Friday 27 June 2014

Prove Them Wrong!

Hello readers.

Masih pagi di Mysore, saya baru sekesai shalat subuh. Seperti biasa meskipun saat ini saya sdh tdk ada kewajiban untuk bangun pagi dan siap siap ke kampus, tpi mata saya bukan tipe pengantuk, srhingga meskipun saat ini masih jam 6.23 am, saya ingin menulis nih!

Kali ini tentang pembuktian. Saat ini saya sudah menyelesaikan Master of. Science Chemistry saya di India. Nama saya sekarang Nurul Kasyfita, M.Pd, M.Sc Chem. Panjang ya, hehe, itu pun saya masih belum akan berhenti. Saya akan terus mencari jalan untuk sekolah. Saya madih ingin gelar itu bertambah menjadi Ph.D bahkan hingga Prof. Mhn doanya yaa readers agar saya bisa mencapai semua yg saya cita citakan di pendidikan. Amiin.

Sigh. Saya teringat dua thn yg lalu. Saya berangkat ke India dengan pedih. Saya tdk bisa memeluk Najwa utk terakhir kalinya saat itu akibat perceraian saya. Saya hanya bisa memeluk anak adik saya, yg saya bayangkan sbg Najwa. Hujatan demi hujatan mengalir ke saya saat itu. Tidak pernah saya bayangkan, Juli 2012, jalan hidup saya berputar arah ke India. Saat itu, saya tentu saja khawatir. Khawatir tidak bisa survive di negara lain. Wajar saja, otak saya dipenuhi derita kehilangan anak, perceraian, orang orang yg menggosipkan saya, bagaimana mungkin saya bisa tetap belajar kimia, yg tentu tidak sederhana, di negara asing, negara berkembang, yg saya dengar kehidupannya sangat keras? Belajar dalam bahasa Inggris dengan otak yg sdh penuh dengan derita kehilangan anak. Bagaimana mungkin saya survive?

Perlu Anda tahu, sebelum saya berangkat, saya sempat menemui dia yg pernah menjadi teman hidup saya selama tujuh thn. Saat itu, saya jatuh di kakinya memohon agar Najwa bisa ikut mengantar saya ke Sepinggan Airport Balikpapan. Tentu ia menolak. Dan saya tdk habis pikir saat itu. Tidak adakah satu kebaikan saya yg pernah berbekas di hatinya sehingga minimal utk even setitik kebaikan itu, i deserve to hug Najwa. Tapi tentu saja tidak, readers. Ini hidup, bukan dongeng. Bukan film dimana idealisme berjalan sesuai kehendak sutradara. Dan saya hanya seorang perempuan lemah yg tdk mampu berjuang utk anak saya sendiri. Saat itu pula, ia, melontarkan kalimat bahwa "kau tdk akan mampu menyelesaikan sekolahmu. Kau akan pulang dengan satu hal. Gagal." Dan rupanya baginya tdk ada setitik kebaikan saya yg mampu merubah hatinya utk memeluk anak saya. Sekali lagi, ini hidup, bukan film.

Saya hanya mampu melangkah gontai saat itu. Yah mungkin ya, saya akan gagal. Itu pikiran saya. Bagaimana mungkin otak saya mampu berpikir waras di tengah prahara yg melanda saya? Ini kimia, bung, bukan main main apa yg akan saya hadapi di India. Tapi apa ada jalan yg lebih baik dari ini? Saat itu, saya hanya punya dua pilihan, stay di Samarinda menelan semua hinaan, hujatan, menjadi janda dan tidak sekolah. Or...lari ke India, sembunyi, sambil sekolah, tetap menjadi janda, tapi masih ada harapan untuk meraih gelar master kedua saya. So, tidak ada salahnya saya mencoba meraih gelar selain cuma janda, bukan? Dan resiko yg saya hadapi tidak main main, jika saya meninggalkan study di tengah jalan, saya harus mengganti seluruh pengeluaran dari pemerintah India. Ah, betapa berat hidup saat itu.

Dan...saya berangkat. Dengan dua koper dan satu ransel di bahu, dua thn lalu, Nurul Kasyfita berangkat. Dengan luka. Tidak berhenti air mata saya mengalir saat itu. Bahkan saya yg takut terbang saat itu, hanya bisa pasrah saat pesawat airasia yg membawa saya terbang berjam jam dari Balikpapan, Kuala Lumpur, dan mendarat di Bangalore, India. Saya hanya tahu saya tidak punya pilihan lain selain lari ke negara ini. Sehingga apapun ketakutan saya saat itu, saya terjang, saya lawan, saya seperti seorang yg tdk bisa berenang, lalu tiba tiba saya dilempar nakhoda dari kapal yg saya tumpangi dan saya harus berenang di samudera luas. Sendirian. Saya yg panik saat itu mencoba meraih apapun yg saya bisa utk ttp terapung. Beruntung, yg disodorkan Allah saat itu adalah sebuah tawaran beasiswa, yg tidak membawa saya ke jalan yg lebih buruk. Ah, betapa Allah Maha Baik pada saya.

So, India awalnya cuma proyek sakit hati. Proyek membawa hati yg luka. Jujur, ilmu kimia saya cetek bgt. Saya tdk tahu apapun dalam ilmu ini dan tentu bukan hal mudah utk survive dg kondisi saya. Ah, saya msh ingat saat awal saya tiba. Saya tidak bisa makan krn semua ber bau masala. Saya kaget dengan cuaca mysore yg super brrr hingga asma saya beberapa kali kambuh. Ditambah lagi saat saya tiba, saya ditampung oleh sesama WNI yg tdk punya cukup kamar, jadilah saya tidur di lantai dingin beralas tikar, dan kecoak tengik dari dapur yg selalu melewati wajah saya saat saya tidur. :-). What a story!

Hampir seminggu saya habiskan dengan kondisi spt itu hingga saya mendapat rumah. Saya membeli kasur bekas. Saat itu pun saya hanya mengandalkan kaki utk berjalan kesana kemari krn belum punya motor. Hingga sol sepatu saya copot saat itu hehe. Awal bertemu chairman kimia pun, saya kagok dengan bahasa inggris ala india yg super cepet. Dan tentu dengan style India yg tidak seramah western. Alamak, mereka super kaku! Sangat berbeda dg style inggris saya yg mostly influenced by US.

Ah, betapa hidup mendewasakan saya. Awal masuk kelas, saya ternyata ug tertua disini. Saingan saya rata rata berumur 21 th. Can u imagine that? Saya yg sdh 31 saat itu, saingan dg mereka yg 10 th lebih fresh dari saya. Hehe, but do i hve another choice? No, BIG NO! Pilihan saya cuma satu, belajar. Karena menjadi janda dan meraih M.Sc Chemistry itu JAUH LEBIH KEREN daripada cuma sekedar menjadi janda. Itu semangat saya.

Dan well, well, meskipun saya collaps berkali kali karena tidak bisa makan akibat kerinduan saya dg Najwa, saya BERHASIL. Ipk saya di atas 80% disini. Yes, saya memang bukan yg terpintar di kelas. Tapi saya berhasil melewati semua ujian, dengan nilai rata rata di atas 80%. Otak saya seperti orang gila yg setiap mlm terisak, mengigau menangis mencari anak saya, namun esok paginya siap dipakai utk belajar kembali. Saya menghafal dalam bahasa inggris, menjawab pertanyaan professor bahkan bertanya jika ada yg kurang saya pahami. Kerinduan pada Najwa saya tuangkan dalam doa. Doa. Itu yg menemani saya di India.

Untuk saya, ini bukan sekedar M.Sc Chemistry. Ini bukan sekedar master. Ini pintu saya menuju dunia luar. Saya bisa melamar banyak hal dengan ijazah yg saya miliki sekarang. Terakhir saya melamar fellowship training nuklir ke Amrik, yg meskipun ditolak, setidaknya saya telah berani mencoba, bukan? Saya punya modal utk mencoba. Saya punya ijazah dari India. Lalu saat ini, saya juga sedang mencari peluang ke negara lain untuk doktoral saya. Pasti, jika saya tidak memutuskan berangkat dua thn lalu, says tetap menjadi janda. Namun dengan sekolah ini, saya janda tapi juga memiliki ijazah utk mencoba ke negara lain. Isnt it better?

Di halaman awal tesis saya, tertuang sebaris kalimat yg banyak ditanyakan orang orang yg membacanya.

It says TO THOSE WHO I CAN NOT HAVE, TO THOSE WHO SAID I COULDNT
THANKING U FOR THE CHANCE
TO PROVE THAT U ARE WRONG

Tidak seperti teman teman lain yg menulis to my beloved parents or teacher, or family, saya menulis itu utk tesis saya. Ya, ini adalah pembuktian. Saya menunjukkan padanya, yg dua thn lalu berkata saya akan gagal, bahwa HE IS WRONG. Saya berhasil. Ini adalah kekuatan seorang wanita utk bertahan dengan kesakitan yg ditimpakan seorang laki laki padanya. Laki laki mungkin mampu menyakiti dan saya hanya wanita yg tdk akan mampu menyakiti balik, halah, seberapa sih kekuatan saya? Tapi jangan remehkan kesabaran, ketegaran seorang wanita. Kami tidak akan mampu menyakitimu wahai lelaki, tapi kami mampu bertahan. Dan itu yg mantan istrimu lakukan selama dua thn. Bertahan.

So, dengan hati yg masih perih tentunya, saya menjabat tangan chairman yg menyerahkan dokumen saya. Selembar kertas yg menjadi bukti, saya tidak mati, saya masih hidup di India, saya berhasil belajar berenang di tengah samudera luas. Well, saya memang belum mencapai daratan, dan saya sdh tidak berharap utk berkeluarga lagi. Yg saya tahu, saya akan terus sekolah. Sekolah itu morfin bagi saya. Itu the most effective pain killer. Saya menolak beasiswa saat saya memutuskan menikahinya di 2005, dan mencoba berkompromi dengannya hingga bertahun tahun, saat ini saya adalah untuk saya sendiri. Saya tdk membiarkan siapa pun menghalangi saya. Kompromi konyol itu cukup. Saya akan melamar ke negara manapun yg menerima saya selanjutnya dan menjadikan itu rumah saya. Lemari pakaian saya hanya dua koper ini, dan harta saya hanya ilmu yg di otak saya dan saya tidak punya kasur. Kasur saya berpindah pindah dari kamar hotel, kamar kos hingga saya kembali membeli kasur bekas di negara berikutnya. Hidup hanyalah sebuah petualangan mrncari ilmu bagi saya. Definitey, saya bukanlah family item, tapi saya insya Allah education item.

Well readers. Jika saat ini Anda diragukan, dihina, dihujat, percayalah, bersyukurlah, itu adalah kesempatan untuk menujukkan mereka salah. Siapa pun yg menghujat Anda, prove them wrong. Tidak perlu banyak bicara, cukup Anda tunjukkan bahwa apapun yg mereka katakan tentang Anda, it is wrong. Kadang kadang, seekor ayam perlu tuli utk tdk mendengar apapun yg dikatakan binatang lain padanya bahwa ia bukan burung dan tak bisa terbang, karena dengan ketulian itu, akhirnya si ayam bisa terbang. It is healthy to be deaf and stubborn sometimes. It is.

Dan saya menunjukkan itu. Nurul Kasyfita mungkin bukan seorang wanita dengan kisah cinderella yg super bahagia. Nurul Kasyfita mungkin cuma seorang wanita gagal dalam rumah tangga dan sedang berusaha mengalihkan perihnya dengan sekolah. Tapi Nurul Kasyfita pastinya adalah pelajaran tentang ketegaran, pelajaran tentang survival. Pelajaran tentang bagaimana merubah nasi yg menjadi bubur menjadi bubur ayam yg masih bisa dinikmati. Hidup tidak selalu ramah, itu pasti. Selalu ada orang yg siap menyakiti. Yang meragukan, yg menghujat. Tidak perlu membalas, cukup prove them wrong, prove them wrong!

Tapi ini bukan pelarian. Saya benar benar menikmati proses meraih ilmu. Saat ilmu terserap di otak saya, itu seperti morfin yg meredakan kesakitan saya. Percayalah, menjadi lebih pintar itu membahagiakan. Anda akan kaget betapa ilmu jauh mengubah Anda, percayalah.

Dan saat ini, wanita yg dua tahun lalu pingsan di parkiran, lalu uangnya dicopet, lalu menangis di kaki mantan suaminya, memohon untuk bisa bertemu anaknya, wanita itu akan pulang. Bukan dengan GAGAL seperti yg pernah dikatakan laki laki itu dan banyak org lainnya. Tapi dengan IJAZAH. Ijazah dengan IPK di atas 80%. Wanita itu bukan pribadi yg sama seperti dua thn lalu, ia kini lebih matang, lebih dewasa, lebih kuat. Ia tidak tumbuh menjadi wanita pahit yg penuh dengan dendam karena jalan hidup yg dijalani begitu pedih. Ia tetap wanita hangat, penuh canda, ramah, santai, masih bahagia jika melihat seorang bayi dipeluk ibunya, masih bahagia melihat pasangan yg jatuh cinta, tidak, hidup tidak merubahnya menjadi wanita menyedihkan. Ia masih sama, namun ia lebih kuat saat ini. Bahkan ia membuktikan bahwa India memperlakukannya dengan ramah. Begitu banyak pelukan yg diterimanya kemarin dari teman teman, petugas lab, orang orang yg begitu menyayangi Nurul Kasyfita dan akan merindukan kekonyolan kekonyolannya. Tidak, saya tidak berubah menjadi wanita penyihir dengan segala kedengkian di hati saya. Saya bahagia, meskipun saya mendapat begitu sedikit dalam hidup, saya masih bisa berbahagia dengan yg sedikit itu dan tidak iri dengan apapun yg didapatkan org lain dlm hidupnya. Saya percaya Allah membahagiakan saya dengan ilmu.

She is still a lover, a fun character, but at the same time, she is now also...
A FIGHTER.

Prove them wrong, prove them wrong!

Last 11 days in Mysore.

Nurul Kasyfita



No comments:

Post a Comment