Saturday 28 October 2017

To Define Where Home Is

This is just a writing because you are just too bored waiting for a flight. I just would like to write about home. Rumah. To be honest, sejak lima tahun lalu, saya tak tahu lagi definisi rumah itu dimana. Dulu saya di India, saat pulang ke Samarinda, I cried too, karena sudah kadung akrab dengan suasana di India, dua tahun saya tinggal disana. Padahal masih ingat awal saya data
ng ke negara itu, saya menangis di mobil yang membawa saya ke Mysore saat itu dan melihat betapa berbedanya makanan yang ada. Saya sempat bilang ke supir taksinya bahwa saya ingin pulang saja. That what happened in the beginning. Lalu saat saya meninggalkan kota itu di Juli 2014, saya juga menangis dan merasa mungkin itu rumah saya. But nope, Allah Takdirkan kembali dulu ke kamar kost yang saya diami di 2012.
Daaan episode selanjutnya berlangsung. I was there di kamar kos itu hingga September 2015. Cukup 14 bulan, Allah Takdirkan lagi saya pindah rumah. Tiba-tiba saya Dibawa lagi ke kota bernama Auckland, yang jauuuuhhh banget rasanya menurut saya. Just take a look, Auckland itu di North Island, negara New Zealand, yang bentuk negaranya kalau dilihat di peta cuma seuprit mirip pulau Jawa. Itu adalah negara terakhir yang berpenghuni sebelum Kutub Selatan, Antartika. Bayangkan, Allah Menjalankan saya dari negara nehi nehi ke negara Barat.
Awal saya datang, saya disambut udara dingin di bandara dan bertemu supir kiwi yang tinggi besar bertuliskan University of Auckland. Beliau membawa kertas bertuliskan nama saya saat itu hingga saya mengenali beliau sebagai yang ditugaskan universitas untuk menjemput saya. Waktu masih di dalam bangunan bandara, masih aman, lha pas keluar, alamak, itu dingin serasa nusuk ke tulang. Saya masuk lagi ke bangunan bandara sambil menangis lalu bilang “NOOOOO, I WANT TO GO HOME”. Lalu si supir itu tertawa terkekeh melihat saya. Mungkin karena sudah biasa melihat orang yang baru datang ke New Zealand, lalu kedinginan seperti biasa. Lalu dingin itu bikin perut saya dangdutan lalu saya pamit lagi ke beliau minta ke WC. Do you know what, tas saya sengaja dimasukkan beliau ke dalam mobil agar saya tidak “lari” hehehe. Lalu dengan sabarnya beliau membujuk saya agar mamu keluar dari bandara dan masuk ke mobil bertuliskan University of Auckland itu. Dan masuklah saya dengan sesenggukan menangis. Beliau tertawa sambil berkata “don’t worry, you will find a good man here and make New Zealand as your home”. BERCANDA. Itu ucapan saya saat itu sambil bilang “I want a muslim man, and what is the chance of meeting a muslim man here, in this western country?”. Beliau Cuma mengangkat bahu sambil tetap bilang “well, you’ll never know”. Sambil menitipkan saya ke Greg, lelaki tua penjaga hostel Rocklands.
Dan well, saya kira Auckland tak akan pernah menjadi rumah saya. But after two years, segala yang awalnya asing, segala yang awalnya tidak ramah, segala yang tadinya tak terasa rumah terasa sebagai rumah. Dan ow well, saya berurai air mata meninggalkan Auckland hari ini. That crucial moment saat saya berbalik meninggalkan ia yang saya cintai di belakang saya. Perih itu terasa lagi. The beauty saat hati kita terbelah karena rumah kita ada di dua tempat. I never thought New Zealand akan terasa seperti rumah untuk saya. Apalagi di awal-awal, saat saya di bully di sains itu wah sudah gak pingin pokoknya hehe. Tapi sekarang dengan saya bekerja di Auckland, diterima dengan sangat baik disana, hehe, Auckland pun mulai terasa rumah.
Anyway, cukup sebentar saja saya menangis, saya harus segara berbenah memikirkan barang bawaan saya. Memikirkan gate imigrasi yang harus saya lewati dan saya menyudahi tangisan saya hanya beberapa bulir saja. Hidup harus terus berjalan. Data untuk riset saya harus diambil di Indonesia dan PhD ini harus diselesaikan. Urusan yang sudah lama tertunda harus diselesaikan dan langkah harus diteruskan ke masa depan. I don’t come to Indonesia without a purpose. I have a huge purpose there.
Dan itulah sekelumit perjalanan mendefinisikan rumah. And for me, rumah saya bukan yang berbentuk bangunan. Rumah saya adalah dimana hati saya bahagia, dimana saya diterima dengan baik, dimana saya dianggap berarti dan tidak dianggap lebih rendah. Tempat dimana kinerja saya dihargai, tempat dimana saya tidak dibedakan hanya karena latar belakang hidup. Mungkin saja saya akan menajdikan New Zealand sebagai rumah saya, karena saat ini saya sudah berencana membangun masa depan dengan lelaki asli Auckland (well, si supir benar, I do find a good muslim in Auckland hehe). Atau mungkin saja rumah saya tidak ter definisi karena saya akan selalu berpindah, menemukan orang baru, tempat baru lalu mewarnai hari mereka dengan keunikan saya. Saya masih ingin post doktoral lagi hehe. Dan itu belum pasti dimana. So, rumah saya mungkin saja tak akan terdefinisi, tapi hanya dimana saya merasa nyaman. Yeah, mungkin saja. I will never know. 

Sydney, 29 Oktober 2017,

-NK-


No comments:

Post a Comment