Friday 29 May 2020

The FAITH WINS: the story of becoming the resident of New Zealand

Hi there,
It's been two years I don't write here. Saya agak ber hibernasi akhir akhir ini karena lebih sering post yg ringkas di FB hehe, padahal malah nggak ter archive rapi seperti di blog ini.

Anyway, I would like to make this account alive again setelah dorman selama 2 tahun. Rasanya terakhir saya menulis tentang tawakkal di sini, back in 2018. Many things have happened. Suami saya yg begitu menyayangi saya malah kena kanker, but hikmahnya adalah saya dapat permanen job di NZ, plus a residensi. Buat menembus residensi ini lumayan panjang story nya. Saya juga nggak tahu kenapa apply heheeh, cuma yg appealing itu dengan residensi nggak perlu bayar asuransi lagi.

Padahal benefitnya banyak banget ternyata. Dan banyak sekali yg sedang berjuang melulusinya. Barusan saya baca tentang pasangan suami istri dengan 2 anak mereka asal Fiji. Istrinya awalnya ambil PhD di NZ, tapi nggak lulus beasiswa. Akhirnya harus biaya sendiri dan ditopang suaminya yg bekerja sebagai mekanik di campervan gitu dan karena COVID-19 akhirnya dipecat. Yang sedih, mereka berdua ini plus anak mereka tinggal di NZ dg work dan student visa. Akhirnya anak anak mereka dan suami istri ini nggak bisa minta gaji ke pemerintah, pun anak anak kalau mau ke dokter mahal banget harganya. Saya sih dari dulu juga nggak perlu bayar dokter kalau sakit disini tapi sudah bayar asuransi duluan, hampir 10 juta harganya per tahun. Tapi dengan residensi ini, ke dokter cuma 20$ saja lalu semua ditanggung pemerintah. Yang sedih, suami istri asal Fiji ini sudah melamar residensi tapi masih belum selesai karena si istri belum dapat pekerjaan di NZ dan tidak sanggup menunjukkan kalau mereka bisa support diri sendiri. Sesuatu yang sangat saya syukuri karena saya sudah dapat permanent job dulu sebelum residensi visa saya di review. Itu juga yg menguatkan katanya.

Untuk residensi visa ini saya mencobanya dari jalur partnership. Bisa juga sih memulai dari jalur migrant skilled tapi susah pakai banget karena Anda harus earn minimal 75,000 NZD per tahun or 750 juta. Itu pun harus ngumpulin poin, harus ada leadership skill ya kayak di Indo gitu kayak ngurus pangkat PNS, harus terkumpul berapa poin dulu baru bisa apply. Tapi kerennya ya nggak perlu nikah sama orang sini, yg penting punya kerjaan dg gaji minimal 75,000 per tahun ya bisa apply ini.

Kalau yg jalur partenrship seperti saya, syaratnya: 1) menikah/living together dengan warga NZ or permanent resident NZ; 2) stay together selama 2 tahun. Gitu sih yang saya ingat dan yang paling penting nih berhasil menunjukkan bukti relationship yg genuine dan stable karena banyak banget disini yang setting an marriage nya supaya bisa dapat residensi saja.

Anyway, kok tegang banget sih kayaknya. Iyaaa,  tau tegangnya kenapa? Ini fee buat visa ini adalah 1,450 NZD or sekitar 14,5 juta rupiah. Mihil buangeeet wkwkwk. Lalu yang kedua, rate gagal untuk resdient visa di NZ sini adalah yang tertinggi karena NZ membatasi jumlah imigran di negaranya. Karena meski negara kecil ya mereka juga ingin menghidupi penduduknya dengan sejahtera kan ya hehehe.

Berikut tahap tahap proses resident visa yang saya alami:
1. Persiapan dokumen. Semua dokumen dan check list yang diperlukan untuk visa ini ada di immigasi NZ: https://www.immigration.govt.nz/new-zealand-visas/apply-for-a-visa/visa-factsheet/partnership-resident-visa. Namanya partnership of a New Zealander resident visa. Jadi intinya harus cek kesehatan, sediain police certificate or SKCK kalau di Indo, nunjukkin bukti kalau nikahnya stabil dan genuine (tunjukkin foto di social media, testify dari kawan kerja kalau pernikahan ini nyata bukan settingan, bukti surat nikah, pernyataan orang tua, timeline relationship, kapan ketemu, tunangan, nikah, intinya ya bukti kalau ini tu bukan settingan). Untuuung facebook saya itu beneran kayak timeline hidup wkwkwkw. Jadi mudah nge retrive datanya. Selain itu harus nunjukkin bukti duit tabungan, punya tabungan bersama apa nggak, nunjukin bukti alamat, bukti bill yang dibayar bersama wuih buanyaaaak hahahaha. Saya sampai kayak juling gitu pas nyiapin statement bank saya dan suami. Mereka mintanya 2 tahun terakhir cuuy, gimana nggak banyak. Udah? Yuk masuk tahap 2.

2. Bikin akun online. Caranya mudah banget ya tinggal masuk link INZ di atas, baru masukkin tipe visa yang kita apply, lalu keluar deh cara bikin akunnya. Disini bikin akun imigrasi pakai realme. Terus terang saya baru ini urus visa sendiri, waktu pertama kali masuk NZ diurusin badan visa di Jakarta, VFS namanya. Itu di approve 4 tahun coba, wuih NZ ini emang baek ama saya hehe. Next, tahun lalu saya apply student visa lewat university of Auckland, nggak pernah saya berhubungan langsung dg imigrasi, baru ini saja. Akun online nya cukup sederhana, kita isi data yang diminta baru upload di step akhirnya.

3. Bayar. Ya dong, bayar, masa gratis hehe. Ini di akhir kita akan diberi akun cara bayar lewat bank nya. Saya pakai cuma debit card saja, hik, langsung ter debit deh itu 1450 NZD. Sakit kepala wkwkwk.

4. Nuuuuuuuunnnnnngggggggguuuuuuuuuuu. Busyet, panjang amat. Iyaaaaaa, itu nunggu pakai lamaaaaaa. Perlu diketahui processing resdient visa itu yg tercepat 8 bulan, yang terlama bisa nyampai 3 tahun. Oh ya selama menunggu ini kita boleh kok nambah nambah upload an dokumen kita. Jadi saat saya diangkat jadi pegawai tetap Unievrsity of Auckland, saya submit itu permanent contract employment di November 2019, padahal saya submit dokumen di July 2019. Itu ya udin gitu yak abis submit lupakan dah tu aplikasi, sakit hati soalnya kalau nunggu email wkwkwkw. Saya baru mulai kasak kusuk nanya ke petugas imigrasi itu awal Februari 2020. Itu pun masih disahuti "just wait" wkwkwkw. Akhirnyaaaa, dengan penantian super lamaaaa, saya di email di 9 Maret 2020. Suruh lengkapi dokumen lagi wkwkwkw. Ada 16 item pertanyaan yang harus saya jawab or sediakan dokumennya. Busyet dah.

5. Upload secondly  Ini dokumen yang harus di upload berdasar permintaan petugas tadi. Saya diberi waktu 2 minggu, ya elah, di hari setelah nge upload lockdown COVID-19 datang. Stop dah tu proses aplikasi wkwkwkw.

6. Email lagi plus interview. Iyaaa, masih ada email lagi dari si petugas, minta dokumen terakhir. Cuma satu aja kali ini *lega*. Terus sorenya beliau bilang eh interview ya. Busyet dah tu, keder lagi kita. Wong teman teman yg lain yg apply residency gak ada yg interview, kita kok ya ada. Interviewnya lumayan melelahkan. 45 menit tapi dicecar gitu kayak interogasi. Probing dan prompting teknik nya si Ibu yahud dah. Berat buat boong. Wkwkwkw. Tapi saya mah nggak perlu boong. Sama facebook aja saya nggak pernah boong hahahaha. Oh ya mereka juga nge point out banget beda usia saya sama suami, pun beda budaya. Tapi kayaknya kalah dengan jawaban saya yg bilang "it, the faith, the faith WINS", agama lah yang menyatukan kami berdua. Cieeee romantis amat ini agama jadi pemersatu dua bangsa bahkan dibawa bawa ke residensi visa.

7. Decision Eng ing eng....ini kita di email di hari yg sama, diberi tahu ni sudah masuk tahap decision ya, tapi masih harus di review lagi. Katanya nunggu 2 minggu. Eh ternyata, esoknya si Ibu telpon deh dan bilang CONGRATULATIONS, Nurul, you are now a resident of New Zealand.

Fiuhhh, basah dah tu air mata wkwkwkw. Cuma lega aja, bayangin kalau gagal itu harga visa fee seharga motor second di Indonesia hahaha. Tapi alhamdulillah. Approve. Sekarang saya bisa stay indefinitely di New Zealand.

ALHAMDULILLAH! Terima kasih juga pada pak suami yang telah menikahi saya dan berkenan menjadikan saya istrinya.

Semoga bermanfaat. Bye for now and take care.

Auckland, 30 Mei 2020.
24 hours setelah menjadi resident of New Zealand.

-Nurul Kasyfita Church-
Image may contain: 2 people

No comments:

Post a Comment