Saturday 8 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 1

Masih pagi, saya masih leyeh leyeh di kamar karena hanya hari ini saya bisa sedikit "bernafas". Biasanya saya akan mencuci motor saya, namun hari ini saya ingin menulis. Entah kenapa, tadi pagi saya membaca tulisan di blog saya tentang tahun 2014 dan rencana saya di 2015. Senang rasanya melihat semangat saya di tahun kemarin telah banyak berbuah di tahun ini. Belum genap setahun, baru bulan ke 8 di hari ke 9, alhamdulillah, rencana dan semangat tahun lalu itu telah ada yg tergenggam, meski perjuangan masih jauh. Tapi, bukankah hidup itu memang hakikatnya berjuang?

Ammm...mungkin saya akan tuangkan tulisan ini dalam bentuk timeline, agar terlihat jelas peta perjuangan saya hingga sampai ke titik ini saat ini. Perlu diakui, perjuangan saya tidak singkat, apalagi mudah, semua saya lewati dengan keringat dan juga air mata. Namun saya melihat tidak ada pilihan lain yg lebih baik daripada meneruskan sekolah saat ini. Akses ke Najwa yang kian hari kian sulit, dan negosiasi yg tdk ada ujungnya, membuat saya memutar haluan dan menjadikan sekolah sebagai painkiller saya. Daripada terus bergulat dengan pihak yg tidak mau lagi mendengarkan saya, saya pikir ada baiknya saya mengejar sesuatu yang masih bisa diperjuangkan saat ini, dan itu bisa menjadi alasan saya untuk hidup, kekuatan untuk melewati hari, reason to stay ALIVE. Dan mulailah perjalanan menuju doktoral saya rancang. Di tengah kesendirian, di tengah kerinduan saya pada Najwa, saya mulai melangkah. Mari kita mulai cerita ini.

Oktober 2014. Saat ini saya bertemu sesama dosen yg menyebutkan perjuangan beliau mewujudkan mimpi doktoralnya. Saat itu saya menyadari, untuk kuliah doktoral tidak cukup hanya diterina di universitas, atau memiliki beasiswa, lebih dari itu, harus ada prof yg menerima kita sebagai mhswa bimbingan. Dan proses pencarian prof itu, bisa berbulan bulan bahkan tahunan. Sejak saya berbincang dengan beliau, saya mulai bergerilya mencari prof. Mengirimkan surat lamaran ke beberapa negara agar bisa diterima. Jerman dan Turki, dua negara yg awalnya saya incar karena Eropa tetap menggiurkan untuk didatangi dan Turki, mungkin bisa sedikit ramah dengan saya yg cuma lulusan India ini, begitu pikiran saya. Padahal saat itu saya belum punya ijazah dan hanya bermodal transkrip sementara. Sekitar 10 email saya layangkan, namun beberapa balasan yg saya terima adalah NO SEAT AVAILABLE. Beberapa di antara yg lain bahkan tidak berbalas. Hik.

November 2014. Saya mencermati peluang ke Brunei Darussalam. Mulai melihat skema beasiswanya dan melihat apakah Kimia ada disana. Hanya ada tiga Universitas yang masuk di list beasiswa dan Kimia hanya ada di satu universitas saja. Saya baru mengontak customer service beasiswa saat itu dan tidak terlalu meneruskan perjuangan karena saya melihat bahasa yg digunakan bahasa Melayu. Inggris saya tidak akan terasah, begitu pikiran saya.
Yah, everything happens for a reason, itu istilah saya. Saat saya sedang menunggu penerbangan saya ke Jakarta, saya dapat email dari scholarship position, milis beasiswa yg saya ikuti. List teratas, ada beasiswa New Zealand. Saya klik link tersebut dan saya melihat ada 8 universitas yang masuk list beasiswa dan University of Auckland adalah yg teratas di dafter tersebut. Iseng, saya klik universitas itu lalu mencari jurusan Kimia. Chemical science school, itu istilah mereka. Intinya saya hanya mengklik daftar teratas hehe, tidak mencari yg bawah. Saya klik beberapa mata kuliah dan melihat foto beberapa dosen beserta alamat email mereka. Saya save satu satu alamat email tersebut, ada sekitar 7 orang prof yg saya simpan saat itu, dan saya pun berangkat ke Jakarta.
Pulang Jakarta, saya membuat draft email perkenalan. Saya kirim email itu ke 7 prof tadi. Menyatakan niat saya untuk kuliah S tiga dan memohon beliau bisa menerima saya. Semua itu saya lakukan sambil terus bekerja mencari uang tambahan. Saya tahu, perjuangan saya untuk doktoral tidak murah dan saya harus menyiapjan biaya untuk itu. Tujuan saya saat itu hanya satu, LOA, letter of acceptance, baik dari prof ataupun dari universitas. Setelah surat itu di tangan saya, saya akan "jual diri" ke sponsor, itu rencana saya.
Selang sehari, saya dapat satu balasan. Prof ini meminta saya mengirimkan tesis saya saat di India. Saya kirimkan, lalu beliau tidak membalas lagi. Saya mulai bingung, akhirnya saya melihat email prof yg belum pernah berani saya sentuh karena beliau bergerak di organik yang terus terang saya tidak terlalu suka. Sambil mengikuti pelatihan saat itu, bermodal wifi kampus, saya mengirimkan email saya. Ping! Hanya sekitar lima menit, beliau membalas saya. Berbeda dengan email prof lain, prof ini membalas saya dengan kalimat
"WHAT CAN I DO TO HELP YOU, NURUL?".
Ha, fast respon dan beliau sepertinya berniat menolong. Itu kesan yg saya dapat. Ok lah, saya balas beliau lagi bahwa saya perlu LOA untuk bisa mendapat sponsor kuliah s tiga saya. Kali ini saya tidak lagi menggunakan email yg saya rancang tapi sudah seperti percakapan antara murid ke gurunya. Saya klik SEND, selang lima menit, beliau membalas saya lagi. Kali ini beliau membalas dengan lebih panjang. Beliau bilang bahwa kekuasaan menerima mhswa PhD tidak semata mata ada di tangan beliau, tapi saya harus lulus seleksi universitas. Saya diberi link untuk membuat student account, link untuk saya mengupload dokumen dokumen yg diperlukan dan melulusi syarat syarat yg mereka ajukan. Saya masih bertanya lagi pada beliau, bagaimana dengan TOEFL saya dan tesis saya yg masih "ecek ecek" itu. Beliau membalas dengan kalimat yg lugas.
DONT WORRY ABOUT THE RESEARCH, WE CAN MODIFY IT LATER.
Saya menuruti saran beliau, mengklik link yg dikirimkan beliau dan membuat student account di University of Auckland, New Zealand.

---bersambung---

1 comment:

  1. Luar biasa, Nurul..
    Tinggal poin 5 dan 6 yg blm.
    Alhamdulillah.

    ReplyDelete