Friday 28 August 2020

Equanimity: another episode in life

 Auckland, 29 August 2020. 

"I feel sorry I could not save her"
"I feel sorry that I can only save one life and that is my life"
"But I have to live and continue living"
-------------------------------------------
Well well, another episode in life. 
It was Saturday, kami sedang dalam perjalanan menuju Whangarei untuk berlibur. The night before everything seems fine. Aku packing, nonton Rory lalu tidur dengan pikiran esok akan menikmati liburan. 
Then seperti biasa aku post. Tentang pentingnya lipstick merah dalam perjalanan. As usual, postinganku selalu tak penting, Aku suka menulis apa yg ku suka. Tanpa perduli image orang lain terhadapnya. 
Then sebuah text tiba tiba datang. Dari sepupuku yg sudah lama tak menyapa. Bunyinya "assalammualaikum, miss sudah dengar kabar?" Dan ia tak meneruskan. Hanya sepotong text yg kupikir tak ada hubungannya. Tapi aku me review siapa kira kira yg meninggal. Karena bunyi teks seperti itu biasanya karena ada yg berpulang ke yang Maha Kuasa. Aku cek adik dan bapakku sepertinya semua baik baik saja. Lalu aku berpikir mungkin pamanku yg sudah sepuh yang menemui ajalnya. 
Then text demi text berdatangan. Akhirnya aku tahu siapa yang meninggal. Lelaki yang dulu pernah ku abdi selama 7 tahun lamanya. Lalu menjadi seteru abadiku di dunia ini karena aku tak mau lagi menuruti kehendaknya. Dan sebagai konsekuensinya, ia merenggut anakku, memaki ibuku, berteriak pada keponakanku, dan tak lagi mengizinkan siapa pun dari pihak keluargaku melihat gadis kecil itu. 
---------------------------------------------
It was 2012. Di siang hari aku memungut baju bajuku yang dilempar ke lantai. Aku memungut semuanya dan ia bilang "jika kau pergi kau takkan bisa melihat anakmu lagi". Dan aku pergi. Hanya dengan 2 kantong plastik baju saja. Karena aku tahu aku tak tahan lagi. Hidup dalam keterpasungan. Hidup dalam kekangan. Aku memang berbeda dengannya. While aku senang menantang diriku sendiri dan terus memanjat, ia cenderung meenrima saja. Hidupnya stagnan, sedang aku punya banyak mimpi besar sebelum setuju dinikahinya. Aku ingin melihat dunia. Potensiku begitu besar untuk terkurung dalam sebuah bilik rumah tangga. Dan ku pikir ia bisa berpikiran terbuka. Dan mengizinkan aku mengejar mimpiku lalu kami tumbuh bersama. But itulah aku dan ke naif an ku. Harusnya aku bisa melihat betapa berbedanya kami berdua. Tapi bukankah setiap rumah tangga memang berbeda? Dan karena cinta kita pasti ingin mencoba. Siapa tahu kita bisa memadukan perbedaan itu menjadi satu rasa. Lalu bersinergi bersama. Tapi tidak untuk rumah tanggaku. Itu hancur karena aku tahu aku takkan bisa menggapai mimpi besarku jika terus bersama lelaki itu. Dan aku pergi, membawa lukaku. Mengikhlaskan anakku, sebagai balasan kebebasanku. 
-------------------------------------------------
Tahun demi tahun aku lalui sendiri. Aku terus berlari mengejar mimpi mimpiku. Aku senang dendam itu bersarang di dadaku. Aku ingin membuktikan padanya siapa aku tanpa dirinya. Dan dengan izin Allah, semua itu terjadi. Sejak berpisah dnegannya aku menyabet 3 beasiswa. Dua beasiswa bahkan di tingkat doktoral. Aku keluar negeri, menuntaskan mimpiku sejak kanak kanak dulu. 
Bagaimana dengan gadis kecil itu? Seperti janjinya, ia tak lagi mengizinkan ku menemuinya. Tidak juga ibuku, adikku, bahkan sepupu jauh saja. Siapa pun yg terkait denganku tak akan diizinkannya. Dan hiduplah gadis kecilku itu dengan keterpasungan, ketakutan, tidak didengarkan, karena ia tahu tak ada gunanya melawan. 
-----------------------------------------------
Aku memang meraih mimpiku. Aku kuliah hingga S3, di universitas besar dunia, bahkan aku bekerja juga, di negara Barat yang dulu hanya ku lihat di peta sambil berpikir mampukah aku mencapai itu semua. Aku menikah lagi. Dengan seorang lelaki di negeri ini. Lelaki yang memujaku, lelaki yg selalu ingin menemaniku. Aku sungguh mendapatkan hidup yang baru di negeri ini. Aku dihormati, dianggap ada, dicintai, dimuliakan. Tiga bulan setelah menikah kami berangkat haji. Sesuatu yg dulu juga pernah ku usulkan pada lelaki itu. Yg 7 tahun ku abdi. Tapi ia menyuruhku pergi sendiri. Kecewa sekali. Terus terang saat aku berumah tangga dengannya aku tak merasa ditemani. Aku selalu ia biarkan sendiri. Bahkan saat aku minta ia mengisi pulsa hape saja agar saat aku meng SMS nya ia bisa membalas pesanku, ia tak mau. Ia bilang aku harus menunggu hingga masa berlaku kartunya hampir habis sebelum ia akan mengisi pulsa lagi. Baginya "jika aku tak ber kabar, artinya aku baik baik saja". Banyak sekali kekecewaan yang ku dapat di rumah tanggaku bersamanya. 
--------------------------------------------------
Alhamdulillah akhirnya aku bisa pergi haji. Tapi bukan dengannya. Aku pergi bersama lelaki kiwi ini. Aku begitu dicintai. Aku benar benar meraih mimpiku. Aku bebas, aku hidup cukup di luar negeri, bahkan tidak jarang air mataku menetes melihat betapa besar nikmat Allah padaku. Setiap dua minggu aku diberi bunga, apa yang ku inginkan selalu ia beri, meski ia bukan orang kaya. Aku juga berhasil ke Eropa. Aku menulis buku. Aku menang lomba di konferensi internasional. Sungguh terlihat perkembangan dan pencapaianku setelah berpisah dengannya. Alhamdulillah. 
Aku juga hidup dengan ikhlas. Aku biarkan orang orang menggunjingkan aku. Toh siapa aku tak perlu dijelaskan. Kelak biar waktu yang menunjukkan semuanya. Dan memang tetangga mulai melihat seberapa kejamnya lelaki yg dulu pernah bilang mencintaiku. Mereka mendengar saat ia bilang tidak saat tetangga memintanya untuk memberitahu gadis kecilku saat ibuku meninggal. Ibuku seringkali diam diam membawakan makanan untuk gadis kecilku di sekolah. Lalu menyampaikan kabarnya untukku. Aku seringkali khawatir dengan beliau. Karena beliau ber tongkat dan jika lelaki itu melihat ibuku menemui anakku ia akan dengan kejam berteriak bahkan menendang tongkat ibuku. Luar biasa kejamnya perlakuannya pada orang tuaku yang tak salah apa apa. Tapi itulah bayaran yg harus kubayar atas keputusanku meraih mimpiku. Gadis kecilku hilang, keluargaku penuh dengan penghinaan. 
-------------------------------------------------------
Setelah ibuku meninggal aku tak lagi mendengar kabar gadis kecilku. Aku lanjutkan hidupku dengan rumah tanggaku, sekolahku, pekerjaanku. Hingga ia menemukan aku. Ia menyapaku dan bilang ia sangat menyayangi aku. Ia paham kenapa aku harus pergi dan ia juga tak ingin hidup bersama keluarga mantanku. Luar biasa hari itu. Air mataku tumpah saat ia menemukanku. Aku selalu berdoa untuknya saat di depan Ka'bah. Aku minta Allah Mengembalikan gadis kecilku padaku. 
Dan tiga minggu yang lalu, at this moment, kami mendengar kabar itu. Lelaki yg begitu kuat menghalau siapa pun itu meninggal dunia. Aku hanya membayangkan betapa porak porandanya hidup gadis kecil itu. Dan bersiap untuk menjemputnya sebagai orang tua tunggal yg masih hidup. 
Tapi ternyata tidak. Sekarang keluarganya yang berhadapan denganku. Mereka mengambil gadis kecilku seolah ia tak lagi punya ibu. Ia menyuruhnya tidur di lantai, jaga toko, bersih bersih rumah, menjaga anak mereka, luar biasa mereka menggunakan tenaga gadis kecil yang ku lahirkan 14 tahun lalu itu. Tapi sungguh, seandainya aku hanya berhadapan dengan mereka yang berkelahi berhadapan, aku berani saja. Tapi ini adalah orang orang yang tak mengenal negosiasi dan begitu teguh memegang apa yang mereka anggap benar. Mereka tak perduli perasaan gadis kecil itu. Yang mereka pikir mereka hanya sedang mempertahankan marwah keluarga saja. Dan gadis kecilku itu tahu benar akan hal itu. Ia yang memintaku menjauh dan tak perlu menjemputnya. 
---------------------------------------------------------
So, itulah kisahku. Aku hanya punya 1 anak saja yg begitu ku sayang saat aku bersamanya. Dan aku tahu ia juga begitu menyayangiku. Tapi saat ini, kami sungguh tak berdaya. Hanya Allah yg Maha Membolak balik hati yang bisa Merubah ini semua. Karena keluarga mantanku bahkan sudah berencana untuk menyakiti aku dan keluargaku jika aku masih berani meminta anakku bahkan setelah ayahnya meninggal dunia. 
Dan gadis kecil itu pun terus berusaha hidup dengan hidup lelahnya. Setiap hari bangun, membantu membersihkan toko, menjaga anak, lalu malam ia akan tidur di lantai karena itulah yang bisa diberi keluarga itu padanya. Sementara aku tidur di kasur empuk, bersama suami di luar negeri. 
Tapi sungguh, ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum aku berani memintanya. Luar biasa efek yang akan dihantamkan keluarga itu pada keluargaku jika aku berani muncul di hadapan mereka untuk meminta anakku sendiri. 
Saat lelaki itu pergi, ku pikir keluarga ini akan me refleksi diri. Ku pikir mereka akan berpikir bagaimana ya jika kita mati. Bagaimana kita mempertanggung jawabkan dosa kita pada gadis kecil ini. Tapi mungkin mereka berpikir inilah kehormatan keluarga yang mereka jaga. Jadi mereka merasa tak melakukan dosa. Aku yang mereka anggap berdosa. Sudah durhaka pada mantan suami dan tak mau menurut hingga menghancurkan rumah tangga. After all, aku tak berhak menghakimi mereka. Biar Allah nanti Maha Pembalas segalanya. 
--------------------------------------------------------------
Equanimity itu artinya ketenangan. Sungguh hidupku sangat tenang. Aku hidup dengan ikhlas dan tawakkal akan kebaikan Allah SWT. Aku tak ingin menghancurkan itu semua. Aku akan terus hidup dengan ikhlas dan tawakkal itu dan tetap menghidupkan equanimity dalam hidupku. Aku takkan terganggu dengan hal hal yang akan membuatku kehilangan itu. Kelak, jika sudah tiba waktuNya dari Allah, maka hak gadis kecilku akan Ia Tunaikan. Aku hanya berharap gadis kecilku kuat melewati ini semua. Terserah bagaimana pun orang lain menganggapi kisahku ini, yg jelas aku hanya menulis saja. Aku tak sedang membela diri. Aku tak sedang membangun image. Aku hanya sedang melakukan satu hal saja: melanjutkan hidup, fokus dengan sekolah, ibadah, pekerjaan dan rumah tanggaku. Jauh dari segala perebutan yang tiada ujung itu. 
Aku ikhlas. Aku mengalah. Kelak, akan sampai waktuNya, Allah yang akan Menyelesaikan ini semua.
Semoga gadis kecilku kuat. Semoga gadis kecilku bisa suatu saat nanti merasakan bahagia. Karena sungguh hidup sudah sangat kejam padanya.
Semoga ia juga bisa merasakan equanimity-ketenangan saat ia berhasil pergi dari semua perdebatan tiada henti ini. Kedamaian dan ketenangan yang kurasakan saat ini. Amiin. 
--------------------------------------------------------------------- 

No comments:

Post a Comment