil menunggu tiket pulang, tapi ternyata rejeki Allah luar biasa. Tabungan SPP saya untuk tahun terkahir PhD yang tidak di support lagi oleh beasiswa sudah fix, saya hanya tinggal memikirkan bagaimana bisa survive dengan living cost saat itu. Tapi seperti prinsip saya, nikmati saja dulu laut biru ini. Perkara di depan ada badai, nanti pada saatnya baru kita alert dan panik. Sekarang mah nikmati saja dulu ketenangan ini hehe.

So, siklus hidup di Auckland itu sekarang berkisar pada: bangun pagi, baca amalan subuh dan baca quran, siap-siap kerja, bekerja hingga jam 5, jam 5 pulang sambil di bis baca Quran lagi, tiba di apartment masak, nonton TV, belajar, tidur. Itu jadwal weekdays. Weekend akan ada undangan dinner atau shopping date atau movie date. Sambil tiap hari si kiwi terus mengirimkan SMS manis. Atau dibahagiakan dengan shopping barang yang diinginkan. Atau makan *smile*.

Saya ingat 5 tahun lalu, saya merasa seperti sedang berenang di samudera luas setelah saya kehilangan segalanya. Lalu saya berhasil membangun sebuah rakit, lalu saat ini saya merasa saya sudah berada di sebuah kapal layar (belum kapal pesiar hehe), tapi hidup sudah jauh sangat membaik ketimbang 5 tahun lalu saat semua hancur tak bersisa. Setidaknya saya tidak berenang sendiri lagi di tengah lautan luas, setidaknya saya tidak berada di atas rakit mini lagi, setidaknya saya sudah berada di atas kapal layar dengan kemampuan nakhoda yang sudah mumpuni dibanding 5 tahun lalu. Dan saat ini my ship is cruising. Sedang berlayar di laut biru tenang. Jika 2 tahun lalu saya menyebut New Zealand sebagai New Hope, New Land, itu benar adanya. Karena sepertinya negara ini akan menjadi tanah baru bagi pelabuhan kapal saya. Setelah puas mengarungi samudera hidup ini seorang diri, maka tawaran seorang lelaki kiwi untuk berlabuh di New Zealand sebagai A New Hope, New Land, memang bisa dipertimbangkan. Jika saat itu saya menyebut New Zealand sebagai A New Hope, New Land sebagai penyemangat untuk memulai perjalanan akademik baru setelah baru saja selesai di India, maka sepertinya apa yang saya sebut itu memang benar adanya. New Zealand adalah tanah baru bagi saya. For me, New Zealand could be My New Hope, New Land.

Have a blessed day, everyone.

Stay grateful. Teruslah bersyukur!

Best Regards,

-Nurul Kasyfita-

Friday, 19 May 2017

A WOMAN WITH VICTORY: BANGKIT, INI 20 MEI!


Masih gelap di Auckland saat ia mulai mengetik di tuts keyboardnya. Sambil menikmati sunrise yang muncul malu malu di ufuk timur sana, ia mulai menulis kalimat demi kalimat, menyalurkan hobby menulisnya.
Ia bersyukur. Ada banyak rahmat Allah yang dirasakannya sejak ia memilih hidup sendiri. Di kota besar ini, ia hidup di sebuah apartemen keren dari kampus, ia masih mampu bayar sewa, masih mampu menabung dan masih mampu menjalankan PhD dan pekerjaannya. Kadang ia tak percaya betapa kuatnya ia bekerja. Entah karena ia ingin kebal dari luka atau hanya karena ia memang gila kerja. Dan satu yang ia syukuri, ia tak gengsi dengan pekerjaan. Bukan hanya karena ia seorang dosen di negaranya, ia lalu pilih pilih hal apa yang ia hendak kerjakan. Ia juga menghargai proses. Ia tak suka langsung pakai shortcut, apalagi pakai koneksi sana sini, pakai backing an, diterima hanya karena ia kenal dengan pejabat A atau karena anaknya si B. No, ia lebih suka membangun dinasti dengan tangannya sendiri. Hingga saat ini pun, meski ia sudah punya seorang laki-laki yang menemani, ia tetap bekerja keras. Mengumpulkan dollar demi dollar untuk tuition fee PhDnya. Karena seperti yang ia pernah bilang ke laki-laki itu “this is my PhD and only MINE”. Ia tidak ingin di belakang nanti ada yang menyebut nyebut jasa karena sudah membantunya membayar SPP PhD nya. Nope, lebih baik bekerja keras, berhemat, agar bisa tetap menabung, mengumpulkan dana untuk PhDnya ketimbang di kemudian hari disebut-sebut.
Ia juga bersyukur ia tak hilang iman hingga saat ini. Meski ia sudah merantau ke beberapa negara dengan islam sebagai minoritas, ia tetap teguh dengan amalan subuh nya, amalan maghribnya, tetap khusyuk tengah malam saat orang lain lelap dalam tidurnya, tetap kasak kusuk shalat dhuha, shalat hajat, tetap kasak kusuk sholat 5 waktu diantara jadwal kerjanya. Dan tak pernah menyalahkan Allah atas takdir hidup yang menimpanya. Ia tak pernah hilang keyakinan bahwa Allah Maha Baik dan akan selalu Memberi yang terbaik untuk hamba-Nya. Dalam kondisi seperti dirinya yang selalu disalahkan lingkungan, sebenarnya mudah saja jika ingin hilang iman, buka jilbab, minum, atau nge drugs, hanya sekedar melepaskan luka dan mengkonfirmasi penghakiman lingkungan terhadapnya. Mudah kan, bilang aja pada lingkungan, YES I AM A BAD GIRL dengan brutally melakukan hal yang tak semestinya dilakukan mereka yang mengaku beriman.  Tapi NO, dimanapun ia berada, maghrib ia selalu sudah di rumah, aman, terhindar dari kriminal ataupun ancaman di luar sana.
Ia ingat saat dulu di kos ia tidur dengan pisau di bawah bantalnya. So jika ada pencuri mendobrak pintu kamarnya, ia siap mempertahankan dirinya. Ia juga (dulu) sering membawa larutaan asam yang ia simpan di botol parfum dan diselipkannya di kaos kaki. Jika ada apa apa di jalan, ia selalu bisa menyemprotan asam itu ke siapapun yang hendak membahayakannya. Akhirnya asam itu diambil oleh teman-temannya saat ia di sains dan diyakinkan bahwa ia aman di New Zealand. Hehe, nyengir sendiri ingat hal itu. Tapi itulah, ia harus realistis. Dunia ini bukan cerita negeri dongeng. Ada banyak orang yg suka ngibulin, suka memanfaatkan, orang-orang jahat yang tak segan menyakiti, belum termasuk mereka yang kejam, terlihat baik padahal menikam. Yeah, ia sudah biasa dengan IT’S A REAL WORLD itu. Dan ia selalu realistis dan siap akan segala kemungkinan. Waspada, jaga diri. Tidak ingin menyakiti orang lain tapi juga tak ingin disakiti.
Hari ini tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional di negaranya. Dan menandai hari ini, ia menulis beberapa momentum kebangkitannya. Ada banyak sekali momen dimana ia di knock out oleh hidup tapi ia selalu berusaha BANGKIT lagi. Ia tak patah semangat, meski sendiri saat itu. Bayangkan, di tahun 2012, hidupnya diporak porandakan oleh seorang laki-laki yang dulu ia cintai tapi kini jadi seteru abadi. Nama baiknya dihancurkan, kariernya dirusak, anaknya diambil, harta yang ia punya diambil tanpa jelas pembagiannya, buku-bukunya tak bisa ia ambil, bahkan ijazahnya hampir tak dikembalikan, intinya ya MENANG SENDIRI. Laki-laki itu telah membuat HIS OWN LAW tanpa pengadilan. Dan ia Cuma terhenyak betapa manusia bisa begitu kejamnya bagaimana pun ia telah mengabdikan dirinya. Saat ia tak lagi mau menuruti keinginannya, maka hanya luka dan tikaman yang akan diterimanya.
Yes ia hancur. Lebur saat itu. Ia menghilang ke India. Meski masih terus menerus bertanya kenapa ia Dibawa Allah kesana, ia tetap tawakkal. Tak pernah hilang keyakinan bahwa ini adalah yang terbaik. Dan ternyata negara itu telah mengajarinya BANYAK HAL. Ia belajar kuat, belajar negosiasi, untuk pertama kalinya ia merasa I AM PRETTY, ia masih ingat saat pertama kali mencoba jeans saat seorang kawan dari Rwanda membawanya shoping di mall, ia menjerit “Jeanette, my legs are shown”. Lalu si Rwanda itu bertanya “Shown where? It is fully covered!”. Hehe maksudnya adalah ia kaget betapa ketatnya jeans itu membalut betisnya dan ia merasa seperti “telanjang” saja. Namun Jeanette menjelaskan memang begitu perempuan pakai jeans. Dan sejak itu, ia tahu rasanya belanja ke mall, memilih baju yang pas dan bahagia. Ia punya 2 jeans pertamanya setelah bertahun-tahun dilarang laki-laki masa lalu itu. Ia berpikir “this is not bad. I feel free and pretty”.
Sejak itu ia tahu apa itu SHOPPING. Sesuatu yang dulu tertahan karena memikirkan anak, memikirkan ingin membantu suami, mengumpulkan rupiah demi rupiah meski tak pernah dihargai. Dulu ia membuat kebahagian orang lain sebagai prioritasnya dan berharap orang itu akan ingat jasanya dan baik padanya. Naif, yeah. Sejak kehancuran hidupnya, ia membuat kebahagiaan dirinya sebagai PRIORITAS. Ia belajar jika ia tidak happy bagaimana ia bisa membahagiakan orang lain. Dan di India lah ia mengenggam kekuatan demi kekuatan menghadapi tantangan selanjutnya.
Kembali ke tanah air, ia dihadapkan dengan pemotongan gaji. Lalu ia mulai kasak kusuk mencari job tambahan. Ia masih ingat saat ia datang ke salah satu unit di tempat kerjanya. Ia mengikuti seluruh rangkaian tes, menulis CV, ikut interview. Saat itu ia bahkan berkata pada pimpinan unit tersebut, “berilah saya pekerjan Pak, meski Cuma gulung kabel, yang penting ada tambahan buat saya bayar kos”. Dan mereka sih berjanji melibatkannya. Dan ia masih naif mengira bahwa mungkin karena dulu gelarnya, mungkin dulu karena penyakitnya, mungkin dulu karena ia berkeluarga, sehingga ia tak diberi job. Tapi ternyata bukan itu. Ya kalau memang gak diberi job ya gak diberi job aja meski ia mampu. Supervisornya di NZ sini selalu berkata “there are many people in this world that are too afraid to give somebody a chance because they know she is powerful and will beat them someday. But don’t worry dear, a diamond will always shine”.
Dan akhirnya ia berakhir bekerja di sebuah kursus terbesar di kotanya. Mereka yang menghargai kinerjanya. Bahkan membayar dengan harga pantas. Ia akhirnya bertemu banyak orang. Ia punya akses internet tanpa batas dan mulai menyusun rencana PhDnya. Ia bertemu Jon dan tiba-tiba ia Dibawa ke NZ. Negara dimana ia mengetik ini saat ini. Ia bahkan tak menyangka rencana PhD nya bisa terwujud begitu cepat dan mulus padahal ada banyak rintangan yang harus ia lalui. Dan hari ini, ia berterima kasih pada dirinya sendiri atas semangat pantang menyerah itu. Atas keyakinan kuat itu, atas semangat kerja keras dan tidak gengsi itu.
Ia selalu yakin bahwa jika Allah hendak Mengangkat derajat seseorang, bagaimana pun seluruh dunia hendak menjatuhkannya, tetap ia akan terangkat. Begitu pula jika Allah hendak Menjatuhkan seseorang, bagaimana pun dunia mendukungnya, pasti jatuh juga. Dan ia hanya ingat saat ia memelas minta pekerjaan dulu. Ia bahkan bilang ia siap bekerja apa saja, tapi tetap tak diberi kesempatan. Padahal jika diberi kesempatan, ia insya Alah bisa. Ia hanya pelu waktu sedikit belajar, dan terbiasa dengan pekerjaan. Ia juga ingat saat saat tak punya uang, tak punya dapur, dan harus puas dengan bakso 5,000 rupah itu. Belum lagi kadang ia makan tempe 5,000 agar ia bisa dapat lalapan tempe plus sambal. Nasi ia masak sendiri. Kadang ia pulang mengajar, banyak warung yg sudah tutup dan ia bawa saja tidur perut kosong setelah puasa seharian itu. Toh ini Cuma 24 jam, esok pasti lebih baik. Selalu itu yang ada di pikirannya. So ia tak pernah risau, apalagi menangis. Ia menangis justru saat semua kondisi membaik. Ia menangis bukan saat terjatuh, tapi saat berhasil bangkit. Dan satu lagi, ia pantang mengeluh. Menurutnya, masalah itu DISELESAIKAN bukan DIBICARAKAN. So, sejak ia memilih sendiri, ia tak pernah lagi membagi deritanya. Ia memilih menutup rapat apapun yg sedang dihadapinya lalu hanya bercerita saat ia sudah bangkit saja. Hey, the world doesn’t like si cengeng. Percayalah, saat kita share problem itu, 80% yang mendengar itu tidak perduli, sementara 20% sisanya senang saat kita ada problem. This is a real world, bukan dunia cinderella.  Dan the difference between drama queen and real queen is: while drama queen is busy TALKING about her problems, real queen is busy SOLVING them. Itu prinsipnya.

Dan video ini mungkin bisa sedikit menggambarkan betapa warriornya dirinya. Pantang menyerah. Pantang menangis saat kesulitan datang, menangis saat sudah menang saja, pantang meratap dan selalu berusaha mengatasi apapun yang terjadi. Video yang pantas menggambarkan betapa kerasnya hidup yang ia lihat saat ia di India telah begitu mendewasakannya dan membuatnya tumbuh menjadi tidak cengeng, menadi warrior yang siap berjuang untuk hidupnya. Ia terbiasa melihat orang-orang kejam, biasa ditinggalkan mereka yang mengaku kawan, bisa dicueki orang-orang yang mengaku perduli. Yes, ia sudah biasa dengan kekejaman dunia dan tak lagi meratapinya. Baginya semua itu hanya sekedar lewat saja, ia tetap dengan perjuangannya. 


Ia juga ingat di tahun 2012 itu bajunya hanya beberapa lembar saja yang berhasil dibawa dari kekisruhan rumah tangga yang tak lagi aman itu. Ia tak bersedih mengingat ada banyak baju dan harta bendanya yang tertinggal di rumah itu. Mungkin jika pun ia menangis, itu hanya untuk buku-bukunya yang entah dimana saat ini. Buku-buku farmasinya, doraemon kesukaannya yang ia beli sejak ia  belum menikah, buku Merck Indexnya hadiah dari sahabatnya di Amerika, buku Hembing hadiah abahnya, buku bahasa Inggris yang membantunya mengajar, entah dimana semua itu saat ini. Hanya buku, yang membuatnya menangis. Bukan uang. Terserah uang mau diambil seberapa pun, ia tak terlalu perduli. Ia hanya ingin safe, selamat. Bahkan ia hampir tak berhasil mengambil ijazahnya dan harus kasak kusuk ke kantor polisi buat surat hilang dan bikin ijazah baru hanya untuk menghindari kekejaman laki-laki itu. Yeah, itulah pengadilan tanpa pengadilan. Saat manusia lain bisa semena mena menghukum manusia lain. Adil? TIDAK, tentu saja. Tapi apakah ia akan terus berusaha berkutat dengan orang yang tak lagi mau mendengarkan dan hanya berniat menyakiti? Bodoh sekali jika selalu diam saat disakiti. Lebih baik menghindar, cari jalan yang lebih baik. Dan itu yang diputuskannya. Saat ia memilih detach dengan kebendaan dan berusaha sendiri dengan kekuatan wanitanya. Tapi lihatlah saat ini. Ia bangkit. Bajunya hendak yang mana, ia tinggal buka lemari. Itu pun masih banyak yang ada labelnya karena ia belum sempat memakainya. Meski buku bukunya tak lagi sama dan masih tak sebanyak dulu karena ia selalu berpindah pindah tapi setidaknya kini ia sudah punya buku. Alhamdulillah.
Lalu ia kolaps lagi di sains. Dan akhirnya jatuh dalam depresi. Ia merasa melayang-layang, pusing, tak nafsu makan, tak bisa bangun, selalu merasa lelah. Ia tak bisa tidur hingga diberi sleeping pill. Lalu paginya ia harus minum anti depressan. Lalu ia pusing mengurus kepindahannya ke education, belum lagi tuntutan uang SPP yang harus ditanggung sendiri akibat keputusan ini. Tapi hari ini, ia menulis dengan syukur. Ia bahagia ia dipercaya banyak pihak di education. PhDnya jauh lebih baik di education ketimbang di sains, dan sekali lagi ia BANGKIT dari keterpurukannya. Ia sekarang bukan hanya mahasiswa PhD yang siap proposal di jurusan rangking 20 top dunia, tapi juga baru diangkat sebagai staff di divisi lain di Universitas terbesar di New Zealand ini. Ia masih tak percaya hingga pagi ini.
Bangkit, ini 20 Mei. Siapapun Anda. Mau yang baru patah hati, kehilangan pekerjaan, sakit, kehilangan sahabat, anak atau siapapun itu, BANGKIT! Jangan biasakan meratap pada dunia, itu tidak menyelesaikan masalah. Start solving your problem, stop talking about it. Karena 80% orang yang mendengar masalah Anda tidak perduli, 20% sisanya senang Anda dalam kesulitan. Tak perlu lah dunia melihat saat Anda terpuruk, cukup tunjukkan saat Anda menggenggam victory. Kemenangan. Menang karena tak jadi pribadi cengeng dan suka meratap, menang karena berhasil menyelesaikan masalah, menang karena tetap mengandalkan Tuhan dalam setiap keadaan. Stop playing sebagai KORBAN TAKDIR, tapi jadilah ACTOR OF CHANGE of your own life. Karena percayalah, tak ada yang lebih manis dari kesuksesan yang dibangun dengan usaha sendiri, tanpa short cut, tanpa nepotisme, tanpa kolusi, fair play, itu kesuksesan yang MANIS. Dan bangkit dari keterpurukan itu jauh lebih gemilang dari apapun di dunia. Musuh Anda bisa saja menikam dari belakang, menghancurkan Anda dengan berbagai cara, tapi Anda juga punya PILHAN untuk stay as a loser atau berusaha jadi pemenang. Yeah, pemenang kehidupan. Dan meski Anda wanita, yang mungkin dianggap lemah, believe me, a woman with victory is SEXY. Yes, Sexy!
Selamat hari Kebangkitan Nasional.

Bangkit and be a woman, with VICTORY!

Auckland, 20 Mei 2017
-NK-