Saturday 28 October 2017

To Define Where Home Is

This is just a writing because you are just too bored waiting for a flight. I just would like to write about home. Rumah. To be honest, sejak lima tahun lalu, saya tak tahu lagi definisi rumah itu dimana. Dulu saya di India, saat pulang ke Samarinda, I cried too, karena sudah kadung akrab dengan suasana di India, dua tahun saya tinggal disana. Padahal masih ingat awal saya data
ng ke negara itu, saya menangis di mobil yang membawa saya ke Mysore saat itu dan melihat betapa berbedanya makanan yang ada. Saya sempat bilang ke supir taksinya bahwa saya ingin pulang saja. That what happened in the beginning. Lalu saat saya meninggalkan kota itu di Juli 2014, saya juga menangis dan merasa mungkin itu rumah saya. But nope, Allah Takdirkan kembali dulu ke kamar kost yang saya diami di 2012.
Daaan episode selanjutnya berlangsung. I was there di kamar kos itu hingga September 2015. Cukup 14 bulan, Allah Takdirkan lagi saya pindah rumah. Tiba-tiba saya Dibawa lagi ke kota bernama Auckland, yang jauuuuhhh banget rasanya menurut saya. Just take a look, Auckland itu di North Island, negara New Zealand, yang bentuk negaranya kalau dilihat di peta cuma seuprit mirip pulau Jawa. Itu adalah negara terakhir yang berpenghuni sebelum Kutub Selatan, Antartika. Bayangkan, Allah Menjalankan saya dari negara nehi nehi ke negara Barat.
Awal saya datang, saya disambut udara dingin di bandara dan bertemu supir kiwi yang tinggi besar bertuliskan University of Auckland. Beliau membawa kertas bertuliskan nama saya saat itu hingga saya mengenali beliau sebagai yang ditugaskan universitas untuk menjemput saya. Waktu masih di dalam bangunan bandara, masih aman, lha pas keluar, alamak, itu dingin serasa nusuk ke tulang. Saya masuk lagi ke bangunan bandara sambil menangis lalu bilang “NOOOOO, I WANT TO GO HOME”. Lalu si supir itu tertawa terkekeh melihat saya. Mungkin karena sudah biasa melihat orang yang baru datang ke New Zealand, lalu kedinginan seperti biasa. Lalu dingin itu bikin perut saya dangdutan lalu saya pamit lagi ke beliau minta ke WC. Do you know what, tas saya sengaja dimasukkan beliau ke dalam mobil agar saya tidak “lari” hehehe. Lalu dengan sabarnya beliau membujuk saya agar mamu keluar dari bandara dan masuk ke mobil bertuliskan University of Auckland itu. Dan masuklah saya dengan sesenggukan menangis. Beliau tertawa sambil berkata “don’t worry, you will find a good man here and make New Zealand as your home”. BERCANDA. Itu ucapan saya saat itu sambil bilang “I want a muslim man, and what is the chance of meeting a muslim man here, in this western country?”. Beliau Cuma mengangkat bahu sambil tetap bilang “well, you’ll never know”. Sambil menitipkan saya ke Greg, lelaki tua penjaga hostel Rocklands.
Dan well, saya kira Auckland tak akan pernah menjadi rumah saya. But after two years, segala yang awalnya asing, segala yang awalnya tidak ramah, segala yang tadinya tak terasa rumah terasa sebagai rumah. Dan ow well, saya berurai air mata meninggalkan Auckland hari ini. That crucial moment saat saya berbalik meninggalkan ia yang saya cintai di belakang saya. Perih itu terasa lagi. The beauty saat hati kita terbelah karena rumah kita ada di dua tempat. I never thought New Zealand akan terasa seperti rumah untuk saya. Apalagi di awal-awal, saat saya di bully di sains itu wah sudah gak pingin pokoknya hehe. Tapi sekarang dengan saya bekerja di Auckland, diterima dengan sangat baik disana, hehe, Auckland pun mulai terasa rumah.
Anyway, cukup sebentar saja saya menangis, saya harus segara berbenah memikirkan barang bawaan saya. Memikirkan gate imigrasi yang harus saya lewati dan saya menyudahi tangisan saya hanya beberapa bulir saja. Hidup harus terus berjalan. Data untuk riset saya harus diambil di Indonesia dan PhD ini harus diselesaikan. Urusan yang sudah lama tertunda harus diselesaikan dan langkah harus diteruskan ke masa depan. I don’t come to Indonesia without a purpose. I have a huge purpose there.
Dan itulah sekelumit perjalanan mendefinisikan rumah. And for me, rumah saya bukan yang berbentuk bangunan. Rumah saya adalah dimana hati saya bahagia, dimana saya diterima dengan baik, dimana saya dianggap berarti dan tidak dianggap lebih rendah. Tempat dimana kinerja saya dihargai, tempat dimana saya tidak dibedakan hanya karena latar belakang hidup. Mungkin saja saya akan menajdikan New Zealand sebagai rumah saya, karena saat ini saya sudah berencana membangun masa depan dengan lelaki asli Auckland (well, si supir benar, I do find a good muslim in Auckland hehe). Atau mungkin saja rumah saya tidak ter definisi karena saya akan selalu berpindah, menemukan orang baru, tempat baru lalu mewarnai hari mereka dengan keunikan saya. Saya masih ingin post doktoral lagi hehe. Dan itu belum pasti dimana. So, rumah saya mungkin saja tak akan terdefinisi, tapi hanya dimana saya merasa nyaman. Yeah, mungkin saja. I will never know. 

Sydney, 29 Oktober 2017,

-NK-


Saturday 21 October 2017

Let's do this!

Let’s Do This

As usual, in whatever keadaan di hidup saya, I choose to write. Mungkin hanya sekedar melepas ketegangan urat syaraf, atau sebagai penanda jika suatu saat di masa depan saya menengok kembali masa lalu dan menemukan tulisan ini. And I really love writing sehingga apapun yang saya tuangkan cukup powerful untuk dibaca kembali suatu saat nanti, jika saya sudah dalam keadaan yang lebih baik. Ada banyak bukti bahwa tulisan saya cukup kuat untuk dijadikan deposit kekuatan-sesuatu yang pantas dibaca di saat lemah hingga bisa menumbuhkan semangat kembali. Well, after all, saya hanya seorang wanita yang berjuang sendiri di tengah ketidakadilan dan kekejaman seorang laki-laki beserta seluruh keluarganya.

Anyway, mungkin banyak yang bingung kenapa saya se gugup ini padahal ada banyak urusan di luar negeri yang telah saya tuntaskan dengan skill negosiasi dan pendekatan ala saya. Kenapa Cuma urusan di dalam negeri begini saya gentar? Here are beberapa faktor yang membuat mengapa urusan di dalam negeri itu selalu “licin” menurut saya. Here are the sadness factors yang harus saya siapkan untuk hadapi beberapa hari ke depan

  1. Birokrasi. Yup, ini adalah hal konyol yang harus saya hadapi. Kadang ada saja aturan yang sudah nyata tapi bisa dibelokkan kemana mana. Perlu diketahui yang saya hadapi adalah seorang laki-laki beserta seluruh keluarga besarnya yang tersebar di berbagai urat birokrasi. Mereka yang berani keroyokan tanpa tahu masalah dengan embel-embel “itu keluarga saya” lalu ikut menghakimi atau bahkan mempersulit. Itu urusan yang harus saya hadapi. Berhadapan dengan sistem yang kelabu dengan kalimat “itu keluarga saya” inilah yang membuat skill negosiasi saya yang biasanya tajam di luar negeri dimana keadilan jelas, kadang bisa tumpul di negara sendiri. Believe me, saya sudah mengalaminya sejak tahun 2012, kesulitan demi kesulitan diciptakan untuk menghadang saya, demi satu tujuan: mempersulit saya. Itu saja. Dan jika hanya ia seorang yang harus saya hadapi, mungkin kekuatan wanita saya masih cukup untuk itu, tapi yang saya hadapi adalah sekali lagi, keluarga besar yang berada di berbagai urat birokrasi. Now you know, peperangan seperti apa yang ada di hadapan sana dan mengapa saya sedikit gentar di pertempuran ini.
  2.  Materialistik: saya harus sadar bahwa apa yang saya hadapi selain kelicinan birokrasi juga adalah materialisme, sistem dimana jika uang Anda banyak, maka Anda akan dihormati. That also frustrates me, karena saya telah banyak menemui di luar negeri bahwa apa yang saya urus bisa jalan meski tanpa uang. Tapi di hadapan sana, saya sudah tahu akan ada banyak pihak yang menadahkan tangan mereka pada saya yang hampir tak punya apa-apa ini demi memuluskan urusan yang sebenarnya job desc mereka.  Mestinya tak perlu semahal itu, tapi dengan kesulitan yang saya hadapi mereka akan meningkatkan harga agar kesulitan itu bisa terlewati. Dan meski saya muak dengan sistem itu, sepertinya tak ada jalan lain kecuali playing along dengan amplop untuk sementara ini. Itu sebabnya saya bilang “be ready, mentally, financially”. Karena truly, yang saya hadapi bukan hanya kelicinan birokrasi tapi juga manusia-manusia yang ingin uang. Dan the power of amplop akan kembali masuk arena. Saya sudah bekerja keras untuk itu. Saya bekerja keras untuk membeli harga diri saya. Saya tidak meminta dengan orang lain, bahkan tidak pada ia yang ingin membangun hidup dengan saya. This is my battle, saya akan beli harga diri itu dengan keringat saya. Tapi tentu saja saya bukan wanita kaya dan kemampuan amplop saya tak setebal orang lain dan jika bisa dituntaskan dengan biaya seminimal mungkin, maka itu yang akan saya pilih. But saya sadar bahwa permainan di arena itu bisa saja sangat rumit hingga menimbulkan excess biaya. Saya sudah siapkan hal ini, semoga dollar demi dollar yang saya kumpulkan dari bekerja di Auckland sini, cukup untuk menebus harga diri itu, dan melolosi kelicinan birokrasi. Amin.
  3. Penghakiman: contoh, saya ke sekolah untuk bertemu anak saya di sela istirahat. Akan ada ibu-ibu yang merasa mereka jauh lebih baik dari saya karena hidupnya lebih baik dan acceptable di mata masyarakat, mereka itu akan apply kekejaman pada saya. Believe me, hal ini sudah terjadi sejak 2014. Saat mereka memandang saya dengan mata sinis, kadang ada yang sengaja meludah di hadapan saya, atau berkata menyindir “kalau aku ya anak laki tu pang yang utama, lain karir pang. Karir tu seberapa handak dikejar kada cukup”, sambil cekikikan khas para wanita yang bergosip. Mereka itu akan menimbulkan cekikan di kerongkongan saya meski se tuli apapun saya pada ke nyinyiran mereka. I think untuk ini meski tidak signifikan, saya akan hadapi dengan diam khas ala saya. I will put my sunglassess, melihat mereka sebagai “ammm, who are you?” sambil berlalu pergi. Toh mereka tak tahu apa yang saya hadapi di pernikahan itu. Mereka tak tahu perjuangan saya. Mereka hanya ibu-ibu yang melihat dunia dari satu sisi lalu menghakimi siapapun yang bebeda dengan mereka. Yeah, mereka tak signifikan, tapi tetap saat telinga saya mendengar atau mata saya melihat, itu tetap menyakiti saya. No one can deny that.
  4.  Najwa: yak, ia juga sumber kesedihan saya. Sedih karena saat saya melihatnya, ia tak lagi tumbuh seperti yang saya harapkan. Kadang ia kelaparan, tak punya uang, diremehkan kawan-kawannya, karena dianggap ia seorang anak kecil miskin, jelek, dan keluarganya hancur. Dan seandainya pihak seberang itu mau mendengarkan, maka ia tak perlu jadi korban yang sangat menderita. Bayangkan saja, setiap barang yang diberi oleh ibu saya atau saya akan langsung dibuang oleh pihak sana, meskipun Najwa menyenangi barang tersebut. So, yang ia lakukan adalah biasanya ia meminta saya membawakan makanan saja, agar aman di dalam perutnya. Can you imagine that? Saya bisa saja membawakan apapun dari New Zealand, tapi karena ia tak berani membawa pulang, maka hanya makanan yang bisa saya bawakan. You should know bahwa kami pernah menyembunyikan uang di sol sepatunya agar pihak sana tak menemukan uang pemberian saya tersebut. Atau ia pernah sangat gugup saat laki-laki itu datang dan saya sedang memberinya makan, lalu saya bersembunyi di masjid sekolah hanya agar apa? Agar tak terjadi keributan, karena laki-laki itu adalah orang yang tak sungkan berteriak, memaki, meski itu di depan umum, karena merasa “hak”nya saya ganggu. Ya, ia merasa Najwa adalah “hak” nya dan saya tak berhak lagi melihat anak saya. Dan jika Anda bertanya kenapa saya mengalah, kenapa saya pergi, itu karena saya tak ingin lagi ribut. Sudah cukup. Saya tak ingin lagi melihat anak saya gemetaran, atau ketakutan. Jadi saya yang pergi dan ia dengan lantang mengabarkan pada masyarakat bahwa saya ibu yang meninggalkan anaknya. I accept that, biarkan saja ia hendak menyebut saya apa, yang jelas saya menerima seluruh kekacauan hidup ini sebagai takdir Allah yang Maha Baik. Allah Maha Tahu bagaimana ibu saya membawakan makanan ke sekolah dan kadang diteriaki olehnya jika ia menemukan beliau. No one knows that, right? Yang masyarakat tahu, saya pergi sekolah, meninggalkan anak saya. That’s it. Kenapa Najwa menjadi sumber kesedihan saya? Ini adalah pertemuan pertama kami setelah 2 tahun say a tak melihatnya secara fisik. Saat ibu saya masih hidup, beliau yang membawakan kamera dan kami saling menyapa lewat facebook. Tapi sejak beliau meninggal, saya tak tahu lagi kabar anak saya tersebut. Selain itu, ini adalah tahun terakhir Najwa berada di sekolah yang bisa saya akses. Setelah ini, ia akan dipindahkan ke sekolah dimana pihak sana memiliki kontrol penuh sehingga saya tak lagi bisa melihatnya. Sehingga saat saya berpamitan kembali ke New Zealand, itu adalah saat paling menyakitkan karena saya dan Najwa tahu bahwa kami tak akan bisa bertemu lagi (secara hitungan manusia). Tapi saya masih terus berdoa, suatu saat, takdir perpisahan dengan anak ini akan berakhir dan kami akan dikumpulkan kembali. Sesungguhnya saya sudah ikhlas akan takdir ini, tapi tetap saja, saat dimana seorang ibu harus meninggalkan anaknya dan tahu ia tak akan bisa melihatnya lagi, itu sangat-sangat menyakitan.

Anyway, ini sesungguhnya hanya another battle. Satu pertempuran lagi yang harus saya perjuangkan dengan sedikit materi dan kekuatan yang saya punya. Sama seperti pertempuran saat saya tak punya uang di Auckland, atau saat saya me lobby imigrasi New Zealand untuk perubahan visa, atau saat saya berjuang di India, atau saat gaji saya dipotong di Indonesia. Ini hanya another battle, dan yang harus saya lakukan adalah BERUSAHA. Saya tak tahu hasilnya, akankah saya menang menebus harga diri saya di tengah kelicinan birokrasi dan sistem amplop dan keroyokan keluarga besarnya? Akankah saya mampu melewati gemuruh badai kesedihan yang sebentar lagi akan saya alami itu? Saya tak tahu hasilnya. Dan jujur saya merasa seperti seorang wanita sendiri menghadapi barisan keroyokan di hadapan sana. Yah, mungkin kegalauan ini sedikit menggentarkan iman dan tawakkal saya. Yang harus saya dekati saat ini adalah Ia, yang Maha Kuasa, yang Maha Bersiasat, yang Maha Menggenggam segala urusan. Dan saya tak perlu gentar tak punya backing an, saya hanya perlu minta back up dengan Allah SWT dengan segala kebaikan rencana-Nya. Itu cukup.

This is just another battle, Nurul. And all you have to do is TRY. Trust Allah, and everything will be fine. Let’s do this. It is time. Time to go home, time to face reality, time to try, and maybe you will get one thing. WIN. 

Auckland, 22 Oktober 2017

-NK-

Monday 2 October 2017

New Zealand, New Hope, New Land: A List of Gratefulness

Hi there,

Pagi ini tia-tiba saja saya ingin menulis setelah sekian lama blog ini vakum tanpa new posts. well, sebenarnya sih lebih karena tidak ada kerjaan hehe. Saya akan supervision meeting hari ini sehingga ambil off day di kampus.

What would I write? Ammm, kayaknya sih lebih ke peaceful life. Saat ini hidup saya benar-benar damai. Well, sejak dulu juga saya selalu berhasil merasakan kedamaian meski pontang panting bekerja menghidupi diri di Samarinda. Tapi kali ini semuanya benar-benar Dicukupi oleh Allah SWT. What are they? Here are the list of my gratefulness.

1. Life
Ini list pertama yang saya syukuri. Hidup benar-benar up and down buat saya, ya dari pecah rumah tangga, lalu kena badai finansial, lalu kena depresi dan sekarang sedang berjuang untuk menyelesaikan PhD di Auckland ini. Tapi saat ini saya benar-benar merasakan bahwa hidup sedang cruising. Kapal saya sedang berlayar di laut tenang. Yeah saya tahu beberapa minggu ke depan saya akan menghadapi dua hal besar di Samarinda, tapi setidaknya saat ini saya sedang menikmati laut biru tenang meski saya tahu badai mungkin sedang menghadang di depan sana. Tapi ya nikmati saja dulu yg sekarang, badai nanti dihadapi saat sdh di hadapan saja hehe. Saat ini PhD saya sudah selangkah lebih maju-saya sudah di tahap data collection dan sudah melulusi tahun pertama saya di University of Auckland, alhamdulillah. Meski agak terlambat, setidaknya kemungkinan akan gagal PhD ini jauh lebih kecil dibanding saat saya di sains. Alhamdulillah, saya benar-benar merasakan kedamaian hidup saat ini. Saya punya waktu belajar, beribadah, jalan-jalan, shopping, semuanya tercukupi. Luar biasa rasa syukur saya pada Allah SWT.

2. Health
Yak kesehatan itu penting sekali, apalagi saya pernah kena penyakit perut yang luar biasa menyiksa sepanjang 2006-2011. Yah sekali sekali saya kena demam atau agak pusing sebagai bagian dari depresi saya yang (masih mungkin) muncul, tapi selalu saya tackle dengan olahraga dan alhamdulillah itu lumayan berhasil. Saya juga mulai hidup lebih sehat, menghindari minyak, gula dan banyak minum air putih. I think that is a good investment untuk selalu berusaha hidup sehat. Penyakit jauh, berat badan terkontrol dan kita bisa tetap menikmati hidup yang indah ini. Just my opinion though.

3. Love
Yup, ini adalah hal lain yang snagat saya syukuri dalam hidup saya. I am not a clingy woman yang maunya dimanjakan terus and I know I can live by myself. Tapi tetap sangat menyenangkan memiliki seseorang yang selalu bersama kita plus jika ia begitu memanjakan dan menyayangi. Yes, si kiwi man ini benar-benar luar biasa dalam mencintai wanita. Dan I am honored bahwa wanitanya kali ini adalah saya. Imagine, setiap kali ia tiba di pekerjaan ia akan SMS "one minute early today darling, have a good day at your work I love you". Lengkap dengan emoticon smile, love nya hehe. Lalu saat makan siang, ia akan SMS lagi "how is your day Darling?". Atau kadang telpon. Lalu sore hari ia akan SMS lagi, terusss sepanjang hari ia menemani. On weekend ia akan mengajak jalan-jalan atau shopping segala hal yang saya perlukan. So, bagaimana hidup tak terasa damai jika partner yang dimiliki sebegitu setia, tanggung jawab, penuh kasih sayang seperti dirinya? Apalagi jika ia mau bertahan untuk wanita rumit seperti saya ini. Wah, itu sungguh luar biasa ajaib menurut saya. Yeah, jika Anda bilang of course ia bertahan untuk saya karena ia yang sudah menginjak usia 51 tahun sedang saya masih 37 ini, betul, maybe that is one of the factors. Tapi jangan lupa, wanita mah bukan saya saja hehe. Ia bisa saja berpasangan dengan a kiwi woman yang sepantaran dengannya, atau yang muda dan ingin dimanjakan bule juga banyak laaah tak cuma saya saja hehe. So, seburuk apapun anggapan orang pada gap usia kami, yang jelas I am happy. That is enough.

4. Study
Seperti saya sebut di atas, study saya di education ini juga berjalan lancar alhamdulillah. Meski sempat terseok seok di sains, akhirnya saya berhasil memindahkan jurusan PhD ini ke education dan bahkan mendapat banyak opportunity. Well, seperti saya bilang, tidak ada hal yang sia-sia dan smeua pasti ada hikmahNya. Meski saya tidak lagi di jurusan yang sulitnya tingkat dewa, tapi setidaknya saya punya waktu buat have a life. Itu pun saya masih berjuang baca banyak artikel, mengakrabkan diri dengan penelitian kualitatif yang tentu juga tak mudah adanya. Tapi alhamdulillah, ethics saya lulus, seminar proposal lulus hingga kini saya bisa merencanakan data collection saya. Semua berjalan lancar. Alhamdulillah.

5. Work
Saya juga sangat bersyukur pekerjaan saya sangat lancar di Auckland. Tiga bulan lalu saya dikontrak universitas dan ditantang mengerjakan pekerjaan baru di timetabling. Ini pekerjaan super teliti karena kami berurusan dengan banyak data dan harus memikirkan banyak hal saat mendesain jadwal untuk seluruh anak master dan undergrad. Saya jadi tambah pengalaman dan tentunya, SKILL. Saat ini saya bahkan sudah pede untuk nge ganti staff, nge cek ruangan, mendesain seberapa yang diperlukan untuk satu course, intinya sudah akrab dengan timetabling job. Dan ini bikin kualitas diri saya tambah lagi. Sekarang saya tak hanya dipanggil di reception, di student center tapi juga sangat diperlukan di timetable. Dan punya tiga skill di tiga tempat bekerja itu sangat fruitful. Minggu ini saja saya diminta bekerja di student center, timetable dan assignment center. Yang saya kira Oktober akan adem ayem saja sambil menunggu tiket pulang, tapi ternyata rejeki Allah luar biasa. Tabungan SPP saya untuk tahun terkahir PhD yang tidak di support lagi oleh beasiswa sudah fix, saya hanya tinggal memikirkan bagaimana bisa survive dengan living cost saat itu. Tapi seperti prinsip saya, nikmati saja dulu laut biru ini. Perkara di depan ada badai, nanti pada saatnya baru kita alert dan panik. Sekarang mah nikmati saja dulu ketenangan ini hehe.

So, siklus hidup di Auckland itu sekarang berkisar pada: bangun pagi, baca amalan subuh dan baca quran, siap-siap kerja, bekerja hingga jam 5, jam 5 pulang sambil di bis baca Quran lagi, tiba di apartment masak, nonton TV, belajar, tidur. Itu jadwal weekdays. Weekend akan ada undangan dinner atau shopping date atau movie date. Sambil tiap hari si kiwi terus mengirimkan SMS manis. Atau dibahagiakan dengan shopping barang yang diinginkan. Atau makan *smile*.

Saya ingat 5 tahun lalu, saya merasa seperti sedang berenang di samudera luas setelah saya kehilangan segalanya. Lalu saya berhasil membangun sebuah rakit, lalu saat ini saya merasa saya sudah berada di sebuah kapal layar (belum kapal pesiar hehe), tapi hidup sudah jauh sangat membaik ketimbang 5 tahun lalu saat semua hancur tak bersisa. Setidaknya saya tidak berenang sendiri lagi di tengah lautan luas, setidaknya saya tidak berada di atas rakit mini lagi, setidaknya saya sudah berada di atas kapal layar dengan kemampuan nakhoda yang sudah mumpuni dibanding 5 tahun lalu. Dan saat ini my ship is cruising. Sedang berlayar di laut biru tenang. Jika 2 tahun lalu saya menyebut New Zealand sebagai New Hope, New Land, itu benar adanya. Karena sepertinya negara ini akan menjadi tanah baru bagi pelabuhan kapal saya. Setelah puas mengarungi samudera hidup ini seorang diri, maka tawaran seorang lelaki kiwi untuk berlabuh di New Zealand sebagai A New Hope, New Land, memang bisa dipertimbangkan. Jika saat itu saya menyebut New Zealand sebagai A New Hope, New Land sebagai penyemangat untuk memulai perjalanan akademik baru setelah baru saja selesai di India, maka sepertinya apa yang saya sebut itu memang benar adanya. New Zealand adalah tanah baru bagi saya. For me, New Zealand could be My New Hope, New Land.

Have a blessed day, everyone.

Stay grateful. Teruslah bersyukur!

Best Regards,

-Nurul Kasyfita-