Wednesday 18 December 2013

Karena being maried tidak se SIMPLE yang dibayangkan para SINGLE!

Hey there!

Ok, kali ini bicara tentang hal yang sangat dinanti nanti para single out there. A marriage. Banyak yang galau, sedih, deg degan, menunggu saat dilamar tiba. Jika saat ini Anda sedang in relationship, Anda galau memikirkan kapan diajak menikah. Apalagi Anda yg sedang truly single, mungkin galau mencari siapa yg bisa jadi pelabuhan hati, pangeran berbaju ksatria menunggang kuda putih dan datang menyelamatkan Anda dari menara kesepian, memboyong Anda ke istana impian bernama rumah, untuk dijadikan permaisuri. Iya kan? Ngakuuuu :-).

Well, saya tidak menyalahkan perasaan itu. Bahkan elektron perlu berpasangan dalam satu orbital agar ia stabil. True, Tuhan menciptakan kita semua berpasangan. Namun, seperti judul saya di atas, being married tidak se simple yang dibayangkan para single. Ada banyak hal yg harus dipikirkan, dikompromikan, bahkan dikorbankan. Saya adalah seseorang yg akhirnya memilih sendiri setelah pernah menikah. Tentu saya tidak men deskreditkan lembaga pernikahan hanya karena pengalaman pribadi, namun menikah and being in a marriage itu tidaklah mudah. Honestly speaking, setengah jiwa Anda harus mati atau dikubur hidup hidup dalam sebuah kompromi bernama pernikahan.

Saya tidak akan membagi kepedihan perceraian saya dan mengapa hingga kini saya memilih untuk tetap sendiri. No. Saya mengajak para single untuk berpikir bahagia, merasa bahagia dan melihat bahwa menikah hanyalah satu fase dalam hidup yg tidak perlu dipusingkan kapan datangnya. Maka berdasar pribadi yg pernah menikah, dan kembali single, ini yang ingin saya bagi. Jika saat ini Anda single, berbahagia lah!

Satu, penghasilan. Ok, tentu kita berpikir rejeki tu sdh ada yg atur. Correct! Tapi bukankah rejeki tidak datang jika kita tidak jemput? Ini harus dipikirkan mengingat dunia saat ini sarat dengan materialistic things. Siapa yg mencari nafkah? Akankah suami saya mampu? Ataukah karena kesulitan hidup akhirnya saya yg harus banting tulang dengan label MEMBANTU SUAMI, padahal tdk lebih hanya dijadikan sapi perahan? Kadang untuk diri kita sendiri, kita mampu menahan diri. Namun jika sdh ada anak, maka mau tidak mau kita bergerak karena ingin anak kita sejahtera. Mau beli baju untuk diri sendiri, mikir susu anak. Akhirnya tidak jadi. Itulah saya bilang, separuh jiwa akan mati atau terkubur hidup hidup setelah menikah. Ini yg tdk terpikirkan oleh para single. Saat ini akan ada yang harus anda pikirkan, kompromi dengan suami, dan korbankan. Mungkin jika si suami yg berkeras ia yg bekerja, meski dengan hasil pas pasan, maka Anda akan berpikir, dan berkorban. Jika ia mengizinkan Anda bekerja, maka Anda lagi lagi harus berkompromi dan berkorban waktu tenaga untuk bekerja dan untuk keluarga. Percaya lah, itu tidak mudah!

Dua, the in laws. Mertua menantu itu untung untungan. Seperti lotere menurut saya. Ada yg beruntung punya mertua baik hati dan ipar yg baik. Yg apes, yaaa gitu deh. Dikucilkan, tidak dihargai, tidak dianggap. Mungkin pikiran si single saat ini adalah, Ah, pasti pangeran ku mampu mempertahankan aku di hadapan keluarga nya. Karena ia kan cinta aku dan aku mencintainya, cinta kami akan mengalahkan segalanya. Haha, exactly! Itu yg dulu saya pikirkan. Tapi sekali lagi sakit sekali tidak dihargai itu. Bertambah sakit jika yg tdk menghargai Anda sebenarnya hanya orkes sakit hati yg tdk pernah menolong Anda namun suami Anda membela mereka mati matian. Tentu saja lah, lha itu keluarganya. Saat ia melamar. Anda, tentu janji manis yg terucap, saat pernikahan mulai terjal dan Anda berseberangan dengan keluarganya, itulah saat ia lebih memilih mereka daripada Anda. Saat itu bertahan dalam pernikahan seperti neraka sementara bercerai juga seperti samudera luas ganas tiada tepinya. So single, bagaimana sikap Anda jika itu terjadi dalam pernikahan yg Anda gadang gadang sebagai the best moment of your life?

Tiga, kebiasaan. Yup, ini penting. Anda akan hidup dengan pribadi lain yg dibesarkan dg cara yg berbeda dg Anda. Mungkin suami Anda tipe super bersih, maka Anda akan kelelahan mengikutinya. Atau jika ia si telat, Anda akan lelah menunggunya. Belum kebiasaan lain seperti NGOROK. Yup yup, ngorok, jangan Anda kira sebuah masalah sepele. Akankah Anda sanggup tidur bersebelahan dg nya yg terus membuat Anda terbangun? Ok, ok, again, Anda akan bilang, cinta mengalahkan segalanya. Tapi percayalah kebiasaan tidur yg berbeda akan membuat ranjang Anda terpisah, bahkan pisah kamar. Termasuk juga kebiasaan mematikan lampu saat tidur atau menggunakan kipas angin atau AC. Mungkin akhirnya kompromi adalah pisah ranjang, masing masing tidur nyenyak di kanar atau ranjang berbeda. Lantas, apakah itu yg pernah Anda pikirkan saat hendak menikah? Tentunya Anda ingin selalu tidur di damping ksatria Anda kan? Tapi mampukah telinga Anda menahan ngoroknya? Atau mampukah Anda berdingin atau berpanas ria disampingnya? Atau mampukah tidur dengan lampu menyala? Sekali lagi, dipikirkan, dikompromikan, lalu akan ada pihak yg berkorban. Dan sekali lagi, separuh jiwa Anda mati atau terkubur hidup hidup dalam kompromi itu.

Empat, sakit. Jika Anda pribadi yg sering sakit seperti saya, hmm menikah mungkin terlihat seperti solusi. Anda akan punya dia yg selalu berada disamping Anda. Romantisme akan terasa karena ia akan merawat Anda, ow, really? Pikir lagi laaahh, bisakah ia selalu disisi Anda? Bukankah ia perlu bekerja? Lalu sedih sekali bukan, jika pada statusnya Anda bersuami namun Anda lebih sering terkapar sendiri di pembaringan? Mending tidak punya kan ya? Dan mungkin setahun dua tahun ia rela merawat Anda, tapi percayalah seiring waktu, kebosanan itu akan muncul di wajahnya dan saat itulah Anda merasa merepotkan nya dengan kehadiran Anda. Cinta tak lagi terasa, yg ada hanya tinggal pedih.

Lima, dream sweet dream. Jika Anda berpikir menikah berarti ada yg menemani tiap malam, tidak lagi kesepian, hmm, sepertinya tidak selalu. Kadang suami anda punya pekerjaan yg harus meninggalkan Anda berbulan bulan. Atau Anda satu atap, namun menikah hanya menjadi rutinitas dua org yg hidup bersama. Duduk satu meja, tapi masing masing sibuk dg gadgetnya. Atau pekerjaan yg membuat ia dan Anda tak lagi berkomunikasi. Sekali lagi, menikah itu tidak se simple yg didambakan para single.

Enam, anak. Ini juga bukan masalah ringan. Kdg suami Anda menginginkan anak banyak, sementara Anda tidak mampu merawat anak sejumlah tersebut. Atau Anda memiliki trauma melahirkan. Mungkin si ksatria bisa kompromi, namun bisa juga tidak. Nah, jika saat itu ia tdk bisa berkompromi, apa yg Anda lakukan? Tentu. Anda yg berkorban, karena Anda tidak mau kehilangan mahligai pernikahan. Lalu jiwa Anda akan terkubur di tengah kesibukan menjadi mesin bayi. Anda tidak lagi punya ME time. Hidup Anda 24 jam habis untuk merawat anak dan suami hingga diri Anda pun tidak terurus. Selain karena biaya, karena tdk semua istri bisa memiliki PRT. Lantas, Anda akan bergumam, yah, inilah pengorbanan. True, tapi jika Anda yg terus menerus berkorban, layakkah kebersamaan itu disebut sebagai kebahagiaan?

Tujuh, perpisahan. Jika akhirnya Anda memilih berpisah seperti saya, hal yg mungkin tdk terpikirkan para single adalah konsekuensi hukum dari sebuah buku nikah. Believe me, saya tidak pernah menyangka untuk bercerai saya harus pontang panting berjuang agar setidaknya saya tetap hidup. Saya seperti seorang pribadi yg lolos dari lubang jarum peperangan. Dan sangat mudah bagi seorang laki laki untuk menyakiti wanita yg dianggapnya telah melukai harga dirinya dengan minta cerai. Meskipun perceraian itu pun terjadi karena salah satu kontribusinya. Tercabik cabik jiwa saya saat akhirnya saya keluar dari rumah itu dan tetap hidup hingga hari ini. Ia bisa merenggut semua nya bahkan hingga anak. Bukankah ini tidak terpikirkan saat Anda menggebu gebu hendak menikah?

Ok, lah, para single. Anda patut ber bahagia. Anda masih bisa tidur nyenyak tanpa beban mengurus suami dan anak, Anda bisa menggapai cita cita kemana pun, meraih mimpi tanpa harus berkompromi, Anda bisa tetap menghargai diri sendiri, tanpa harus dipusingkan dg tetek bengek rumah tangga. Bersyukurlah, berbahagia lah.

Dan saya bersyukur, setelah badai perceraian itu saya masih hidup. Bahkan lebih ringan saat ini, setelah saya berhasil ikhlas akan semua kehilangan itu. Bahkan dengan kehilangan ini, saya justru menemukan diri saya kembali, saya menggali separuh jiwa saya yg mati dalam pernikahan. Dan lebih penting saya kembali menemukan Tuhan. Banyak yg hilang dri saya saat ini, namun di saat yg sama saya kembali menemukan banyak hal, terutama diri saya beserta potensinya yg telah lama saya remehkan. Hidup saat ini sepi, true, but truly, it is not that bad at all!

Mysore, 18 Desember 2013

No comments:

Post a Comment