Saturday 8 August 2015

My PhD journey: IT HAPPENS FOR A REASON, part 2, the road to Uni of Auckland

Hey, hey! Ini saya lagi, saya akan menyambung bagian kedua dari my PhD journey. Ammm..where were we? Ah, ya, saya berhenti tepat saat saya membuat student account di University of Auckland.

Well, mari kita sambung lagi, readers.

Desember 2014. Sejak diberi link tersebut oleh si prof yang saya pun belum ingat nama beliau saat itu, saya mulai mencermati akun tersebut. Saya mengisi data nama, alamat, nomer paspor, etc seperti halnya membuat akun fb. Cukup mudah karena ada step 1;2;3  mirip laah dengan akun fb. Dan semua saya lakukan di sela sela kegiatan mengajar saya. Kadang murid kursus saya bertanya, miss lagi apa? Lalu saya menunjukkan pada mereka apa yg sedang saya kejar dan mereka ternganga mengetahui saya yg tua bangka ini masih ingin sekolah.
Lalu tiba saatnya saya mengupload dokumen. Alamak, yg saya punya semua hanya hasil scan dari India, itu pun hanya transkrip sementara, saya belum punya ijazah saat itu. Anyway, karena internet yg on off baik di kampus maupun di kursus, dokumen saya selalu gagal upload. Ah, saya masih ingat saat malam malam ngendon di depan lab kimia hanya agar dapat wifi gratis, sepulang saya mengajar jam 9, itu pun tetap dokumen saya gagal upload.
Saya masih ingat saat itu, malam saat dokumen saya terus menerus gagal upload. Saking linglungnya, saya mengklik link NEED HELP? yg biasanya sih isinya cuma admin yg kdg meng ignore keluhan kita. Tapi karena tdk ada siapapun yg bisa saya mintai tolong, saya klik link itu. Saya tulis email bahwa kondisi net disini on off dan dokumen saya selalu gagal upload. Saya klik SEND dan berdoa ada malaikat di Auckland sana yg membaca email saya dan yg lebih penting, menolong saya.
Esok hari, saya ke kampus, hal pertama yg saya cek adalah email. Yay! Ada balasan. Namanya miss Maiko, yg dengan ramahnya meminta saya men zip seluruh dokumen yg diminta dan beliau yg akan mengupload ke folder saya. Haha, admin yg kereeennn. Ok lah, saya zip semua dokumen itu dan send. Selang sejam, beliau mengabari saya akun saya sudah lengkap terisi semua dokumen. Hoah, saya bahagia sekali hari itu saat saya dengan pedenya meng klik SUBMIT! Done, saya dapat nomer registrasi aplikasi sbg PhD student di University of Auckland.
Seminggu setelah itu, saya dapat email dari manager postgraduate, Miss Gretchen. Aplikasi saya masih di review oleh panitia penerimaan di University of. Auckland. Sementara itu direview, saya diminta melengkapi syarat inggris saya, TOEFL iBT or IELTS. Yaahhh, saya lobby agar mau menerima TOEFL ITP yang saya punya mereka menolak. Universitas ini sangat ketat dengan persyaratan. Parahnya lagi, India digolongkan sebagai medium English sehingga harus tetap melampirkan bukti TOEFL or IELTS sebagai syarat kelulusan. Nilai minimum untuk PhD? Bukan main, 90 dari nilai maksimal 120 dengan nilai essay minimal 21 dari nilai maksimal 30.
Saya email prof tentang progress ini. Beliau mengatakan saya harus memenuhi semua syarat tsb dan tidak ada wewenanb beliau untuk campur tangan dengan proses universitas. Ok lah, ini berarti tidak bisa ditawar. Saya harus cari cara untuk tes TOEFL IBT.

Perjalanan mencari link untuk TOEFL IBT juga bukan hal mudah. Saya keliling Samarinda mencari kursus yg melayani hal ini agar tidak perlu terbang keluar Samarinda. Alhasil, tak ada hehe. Saya cuma diberi link ETS website tempat booking TOEFL IBT. Plus catatan bahwa transaksi harus dg kartu kredit. Ok lah, bermodal kartu kredit yg sdh saya miliki itu, saya book seat untuk tes TOEFL IBT. Bukan main harganya, 180 dollar alias 2,4 juta. Ok, demi sebuah cita cita, saya book dan bayar tiketnya. Lalu memutar otak agar uang gaji cukup untuk membayar semuanya. Perlu diketahui saat saya pulang dari India, gaji saya dipotong setengah untuk membayar kelebihan pembayaran gaji saya akibat surat izin belajar yg terlambat. Walhasil, saya hanya menerima 1,7 juta saat itu. Dengan sewa kos yg 700 rb, saya harus memutar otak agar tetap bisa memberi kedua orang tua saya dan cukup untuk hidup saya. Saya bekerja siang malam mencari uang tambahan, plus mengajar privat, agar semua tercukupi. Malam, saya masih memelototi dokumen dan syarat syarat beasiswa agar semua bisa selesai pada waktunya.

Tiket sudah terbook. Buku saya tdk punya yg TOEFL IBT. Waaah apa mau mati konyol tuh ngerjain TOEFL tanpa panduan. Meskipun saya mengajar TOEFL namun TOEFL yg akrab di mata saya bukan yg Ibt, melainkan yg paper based yg tentunya berbeda bangetttt dg ibt. Saya coba cari bukunya ke Gramed, alhasil harganya seharga sewa kos saya srbulan. Hmm...agak berpikir untuk beli. Apalagi hanya digunakan sekali untuk tes. Saat itu saya ingat, saya menatap langit dan berbisik, YA ALLAH, TOLONG SAYA, SAYA PERLU BUKU.

Alhamdulillah, selang beberapa hari ada teman saya menghubungi untuk diajari TOEFL. Saya pun menerima tawaran mencari uang tambahan ini. Saat saya masuk ke rumahnya dan ia mengeluarkan buku buku TOEFL nya, waaaahhhh, Allah Maha Mencukupi, dia punyaaa buku TOEFL ibt, yiiiihhhaaaa. Saya seperti melihat makanan lezat. Dengan sungkan saya minta izin agar diizinkan meminjam bukunya dan yah, ia bersedia. Seperti orang menang lotre saat malam itu saya bawa buku tebal itu dan tidur sambil memeluk buku berharga itu. Like I said, IT HAPPENS FOR A REASON.

Kesulitan saya berikutnya adalah WAKTU. Saya mengajar dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam. Kapan ada waktu untuk belajar. Saat saya masuk kamar, badan saya sudah setengah zombie merangkak ke tempat tidur. Alhamdulillah, EF libur akhir tahun. Waaahhh mulailah saya melahap buku tebal tsb. Saya mulai membaca strateginya. Dan menanamkan itu di kepala saya.

#about TOEFL IBT
Pada dasarnya ini adalah tes diagnostik. Saya masih akrab dengan reading dan listenning yg hampir mirip dengan paper based test, tapi untuk speaking dan essay saya masih belum terlalu familiar. Intinya ini internet based, jadi semua berbasis internet sehingga wajar harganya mahal. Soal pun dikirim langsung dari ETS, pusat toefl di US sana. Pun jawaban akan direkam dan disubmit kesana. Test centrenya pun tidak selalu ada di srtiap kota. Yg terdekat adalah Surabaya dan Makassar. Saya memilih Surabaya karena tiket murah. Itu pun test centrenya ada di perumahan elit Citraland, di samping konjen Amerika Serikat di Surabaya. Ah saya ingat pusing sekali saat itu. Tapi anyway, saya selalu fokus akan apa yg ada di hadapan saya. Dan saat itu, fokus saya adalah BELAJAR SOAL TOEFL IBT.

Setiap malam selama libur natal dan tahun baru saya belajar. Satu malam, satu latihan. Saya hitung berapa prediksi nilai saya dan mempelajari kekuatan dan kelemahan saya. Untuk reading dan listenning, kuliah di India cukup membantu saya. Saya tidak merasa lelah membaca teks teks panjang karena selama di India, my reading speed itu meningkat tajam. Ada sekitar tujuh teks yg harus dibaca di sepanjang sesi reading. Lalu listenning, saya selalu melihat nilai saya hampir sempurna. Sebagai seorang guru. Bahasa Inggris, saya paham, reading dan listenning itu bagian dari English pasif, jadi tentu sebagai recipient, saya mah ahli. Naah yg mengukur English aktif saya adalah speaking dan writing. Karena disini lah, kita diminta untuk memproduksi sesuatu. Dan kemampuan memproduksi sesuatu baik lisan maupun tulisan itulah, ENGLISH ACTIVE.

Well, sesi speaking ada enam sub sesi. Kita hanya diberi waktu 10 detik untuk memikirkan jawaban dan hanya 20 detik untuk merespons pertanyaan. Pertanyaannya meningkat dari yg hanya berupa pertanyaan bebas seperti WHO IS YOUR ROLE MODEL AND WHY hingga pertanyaan akademis dimana kita harus membaca teks kuliah, lalu mendengarkan ceramah terkait kuliah itu, lalu menggabungkan keduanya dalam waktu 20 detik. Ribet? Hohoho tentuuu. Tapi apa saya menyerah? Noooo. Itu jadi tantangan saya. Wong ini tes seharga 2,4 juta lho. Tidak ada pilihan lain, saya harus LULUS!

Untuk perjalanan saya mengerjakan TOEFL ibt di Surabaya, kita sambung di part berikutnya yaa, saya harus shalat isya dulu...

Next, the road to TOEFL IBT!

No comments:

Post a Comment