Friday 23 March 2018

How about A Cinderella Story, Najwa?

Dear Najwa.

Let me read you a Cinderella story.

Back in 2005, hiduplah seorang perempuan. Ia penakut, punya mimpi besar, tapi tak pernah punya cukup kepercayaan diri untuk mewujudkannya. Ia sering sakit, ia sadar dirinya jelek dan tidak menarik, gendut, hitam, intinya ia menganggap dirinya tidak pantas berharap besar. Di Agustus 2005, ia memilih menikah dengan seorang laki-laki sederhana. Padahal saat itu, lamarannya ke sebuah universitas di Amerika sudah lulus. Ia berkorban untuk lelaki itu, karena ia pikir semoga nanti setelah menikah, ia bisa sekolah lagi. Si lelaki bahkan tak mau memundurkan tanggal pernikahan demi menunggu kawan baik si perempuan dari Amerika, padahal itu sangat berarti baginya. Ia mengalah. Ia menurut. Dengan harapan ia akan mendapat kasih sayang, cinta, penghargaan, atas seluruh pengorbanannya.

Ternyata tidak. Ia banyak sekali kecewa, menangis, tersakiti, hingga akhirnya ia pergi. Si lelaki marah dan merebut semua yang ia punya, termasuk putri kecilnya, yg sekarang mungkin sedang membaca tulisan ini. Perempuan itu awalnya penakut, sering sakit, tidak percaya diri, apalagi habis melahirkan putri kecilnya, ia sering sakit perut. Lalu tiba tiba ia kehilangan semuanya. Bahkan untuk mengambil ijazah sekolahnya saja, ia harus berjuang.

Setelah itu, ia mengembara ke India. Ia sekolah menyelesaikan master keduanya. Sering ia menangis sendirian di India, ingat putri kecilnya yang tak lagi ia tahu kabarnya. Ia sempat masuk rumah sakit di India karena tidak bisa makan. Setiap kali ia memasak, ia ingat betapa putri kecilnya senang sekali dengan masakannya lalu ia mual dan muntah hingga tak ada satu pun makanan yang bisa masuk ke perutnya. Ia juga tak lagi bisa makan KFC, karena ingat putrinya selalu bilang "makan SIP" untuk istilah makan KFC yang mungkin menurut anak kecil itu LEZAT SEKALI. Ia juga tak bisa makan oseng hati ayam karena setiap kali memasak ia ingat anak kecil itu selalu bilang ini masakan "love" karena hati itu simbolnya love. Ia juga sering mengigau malam mendengar si anak kecil berteriak "MAAA SUDAAAH" sebagai tanda ia selesai buang air besar karena selalu si perempuan itu yg mencuci anak kecil itu sebagai bagian dari pengabdiannya di rumah. Lalu seringkali ia berlari ke wc di rumahnya di India dan saat menemukan wc itu kosong, ia menangis berjam jam di depannya, menangisi kenapa ia tak bisa lagi mendengar kabar anak kecil itu. Kau pasti tahu siapa anak kecil itu, Najwa.

Akhirnya ia sadar, jika ia terus tidak makan, ia akan mati dan sekolahnya tak pernah selesai. Ia dirawat orang orang yang ia kenal di India dan salah seorang wanita Muslim dari Yaman berkata padanya suatu hari. "Make dua, dua is the power of a Muslim" yang artinya "berdoa lah, doa itu kekuatan orang Muslim". Sejak saat itu, ia menjadikan DOA sebagai kekuatannya. Ia akhirnya lulus dan pulang ke tanah airnya.

Cobaan belum berakhir. Gajinya dipotong karena ia dinyatakan berhutang dengan negara. Ia kerja keras banting tulang menghidupi hidup sendirinya. Ia hidup sederhana di sebuah kamar kos di jalan Pramuka. Kadang ia kelaparan, kadang ia pulang kebanjiran, namun ia tetap ceria dengan hidupnya. Sesekali ia menemui anak kecil itu di sekolahnya. Meski harus memacu motornya kesana kemari di sela sela jadwal mencari nafkahnya. Ia sudah tak ingin berebut lagi dengan lelaki itu. Ia ikhlaskan semua barang barangnya yang tertinggal di rumah itu. Yang paling menyesakkan hingga saat ini adalah BUKU. Ia sedih sekali semua buku bukunya tidak terbawa dari rumah itu dan kini mungkin sudah entah dimana.

Dan ia berangkat ke New Zealand. Tiga minggu setelah tiba di NZ, ia bertemu seorang lelaki. Ketemunya juga lucu. Ia sudah hampir kehabisan uang dan cuma bisa memasak roti dengan telur saja karena uang beasiswanya belum tiba. Lalu ia berdoa minta ayam pada Allah SWT. Kamis sore ia memasak di dapur bersama dan bertemu seorang lelaki botak yang bertanya namanya. Ia tak pernah berharap apa apa dengan lelaki itu, karena ia tahu, susah baginya untuk percaya siapa siapa lagi. Ia hanya berniat satu hal di NZ: SEKOLAH.

Hidupnya di NZ bertambah baik. Ia dikontrak universitas tempat sekolahnya dengan bayaran tinggi. Kadang ia masih meneteskan air mata ingat bagaimana dulu di tanah air ia berusaha mencari kerjaan namun tidak berhasil dan ia akhirnya dapat pekerjaan di kursus bahasa inggris. Betapa perih dan susahnya hidupnya dulu.

Mungkin kita harus sedikit berhenti sejenak, Najwa, mari kita melihat bagaimana perubahan dirinya sejak tahn 2005 hingga sekarang, 2018. Foto kiri adalah ia saat masih penakut, masih tidak percaya diri dan kanan saat ia sudah tumbuh menjadi jauh lebih kuat, di New Zealand. Lihat bedanya anakku? Yang kiri, ia sering sedih, sering sakit hati, seringkali dikecewakan. Mungkin kau sempat melihat beberapa air matanya jatuh saat itu. Padahal ia tak meminta banyak dalam hidupnya, namun tetap, ia dikecewakan. Tapi lihatlah yang kanan, anakku. Ia berubah menjadi lebih ceria, lebih sehat, lebih bahagia, meski ia hampir tak punya apa apa. Ia juag terus menjadikan doa sebagai senjatanya. Dan ia benar-benar merasakan bahwa hanya DOA yang terus bisa menolong kita, dalam setiap keadaan. Just like Cinderella, ia berubah dari ia yang penakut menjdi ia yang penuh percaya diri.


Karena ini cerita Cinderella, maka harus ada juga pangerannya. Dan itu yang terjadi dua minggu ini, anakku. Sesuatu lebih besar terjadi pada dirinya dua minggu ini. Setelah berjuang cukup panjang, akhirnya si perempuan yang dulu penakut itu menikah dengan lelaki botak yang ia temui di dapur bersama 3 tahun yang lalu. Laki laki baik yang mau menunggunya, setia menemaninya dan berhasil menyembuhkan luka di hatinya. Ia didandani bak putri raja, dijemput dengan limousine lalu dibawa terbang dengan helikopter. Karena ini cerita Cinderella, maka ia juga harus punya sepatu yang cantik, tentu saja. Dan si lelaki pun memesankan ia sepatu jauuuh dari negeri Inggris sana. Ia pun tampil cantik di hari bahagianya. 

Ini foto Cinderella itu di depan Viaduct Harbor, tempat yang dulu fotonya ia lihat di ruang kelas di EF, tempatnya mengajar dulu. Dulu di tahun 2014, ia mengusap foto ini di kursus tempatnya mengajar, anakku. 4 tahun kemudian, ia berfoto di tempat yang sama. 

Hal yang harus diambil dari kisah ini, anakku, adalah bahwa setiap kita harus berjuang untuk kebahagiaan hidup kita. Kita tak bisa meletakkan kebahagiaan kita di pundak orang lain, itu tugas yang amat berat. Kita tidak tahu bagaimana hidup kita ke depan, tapi kita harus selalu berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan. Jika si wanita itu tidak berjuang hidup, jika ia tetap tidak mau makan saat di India, jika ia tetap bersedih, maka hidupnya juga akan begitu begitu saja. Tapi tidak, anakku, ia berjuang di luar negeri, pontang panting mengumpulkan dollar demi dollar, siang ia bekerja, malam ia belajar, begitu pun saat ia di tanah air, ia berjuang kerja pagi di kampus, lalu malam di kursus, supaya semuanya bisa tercukupi. Dan kini, hasil perjuangannya sudah mulai terlihat. Ia mendulang bahagia dalam hdupnya. Menjadi Cinderella itu tidak instan, Cinderella itu harus diperjuangkan. Tapi bukan berarti tidak mungkin. Kau juga akan jadi Cinderella suatu saat nanti. 

Tetaplah jadi orang baik, anakku, bagaimana pun hidup memperlakukan kita. Tetap jadi orang yang ramah, kuat, tidak suka menyakiti orang lain, tetap ceria, percaya dengan kuasa Allah dan jadikan doa sebagai senjata kita. 

Salam dari kami berdua di Auckland. Remember, you are always welcome to New Zealand. You have a family here. 

Be a Cinderella, anakku. Ubah kemalangan hidup menjadi kegemilangan. Doaku selalu untukmu. 

Auckland, 24 Maret 2018,

-ME-