Saturday 8 October 2016

Empowering Janda Through Education

Hi there. Hari ini saya ingin menulis sesuatu yg lumayan menggelitik. Biasanya postingan saya lumayan alay, namun hari ini otak saya sdg waras sehingga saya ingin menuiskan hal ini. Kali ini saya ingin berbicara tentang wanita. Ya, wanita, makhluk indah yg sering dipuja tapi juga sering disakiti. Lebih khusus lagi, saya ingin berbicara tentang wanita yg gagal berumah tangga, ya janda. Itu kasarnya.

Mendengar kata janda pasti ada saja beberapa dari Anda yg mengernyitkan hidung, seolah itu adalah kata yang tak pantas didengar. Mendengar kata itu mungkin mereka yg saat ini menikah akan mengucapkan kalimat naudzubillah min zalik untuk menunjukkan betapa mereka tak ingin menjadi salah seorang dari penyandang kata tersebut di dunia. Sebagian yg lain, yg single tapi sdh lumayan matang usia, mengernyitkan hidung dan berkata “alhamdulillah, meski saya belum juga laku, minimum saya tidak jadi janda”. Sementara untuk para lelaki, kata itu seolah jadi sasaran empuk, entah dengan niat hendak melindungi, atau hendak iseng saja, kata janda membuat lelaki ingin mendekati, merasakan sensasi, memberikan kebahagiaan sesaat, janji janji semu, di modus, lalu akhirnya ditinggalkan. Seolah-olah janda adalah makhluk kuat yang tak akan tersakiti meski diiming imingi janji manis lalu ditinggal pergi. Kalimat kasarnya “sudah janda ini”. Bagi wanita-wanita lain, bertemu janda membuat mereka mengencangkan ikatan ke suami suaminya. Seolah olah janda adalah makhluk binal yang siap menerkam siapapun makhluk yg bernama laki-laki. Seolah olah kuda pun diberi topeng mirip laki laki akan dikejar oleh seorang janda. Kata-kata “gatal”, “murahan” selalu dialamatkan pada wanita wanita yang berpredikat janda. Sedih sekali.

Bagi si janda sendiri, kepedihan hidup kadang membuat mereka oleng. Mereka bisa berubah menjadi pahit, kasar, tak percaya lagi dengan cinta. Beberapa dari mereka menyalahkan Tuhan atas takdir yang menimpa mereka, beberapa yang lain frustasi hingga lari ke hal yang salah. Pergi ke suatu bar, pesan minuman yang tak pernah disentuh sebelumnya, memberikan excuse ke diri sendiri bahwa ia perlu sesuatu yang membuatnya nyaman, bertemu orang yang salah, entah berakhir dengan dimanfaatkan atau akhirnya terjerumus ke narkoba. Miris. Bagi yang lain, mungkin akhirnya si janda berakhir jadi istri simpanan hanya demi materi. Atau akhirnya terjerumus ke prostitusi hanya demi ekonomi. Sebegitu dahsyatnya hantaman hidup yang bernama pecahnya sebuah rumah tangga. Belum lagi cap sosial yang dialamatkan masyarakat pada mereka. Who is janda? Mereka adalah wanita-wanita yang kehilangan pernikahannya (karena satu dan lain hal) lalu berakhir dengan perpisahan. Dalam bahasa Inggris, janda yg berpisah hidup dengan suaminya disebut sebagai DIVORCED sedangkan yang janda karena suaminya meninggal disebut sebagai WIDOWED {{428 Allen, Douglas W 1992}}. Biasanya tatanan sosial kita di Indonesia masih menaruh hormat pada WIDOWED tapi memandang sebelah mata pada mereka yg DIVORCED. Padahal hendak diapakan pun, si janda ini juga tak ingin takdir hidupnya pahit seperti itu. Siapa yg hendak menikah lalu berpisah, buang buang waktu saja. Belum lagi, jika ia menjanda karena korban perselingkuhan. Atau karena ia menolak untuk dipoligami. Rasanya tidak adil jika social judgement membuat mereka terkucil, tersisih, hingga akhirnya berkumpul dengan orang-orang salah yang akan menggiring mereka lebih jauh ke arah yang salah. Bisa kita lihat dari  mereka yang berpisah dan akhirnya buka jilbab, gonta ganti laki laki, jadi istri simpanan, berakhir dengan narkoba, minum atau hal buruk lainnya. Menyedihkan.

Perlu kita ketahui, social judgement itu sangat sangat powerful dalam menggiring pola berpikir manusia {{429 Innes-Ker, Åse 2002}}. Jika ada orang yang masih belum yakin akan integritasnya lalu Anda berkata “kamu maling” terus menerus, suatu saat ia akan menerima persepsi itu lalu akhirnya berakhir menjadi maling. So, adalah sangat penting saat rumah tangga seseorang porak poranda, ia harus terus menanamkan persepsi dalam dirinya “I am not a bad person, this is just a bad luck”. Ia harus terus menanamkan pikiran itu dalam dirnya, semata mata agar ia tidak terjerumus ke hal yang salah lalu menjadi orang yg salah. Meskipun social judgement terus menggempur dan berkata bahwa ia janda, wanita gagal, wanita yang berpotensi merusak rumah tangga orang lain, si janda harus terus menerus meyakinkan dirinya bahwa ia bukan orang jahat. Ia akan terus berusaha jadi orang baik meskipun lingkungan terus mendeskripsikan dirinya sebagai orang gagal. Berat, tentu saja, apalagi jika terus terusan dianggap demikian. Tapi bukan tidak mungkin.

Satu hal yang saya propose disini saat seseorang ditakdirkan menjadi janda adalah, DO NOT GO TO A BAR. Jangan pergi ke tempat tempat salah. Pergilah menuju ilmu, pendidikan. Menjadi janda justru sebuah kesempatan untuk menerbangkan mimpi setinggi langit, merubah kesulitan hidup menjadi keberhasilan. Ber transformasilah. Jangan jadi janda powerless yang hanya mengandalkan laki-laki dengan janji-janji kosongnya untuk meningkatkan eknomi. Iya, saya paham, menjadi janda itu tidak mudah. Bagi Anda yang awalnya sangat tergantung pada pendapatan suami, tiba-tiba Anda harus mengandalkan diri sendiri. Tapi bukan berarti harus mengemis pada laki-laki lalu berakhir dengan kepasrahan saat dijadikan istri simpanan dengan kalimat “yah, saya sudah janda ini”. SALAH! Bangkit. Menjadi janda adalah awal kebangkitan dari mimpi rumah tangga yang runtuh. Ini cita-cita saya sepulangnya saya ke Indonesia. Saya ingin mendirikan wadah yang empower janda melalui education. Bagi yang sebelum menikah belum sarjana, ini adalah kesempatan untuk sekolah lagi. Atau jika pun Anda tak punya uang, ini adalah awal berusaha membuka usaha, mandiri dengan pendapatan sendiri. Bagi yang dulunya saat menikah tak bisa sekolah ke luar negeri, ini adalah kesempatan. Para janda harus merubah image mereka. Mereka bukan wanita gatal yang kerjaannya menggoda suami orang. Mereka adalah wanita terhormat, berpendidikan, bermartabat, kuat secara finansial. Mereka mungkin tidak kaya, tapi juga tak akan mengemis di kaki laki-laki. Bagi para janda yang setelah berpisah terus disakiti oleh mantan suami, tunjukkan bahwa Anda bukan Anda yang dulu lagi. Anda telah tumbuh jadi wanita berpendidikan, tahu cara menghargai diri sendiri. Dan jika pun Anda harus berakhir sendiri dalam hidup ini, Anda tak takut lagi.

Tentu tak mudah tetap berpikir waras saat badai perpisahan melanda para janda. Karena itulah, para janda harus memiliki wadah yang memberikan support saat mereka didera kepedihan hidup. Para janda harus diberdayakan melalui pendidikan. Mereka yang oleng, harus menemukan support pada saat tergelap dalam hidup mereka. Mereka harus menemukan wadah yang menaungi mereka untuk sementara, sebelum sayap mereka kuat untuk terbang tinggi. Wadah yang melindungi mereka dari orang-orang jahat yang berusaha memanfaatkan mereka. Wadah yang akan menghindarkan mereka dari bar, narkoba, seks bebas dan laki laki hidung belang. Wadah ini yang saya cita-citakan. Saya ingin meraih para janda di luar sana lalu memberdayakan mereka melalui pendidikan. Yang tidak tahu bahwa ada beasiswa, harus diberi jalan agar bisa melamar. Yang tidak tahu cara berbisinis, harus diberi jalan agar mereka punya kegiatan dan kemandirian finansial. Yang hendak mendekatkan diri pada agama, harus dinaungi dan dikuatkan bahwa ini adalah bagian dari takdir Allah. Yang tak tahu strategi hukum apa yang harus mereka ambil dalam menghadapi mantan suami dan perseteruan yang akan terjadi, harus disiapkan mental dan psikologinya, plus bantuan hukum yang diperlukannya. Yang sudah selesai perceraiannya harus di edukasi bahwa akan ada banyak lelaki hidung belang yg mulai mendekati dan mereka harus tahu bagaimana mengidentifikasi dan menghindari mereka. Saya ingin para janda di luar sana tidak lagi jadi warga kelas dua, terkucil, tersisih dengan berbagai predikat sosial, lalu akhirnya memilih berkumpul dengan orang yang salah yang bersedia menerima mereka namun akhirnya menjermuskan. Mereka harus diberdayakan. Mereka harus diberi kesempatan. Mereka sama saja dengan wanita lain, bahkan jauh lebih rapuh. Mereka harus di edukasi bahwa mereka bukan hanya janda, tapi mereka adalah calon wanita tangguh yang mandiri secara finansial, intelektual dan mental. Sudah saatnya para janda memiliki wadah agar mereka tak merasa sendirian. Agar mereka paham bahwa ada banyak orang lain yang bernasib sama dengan mereka dan selalu ada jalan untuk merubah takdir ini menjadi lebih manis. Menjadi janda tidak harus menjadi THE END OF THE WORLD. Tapi menjadi janda bisa jadi awal kisah manis selanjutnya.

Untuk mewujudkan ini, tentu tidak mudah. Saya perlu dukungan banyak pihak. Saya perlu ahli hukum, saya perlu edukator, saya perlu psikolog, saya perlu ustadzah yang siap bergabung dan mendedikasikan dirinya untuk menolong para wanita yang dikucilkan ini. Saya juga berencana melaksanakan riset seberapa menderitanya para janda, tantangan psikologi yang mereka alami, kesulitan hukum yang mereka alami (karena saya menemukan banyak janda yang ditinggalkan begitu saja tanpa surat-surat yang jelas), dan bagaimana mereka bertransformasi. Saya bersyukur, kecanduan saya pada ilmu menghindarkan saya dari hal-hal yang salah. Kejandaan saya berakhir manis dengan meraih gelar dan berangkat ke luar negeri. Dan meski kepedihan itu masih ada, dan ia hampir membuat saya mati konyol tanpa akses ke anak dan hampir tak punya apa apa pasca perpisahan kami, saya telah bertransformasi dari wanita ini:


·         Menjadi saya saat ini.ve


Saya telah bertransformasi. Kejandaan saya menghasilkan dua gelar master, dan saat ini saya sedang di New Zealand, di University of Auckland, mengejar mimpi PhD saya. Berpendidikan, bermartabat, mandiri secara finansial, intelektual dan mental. Tapi tentu tak semua orang bisa kuat seperti saya. Dan saya juga tidak menjadi seperti ini hanya dengan membalik telapak tangan. Ada banyak masa dimana saya dijauhi dan dikucilkan hanya karena kejandaan saya. Beruntunglah kecanduan saya pada ilmu menghindarkan saya dari tempat dan orang yang salah. Karena itulah saya ingin menguatkan para wanita di luar sana agar saat mereka oleng mereka tak bertemu orang yang salah, tidak pergi ke tempat salah, tidak berakhir dengan menjadi orang yang salah. Saat ini saya baru bisa melaksanakan ide ini melalui tulisan-tulisan saya. Namun, suatu saat, tinggal menunggu takdir Allah, saya ingin berdiri di luar sana, menguatkan mereka, para janda bahwa masih ada happy ending dari kejandaannya. Itu cita-cita saya. Empowering janda through education. Insya Allah.

Apakah dengan tulisan ini Anda pikir saya mendukung per janda an. Hoho, tidak. Tentu saya mendukung pernikahan dan bahkan berencana menikah lagi. 

Namun apakah kita bisa merencanakan takdir. Dan kasihan sekali mereka yang sudah janda, dikucilkan, disalahkan, tak punya uang, tak berpendidikan dan akhirnya bertemu mereka yang salah lalu menjermuskan. Saya hanya ingin mereka yang ditakdirkan kurang beruntung dalam pernikahan, tak merasa sendiri dan berakhir menjadi orang yang salah atau berbuat salah. Tak perlu lagi ada Reza Artamevia di dunia ini. Para janda harus diberdayakan. Dan caranya adalah dengan pendidikan. Pendidikan agama, hukum, psikologi, finansial.

Menjadi janda bukan akhir dari segalanya. Itu adalah awal dari kisah baru yang manis. Kisah percintaan Anda dengan diri Anda sendiri. Untuk lebih mengenal siapa Anda dan apa yang Anda inginkan dalam hidup. Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dalam pernikahan palsu hanya demi status. Jangan buka jilbab Anda, jika saat ini ada berjilbab. Jangan minum, jangan ke bar. Masih banyak hal positif lain yang bisa dilakukan seorang janda. Sekolah lah, tuntutlah ilmu, ber bisinis, melakukan pekerjaan sosial, jauhi orang orang yang salah. Anda masih bisa bertransformasi. Percayalah, just because you are a janda, you are not a bad person. I can say that, because I am one of them. 

Auckland, 9 Oktober 2016,

-NK-


References

Allen, D. W. (1992). Marriage and divorce: Comment. The American Economic Review, 82(3), 679-685.


Innes-Ker, Å., & Niedenthal, P. M. (2002). Emotion concepts and emotional states in social judgment and categorization. Journal of Personality and Social Psychology, 83(4), 804.

No comments:

Post a Comment